“Khadijah, tolong selimuti aku.” Demikian kata Nabi kepada istrinya, saat tubuhnya dingin menggigil, tak lama setelah Nabi menerima Wahyu.
Whani Dharmawan yang berperan sebagai warok dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, sempat berujar kepada penulis, “Film ini tentang tubuh, tentang kita.” Ungkapan Whani mungkin terasa berlebihan. Terutama jika kita merujuk bahwa tak semua dari kita adalah penari Lengger.
Tapi setelah menonton dan menyermati lebih dalam, kita akan maklum bahwa film besutan Garin Nugroho ini tak semata bicara Lengger. Lengger hanya menjadi titik berangkat, inspirasi, sekaligus pemicu bahwa setiap manusia sejatinya tak pernah merdeka dari tubuhnya.
Menyaksikan “Kucumbu Tubuh Indahku” kita akan bercermin kepada Juno. Bocah miskin yang tinggal di sebuah pedalaman desa Banyumas.
Juno yang dibabak dalam tiga masa yaitu masa kecil, remaja dan dewasa, seperti hendak menjelaskan kronologi tubu Juno. Di sini Garin memotret tradisi Tubuh Juno, yang sesungguhnya mewakili tubuh dalam setiap perjalanannya. Garin bersama aktor yang cukup matang, telah berhasil menegaskan bahwa pengalaman dan perjalanan diri dalam memahami tubuh, akan berpeluang untuk menyadari betapa tubuh kita begitu indah.
Bagi penulis, latar kampung Banyumasan dengan tradisi Lengger yang kental dalam film ini, oleh sutradara cukup dijadikan background. Begitu juga suara ayam, ingar bingar pasar, hingga pemilu, juga hanya menjadi sampiran yang seakan “tak penting”.
Karena dari keseluruhan film ini, panorama dan citra visual kampung Banyumas tempo itu, telah dilumat oleh tubuh Juno yang seakan mengingatkan kita atau mungkin meneror kita. Melihat Juno, kita akan melihat diri sendiri. Setidaknya itu persepsi penulis.
Juno adalah seluruh kualitas manusia yang jujur. Maskulinitas dan femininitas adalah keutuhan sempurna. Kita dalam keseharian, mungkin tak pernah sadar bahwa ruang-ruang maskulin dan feminin sebenarnya saling terisi dan mengisi.
Semua berlangsung begitu cepat, sehingga kadang kita tidak menyadarinya. Begitu juga ruang traumatik yang dialami Juno. Semua menjadi pustaka tubuh yang tak dapat ditampik.
Juno adalah tubuh yang menyaksikan tubuh lain dikoyak-dibacok seorang guru Lengger yang diperankan Sujiwo Tejo. Di sini adegan begitu satir dan mencekam. Tejo yang berperan sebagai guru tari Lengger datang menyomot jagung rebus dan memakan dengan sangat santai. Bahkan sambil makan, si guru menembangkan penggalan Serat Wedhatama. Tapi tembang itu bukan untuk kontemplasi bagi dirinya. Ia justru tengah menyiapkan pembunuhan sadis. Pembantunya, dengan ceroboh menerima rayuan Gemblak si guru. Ketika si guru mempersilahkan pembantunya rebah, siapa pun tak akan menduga jika si guru hendak membacok pembantunya.
Saat itu Juno mengintip. Peristiwa satir telah ia telan dalam-dalam. Selain menyaksikan darah yang muncrat tak tentu arah, Juno hanya mendengar sumpah serapah guru Lengger itu, “Dia lubangku!”
Juno juga tubuh hangat yang membelai kepiluan seorang petinju kekar, yang diperankan Randy Pangalila. Juno juga tubuh yang harus selalu bersedia kepada seorang warok yang diperankan Whani Dharmawan. Di sini Juno seperti sedang menjelaskan tentang ketidakberdayaan namun tak ada lagi pilihan. Persis sebagaimana Merleau-Ponty ketika memahami kesadaran sebagai relasi ontologis pada taraf eksistensial, yakni menyangkut totalitas cara mengada manusia di dunia.
Bagi Merleau-ponty pertautan antara manusia dan dunianya bersifat prasadar. Karena semuanya selalu mendahului segala refleksi dan kesadaran, maka intensionalitas pun bersifat prasadar. Kesadaran manusiawi itu, menurut Ponty, bukan berawal sebagai suatu “je pense que” (aku berfikir bahwa), tapi suatu “je peux” (aku dapat).
Begitu juga tubuh Juno adalah tubuh polos dan sakit. Tubuh kecilnya yang ringkih tak kuasa menolak hukuman bibinya yang diperankan Endah Laras, ketika jarinya ditusuk jarum lantaran Juno masih saja merogoh dubur ayam dengan jarinya.
Dan Juno adalah tubuh yang polos sekaligus penasaran ketika diminta menyentuh dada guru tarinya yang diperankan Windarti.
Melampaui Penjajahan atas Tubuh
Usia kita sebenarnya melampaui tubuh kita sendiri. Sehingga usia kita akan selalu lebih tua dari tubuh. Tak heran jika tubuh sering gagap menafsir “kehendak” kedirian kita. Tapi, tubuh lah satu-satunya entitas yang selama ini setia menemani kedirian kita.
Bagi penulis, tubuh adalah artefak purba manusia dan kemanusiaan yang tak pernah selesai untuk dihadirkan secara mutlak. Bahkan tubuh tak kemudian selesai ketika mati disalib, dikubur, dibakar, hingga dilarung. Tubuh bukan semata sidik jari atau DNA. Tubuh sejatinya adalah keragaman kodrati fisikal yang tak lain menjadi manifestasi tak terbatas dari Sang Pencipta.
Tapi entah mengapa, tubuh selalu dituntut seragam oleh doktrin dan peradaban. Padahal tubuh tak akan mampu hadir secara universal. Karena tubuh sesungguhnya selalu menjadi representasi lokal, primordial, bahkan mungkin ras. Karena siapa pun yang masih mendiami tubuhnya, pasti tak pernah lepas dari epistemic body-nya dimana ia berdiam atau berinteraksi. Hanya ruh atau jiwa saja yang universal.
Sementara tubuh, selalu tak kuasa menempatkan diri untuk dirinya sendiri terlebih untuk tubuh lain. Doktrin tubuh di Jawa atau Jepang misalnya, akan diminta sedikit membungkuk sebagai sikap hormat, tapi tidak dengan tubuh Eropa atau Afrika. Itulah kenapa, tubuh sebenarnya menjadi bahasa lokal paling purba dalam meneguhkan identitas dirinya di lingkungannya.
Dalam metafisika Islam, sang ruh diyakini sebagai pengendara tubuh atau jasad. Bahkan ruh, sebenarnya sedang meminjam tubuh dari alam dalam waktu “sementara,” demi berlangsungnya satu perjalanan jauh dan sangat jauh. Meski tubuh hanya sebagai “alat” yang dipinjam ruh–yang tak punya daya sama sekali jika tanpa ruh–justru tubuhlah yang sering menerima dan mengalami berbagai atribut dan predikat hingga merasakan kenikmatan sekaligus penderitaan dari apa yang dihasilkan ruh. Dalam yurisprudensi Islam misalnya, ketika jiwa (soul) berpikir busuk lalu mencuri atau mengambil hak orang lain, ternyata tubuh (body) berupa tangan yang mengalami hukuman. Sementara sang ruh tetap menjadi misteri dan tak tersentuh.
Memuliakan Tubuh
Sungguh tubuh tak dapat diremehkan. Bahkan dalam Injil Yohanes, salah satu konsep teologis yang paling penting adalah tentang tubuh kemuliaan. Bahwa tubuh kemuliaan yang utuh adalah bukti dari rekonsiliasi Tuhan dan manusia.
Mungkin itu kenapa Noel Coypel, 1700, membuat lukisan indah berjudul Resurrection of Christ sebagai apresiasi terhadap Yesus dengan Tubuh Kemuliaan-Nya.
Di sisi lain, Sang Nabi Muhammad pernah bersabda, “Sungguh Allah sama sekali tidak Melihat ketampanan atau kecantikan seseorang, tapi Tuhan hanya Melihat hati dan laku seseorang.” Di sini Allah seakan menafikan tubuh. Padahal, dalam kesempatan yang sama Tuhan sangat memperhitungkan bagaimana ketika manusia mengartikulasikan tubuhnya. Ini lantaran hati dan jiwa seseorang tak mungkin dihadirkan kecuali lewat gerak-gerik tubuhnya.
Banyak ulama menyamakan pengertian ruh (spirit) dan jasad (body). Ruh yang diyakini berasal dari alam arwah berperan sebagai panglima yang memerintah dan menggunakan jasad sebagai alat.
Sementara jasad berasal dari alam ciptaan berasal dari unsur materi yang dibatasi ruang waktu. Tapi sebagian sufi lain membedakan ruh dan jiwa. Bahwa ruh berasal dari tabiat Ilahi dan memiliki kecenderungan untuk “pulang” kepada asal usulnya. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Sementara jasad, meski akan kembali kepada khazanah material, dianggap sebagai sarana “sementara” yang fana. Lantaran tak dapat menembus misteri alam ruh. Meski demikian, ruh manapun tak lantas arogan kepada tubuh. Karena tanpa tubuh pagelaran sujud dan kebaktian tak ada artinya. Betapa, tubuh begitu mulia dalam wilayahnya.
Tubuh sebagai Pustaka
Kita pun menyadari bahwa getir dan pahitnya jiwa akan ditampilkan dengan tetes air mata. Lelah atau capek akan dibahasakan dengan keringat dan pegal-pegal.
Sementara bahagia dan sumringah akan dihadirkan dengan senyum dan tawa. Maka tubuh begitu kaya. Tubuh bagai perpustakaan metagiga yang memuat, yang tertimpa, sekaligus mewakili segala apa yang dirasakan jiwa.
Tapi jangan dikira tubuh akan selalu mampu menampilkan secara mutlak segala apa yang dikehendaki jiwa. Tubuh malah sering disalahkan. Rasa kasih dan cinta misalnya, tak akan pernah mutlak ketika dibahasakan tubuh dengan sentuhan, pelukan, ciuman, dan seterusnya. Bahkan seorang anak yang kupingnya dijewer oleh ibunya, tak dapat mutlak diartikan bahwa si ibu begitu jahat dan bengis kepada anaknya. Tubuh adalah penjara lokal dari jiwa dan ruh yang universal. Selama itu, tubuh tak pernah merdeka.
Sekali lagi, menonton Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body), adalah mengintip Juno dari lubang. Mengintip Juno dari lubang, sama saja pengan menyaksikan diri kita dari lubang-lubang yang lain. Ritus mengintip lubang itu makin terasa begitu dalam ketika Mondo Gascaro menyajikan lewat musik jujurnya.
Di film ini, Sutradara “Setan Jawa” setidaknya telah selesai untuk urusan memanjakan mata penonton dalam menghadirkan tubuh indah dan gagasan indah. Tapi untuk urusan mendalami dan memahami tubuh secara mutlak, siapa pun tak akan pernah selesai.