Sedang Membaca
Bubur Petis Sarang
Abdullah Muava Aly
Penulis Kolom

Alumni Sastra Arab, UIN Suka Jogja. Sekarang tinggal di Sarang, Rembang.

Bubur Petis Sarang

Sarang sebenarnya adalah nama sebuah wilayah kecamatan paling timur kabupaten Rembang. Tidak banyak orang tahu kecuali sebuah daerah kecil yang dilalui jalan Daendels. Namun dalam jagat pesantren, Sarang sudah dikenal dua abad yang lalu.

Seiring penyebaran para alumni, Sarang cukup terkenal sebagai daerah tujuan para santri. Bahkan sejak satu abad yang lalu, Sarang telah menjadi salah satu kiblat pesantren tradisional (baca: salaf) di Jawa.

Sarang kemudian semakin dikenal secara nasional, terhitung sejak naiknya bapak Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden. Bukan lagi terkenal sebagai bumi pesantren, tapi lebih dari itu. Sarang kemudian menjadi ikon politik nasioanal saat KH. Maemun Zubair turut menyuarakan nama Prabowo Subiyanto. Tidak terhitung lagi, berapa banyak tokoh dan politisi nasional yang berkepentingan dengan Sarang.

Di balik semua itu, ternyata ada yang lebih penting dibicarakan terkait Sarang. Yang paling penting adalah Bubur Petis. Hanya yang pernah singgah di Sarang yang mengerti betul bubur ini.

Bubur Petis adalah kuliner khas Sarang. Karena meskipun sepanjang daerah pesisir itu akrab dengan petis (kaldu ikan segar), bubur petis hanya bisa ditemukan di Sarang.

Bubur Petis sebenarnya adalah bubur beras biasa (bukan tepung beras). Ciri khasnya lebih pada petis sebagai kuah. Petis yang digunakan bukanlah petis udang yang manis, tapi petis ikan yang cenderung asin. Kuah petis pada umumnya diolah menyerupai sup bercampur irisan bahan tambahan. Namun, ada juga yang diolah secara instan (mentahan), dilembutkan bersama bumbu dan sedikit air di atas cobek.

Baca juga:  Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan

Lalu kuah dituangkan ke mangkuk menggenangi bubur. Irisan kasar cabai rawit dan bahan tambahan (biasanya tempe gembus) lalu tampak menyembul dipermukaan bubur, siap untuk disantap. Untuk menetralisir rasa petis sekaligus menambah kerenyahan, cukup ditambahkan gorengan (tempe) bertepung sebagai lauk.

Sesederhana itu. Namun soal cita rasa, jangan pernah menghakimi sebelum lidah kita menjadi “Sarang”. Gurihnya petis mengikat bulat lidah berisi lembutnya bubur.

Lalu saat irisan-irisan cabai itu menyentuh, pecahlah kelezatan itu ke seluruh mulut. Puncaknya, hangat gorengan tempe menggilas-ratakan cita rasa unik di atas lidah. Allah… nikmat mana lagi yang kita dustakan.

Namun demikian, butuh waktu untuk sampai pada sensasi ini. Cita rasa Petis Sarang tidak mau berkencan dengan sekali kenalan. Tinggallah sejenak di Sarang, paling tidak saat Ramadan! Suasana akan membantumu mengenalnya dengan baik. Dan yang paling penting, jangan takut merindukannya saat waktu berlalu.

Belum Sarang Kalau belum (m)Bubur Petis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top