Sedang Membaca
Humor: Beda Cara Berbuka Puasa antara NU dan Muhammadiyah
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Humor: Beda Cara Berbuka Puasa antara NU dan Muhammadiyah

Logo Muhammadiyah Nu 1

Setelah debat panjang tentang siapa yang akan mengongkosi ragat nikah itu berhasil menemukan kata putus, akhirnya kedua sodagar pun melangsungkan tahapan adat dalam pernikahan anak-anak mereka.

Acara lamaran berlangsung pada sore hari setelah Ashar, di sebuah bulan Ramadlan yang mulia. Waktu yang dipilih itu adalah hasil hitung-hitungan pasaran dan weton yang rumit. Ketemulah sore hari tanggal 9 Ramadlan itu. Acara inti lamaran harus dilakukan pada jam 16.45. Begitu.

Habis lamaran, waktu berbuka pun tiba. Adzan maghrib berkumandang. Semua orang segera membatalkan puasa dengan beberapa teguk air putih dan tiga butir salak pondoh. Sunnah Rasul toh, berbuka dengan buah lokal yang murah?

Selesai membatalkan puasa, pihak calon mempelai pria yang Muhammadiyah langsung bersiap-siap shalat maghrib. Usai shalat, baru mereka makan.

Pihak calon mempelai wanita yang NU beda lagi. Mereka bukannya langsung shalat maghrib, melainkan segera mengambil piring dan menyantap hidangan. Selesai makan dengan cukup, baru mereka shalat maghrib.

Serampung semua shalat-makan serta makan-shalat, kedua sodagar kembali berdebat.

“Kok sampeyan tadi gak langsung shalat, malah makan duluan?” tanya sodagar Muhammadiyah. “Gak bener itu urutannya.”

“Lah sampeyan yang gak bener,” sanggah sodagar yang NU. “Habis adzan kok langsung shalat.”

Baca juga:  Humor Gus Dur: Membayangkan Serdadu Israel

“Lho ya memang harus mengutamakan shalat.”

“Nggak. Sunnahnya adalah menyegerakan berbuka.”

“Ya takjil saja, bukan makan besar.”

“Justru harus makan besar. Yang penting saat makan kita ingat shalat. Daripada sampeyan, shalat sambil ingat makan.”

“Siapa yang shalat ingat makan? Saya ndak. Sampeyan itu lho hampir kehabisan waktu maghrib.”

“Lho maghrib masih panjang. Sampeyan itu, malah gak kebagian gule kikil dan ayam ingkung.”

“Lha ya ndak apa-apa, cuma gule dan ingkung.”

“Haya ndak bisa bilang ‘cuma gule dan ingkung’ gitu. Ini kan akses ke sumberdaya.”

“Memang kenapa?”

“Lho kok kenapa. Akses ke sumberdaya adalah penting untuk kemaslahatan ummat. Kok bisa sampeyan anggap ndak penting? Gitu kok ngakunya Islam modernis yang rasional. Rasional kok mengabaikan sumberdaya…”

“Eh…”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
4
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top