Sedang Membaca
Perkawinan Soekarno: Melamar Istri Orang sampai Menikahi Perempuan Muhammadiyah
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Perkawinan Soekarno: Melamar Istri Orang sampai Menikahi Perempuan Muhammadiyah

Bung Karno, pendiri negara dan presiden pertama kita, adalah seorang multigamis sekaligus poligamis.

Sebentar. Sebelum saya lanjutkan tulisan ini, penting untuk saya tekankan bahwa multigami dan poligami mungkin adalah konsep yang serupa. Tapi dalam tulisan ini saya akan membedakannya.

Multigami merujuk pada perilaku menikah lebih dari satu kali di waktu-waktu yang berbeda. Sering kan Anda dengar kisah selebriti yang kawin, cerai, lalu kawin dengan orang lain lagi. Nah itu multigami.

Poligami adalah perilaku menikahi lebih dari satu pasangan di dalam kurun waktu yang sama. Jangan nuduh. Saya tak pernah melakukannya.

Nah, Bung Karno itu pernah menikah, lalu bercerai, menikah dengan orang lain, lalu bercerai lalu menikah lagi, lalu menikah lagi, lalu menikah lagi, dan seterusnya.

Total ada sembilan orang yang (diketahui publik) dinikahi oleh Bung Karno, baik secara multigamis maupun poligamis, yakni Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.

Sampai di sini, saya yakin bahwa Anda sudah pada tahu. Tapi yang mungkin tak pernah Anda fikirkan adalah bahwa sejarah negeri ini mungkin akan sangat berbeda jika saja Bung Karno bukan multigamis dan poligamis. Mari kita lihat secara urut.

Siti Oetari, istri pertama yang dinikahi oleh BK tahun 1921, adalah putri pertama pahlawan nasional, ketua Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto. BK adalah anak kos sekaligus murid Tjokroaminoto dalam gerakan politik.

BK menikahi Oetari tak lama setelah istri Tjokroaminoto meninggal. Pernikahan mereka dilakukan di Surabaya ketika BK berusia 20 tahun. Kelak BK mengatakan bahwa pernikahannya dengan Oetari itu unconsummated. BK mengklaim tak pernah melakukan hubungan seksual dengan Oetari.

Tapi saya termasuk yang tak percaya klaim itu. Sungguh.

Sekarang bayangkan, andai BK tak menikahi Oetari, apa yang akan terjadi dengannya? Hal yang paling mungkin adalah bahwa Tjokroaminoto tak akan turut membantu menguruskan kuliah dia di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Kalau BK bukan menantunya, Tjokroaminoto tak akan mengontak Haji Sanoesi, tokoh SI Bandung, untuk menitipkan BK.

Baca juga:  Silang Pendapat Bentuk Negara di Era Bung Karno

Karena dititipi oleh Tjokroaminoto, maka Sanoesi pun menerima BK dan Oetari di rumahnya (yang memang sebagian kamarnya dikoskan).

Tapi masalahnya, BK belakangan malah jatuh hati pada istri Haji Sanoesi yang bernama Inggit Garnasih. BK lalu melamar Inggit pada Haji Sanoesi. Pasangan suami-istri itu pun bercerai tak lama setelahnya.

Nah, Anda, para jomblo zaman sekarang, tak berani melamar anak gadis orang? Payah. BK melamar istri orang pun berani. Silakan berdecak atau keberanian BK ini, boleh “subhanallah!” atau “edan!”.

BK dan Inggit lalu menikah pada tahun 1923, setelah BK menceraikan Oetari dan mengembalikannya pada Tjokroaminoto.

Usia Inggit lebih tua limabelas tahun dari BK. Kelak dia terbukti sangat mendukung perjuangan BK dalam menggelorakan nasionalisme di Bandung, terlebih lagi setelah mendirikan PNI tahun 1927.

Dalam masa-masa penuh gejolak yang membawa BK ke penjara di Bandung, lalu pembuangan di Ende dan Bengkulu, peran Inggit sangatlah besar. Dia pencari nafkah untuk keluarga, sehingga BK leluasa memimpin pergerakan nasional dan menanggung konsekuensinya.

Andai BK tak menikahi Inggit Garnasih, nasionalisme Indonesia mungkin akan memiliki arah yang berbeda. BK tak akan punya partner yang membuatnya cukup punya daya menyalakan api nasionalisme.

Dalam masa pembuangan di Bengkulu, Bung Karno dan Inggit berkenalan dengan keluarga Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah di sana. Hasan Din punya seorang anak gadis belia bernama Fatimah, yang seusia dengan putri angkat BK dan Inggit, Ratna Djuami.

Baca juga:  Generasi Aiwa: Jejak Nusantara di Saudi Arabia

Oh iya, BK dan Inggit tak memiliki anak kandung.

Fatimah (yang kelak berganti nama menjadi Fatmawati) sempat tinggal di rumah BK di Bengkulu. Mungkin saat itulah BK yang berusia 22 tahun lebih tua daripada Fatmawati malah tertarik padanya. Inggit mengetahui hal itu, dan konon sempat marah besar.

Pendudukan Jepang memaksa BK sekeluarga pergi dari Bengkulu kembali ke Batavia. Di sana dia melakukan penyiapan pembentukan negara baru di kawasan eks-Hindia Belanda, dengan bantuan cukup signifikan dari tentara pendudukan Jepang (inilah yang belakangan mendatangkan tuduhan sebagai kolaborator, dan hampir menyeret BK ke “tribun internasional”).

Urusan dengan Fatmawati terbengkalai sejenak, namun hubungan mereka berlanjut. Tahun 1943, BK akhirnya bercerai dari Inggit yang menolak dipoligami. BK lalu menikah dengan Fatmawati.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, berdirilah negara baru di kawasan eks-Hindia Belanda ini. BK menjadi presidennya. Republik revolusi ini adalah republik yang bayinya turut dirawat oleh Fatmawati. Layak kalau Presiden Gus Dur memberi dia gelar pahlawan nasional.

Fatmawati konon adalah companion yang sangat tepat bagi sang Pemimpin Besar Revolusi. Dia adalah pendengar yang baik bagi si Bung saat galau.

Jangan lupa juga, bendera pertama yang dikibarkan di negara baru ini dijahit oleh Fatmawati.

Anda pasti menunggu saya mengatakan: Kalau BK tak menikahi Fatmawati, tak akan ada sang Saka Merah Putih yang hingga hari ini menjadi bendera pusaka kita.

Itu benar juga sih. Tapi bukan itu yang mau saya katakan.

Yang mau saya katakan adalah: andai tak menikahi Fatmawati, mungkin BK tak akan punya anak Megawati. Bayangkan apa jadinya PDIP tanpa Megawati. Hehehe… Serius amat sih.

Fatmawati adalah Ibu Negara selama masa revolusi. BK tetap multigamis sampai pada saat itu. Tapi tahun 1952, ketika negara sudah mulai tenang-tenang, BK malah berjumpa dengan seorang janda berusia 28 tahun dengan tiga anak. Hartini, namanya.

Baca juga:  Sejarah Singkat Sandal

Pertemuan tak sengaja di Salatiga itu berlanjut dengan pertemuan yang agak disengaja di Prambanan beberapa bulan kemudian. Tahun 1953, BK menikahi Hartini. Di tahap ini BK pada intinya beralih dari multigamis menjadi poligamis.

Setelah BK menikahi Hartini, Fatmawati pergi dari Istana, meski tak pernah resmi bercerai dari BK.

Hartini lalu tinggal di Istana Bogor, di sebuah paviliun di sana. Ini serupa dengan Jokowi yang kini juga tinggal di sebuah paviliun di Istana Bogor.

Hartinilah yang sangat berjasa memapankan tata cara kenegaraan di Istana. Sejak 1953, dia lah Ibu Negara dalam praktek, meski resminya Ibu Negara adalah Fatmawati. Hartinilah yang merapikan banyak sekali etiket dan prosedur kenegaraan. Andai BK tak menikahi Hartini, mungkin penataan etiket itu agak lama dan tersendat. Jasa Hartini sangat besar di sini.

Kelak setelah Hartini, BK masih menikah lagi dengan Kartini Manoppo, lalu menikah dengan seorang perempuan Jepang yang berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi, kemudian ada Haryati, Yurike Sanger, dan terakhir Heldy Djafar yang dinikahi ketika kekuasaannya sudah dalam senjakala.

Saat meninggal tahun 1970, hanya Fatmawati, Hartini dan Ratna Sari Dewi lah yang masih tercatat sebagai istri BK. Yang lain sudah diceraikan selama masa 1968-1969.

Soal peran Kartini Manopo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar bagi negara ini, mungkin tak banyak yang bisa kita bahas. Tapi dalam tulisan ini sudah kita lihat betapa sangat pentingnya pernikahan BK dengan Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, dan Hartini bagi negeri ini.

Menikahi mereka semua adalah “amal jariyah” Bung Karno bagi bangsa ini.

Al-Faatihah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top