Sedang Membaca
Islam Struktural Vs Islam Kultural di Aceh
Aan Subhansyah
Penulis Kolom

Peneliti dan praktisi antropologi, tinggal di Yogyakarta

Islam Struktural Vs Islam Kultural di Aceh

Kalau mengikuti berita-berita di media tentang penerapan syariat Islam di Aceh, kita akan mendapati kesan bahwa aturan-aturan agama diterapkan secara ketat di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Memang, apabila kita berada di kota-kota besar, terutama Banda Aceh, kesan syariat sangat terasa. 

Kita sering mendengar dan melihat cara syariat dijalankan. Razia oleh polisi syariah, misalnya, hingga hukuman cambuk yang digelar di depan publik.

Gairah beragama ditekankan pada penerapan aturan dan sanksi, terutama untuk hal-hal yang kasat mata, seperti cara berpakaian kaum perempuan, atau kegiatan berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang disebut khalwat. Oleh kerena itu, di kota Banda Aceh yang merupakan etalase pelaksanaan syariat, orang sangat berhati-hati. Lelaki dan perempuan bukan mahram berboncengan dengan sepeda motor? Bisa-bisa terkena pasal khalwat.

Pemandangan yang kontras terlihat ketika kita  masuk ke desa-desa, atau di kota-kota kecil (kecamatan).  Kesan “keras” itu tidak terasa. Mereka memang taat menjalanakan kewajiban agama, akan tetapi pelaksanaan syariat tersebut adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, tanpa paksaan dan kontrol. Islam di pedesaan Aceh mirip dengan Islam di wilayah lain di Nusantara, yang cenderung bersifat kultural daripada struktural.

Saya akan menyajikan implikai dari berjalananya dua “mode” beragama tersebut, struktural dan kultural, di Aceh, dahulu dan kini.

Negeri  Uleebalang

Bolehlah sejenak kita menengok ke belakang. Buku antropologi klasik tentang  Aceh yang sangat terkenal adalah De Atjehers (1893,1894) karya Snouck Hurgronje. Di sana dikisahkan Aceh terdiri atas negeri-negeri kecil yang berbeda asal usul. Negara-negara kecil itu dikuasai oleh para bangsawan yang disebut Uleebalang. Disebutkan bahwa telah terjadi percampuran di antara kelompok-kelompok berbeda asal-usul tersebut yang kemudian melahirkan bangsa Aceh yang terbiasa dengan perbedaan.

Hurgronje juga mengatakan bahwa jauh sebelum Islam masuk, Aceh sudah dipengarui oleh hinduisme. Beberapa kebiasaan Hindu itu masih tersisa hingga saat ini, misalnya budaya peusijuk, yakni semacam ritual keselamatan yang menggunakan beras kunyit sebagai properti upacara.  Dengan demikian sangatlah mungkin bahwa masuknya Islam ke Aceh adalah juga akibat keterhubungan dengan orang-orang India yang masuk ke Aceh kemudian.

Wilayah kerajaan Islam pertama berada di lembah Aceh Besar pada awal abad ke-12 masehi. Sutan Johan Syah yang memerintah pada waktu itu telah menanamkan tradisi ahlussunah wal jamaah dengan mazhab Syafi’i yang dekat dengan paham wahabi. Meski demikian, pada masa yang sama di banyak komunitas Aceh juga telah berkembang aliran-aliran sufisme yang “spiritualis” dan sangat  berbeda dengan wahabisme yang “skripturalis” tersebut.

Artinya pada masa itu di Aceh telah mulai terbentuk dua aras keislaman, yakni Islam “syariat” sebagai agama resmi negara, dan Islam “tarikat” sebagai ekspresi dari komunitas-komunitas setempat. Kedua aras tersebut, Islam struktural dan Islam kultural, telah sama-sama memberi warna pada identitas keislaman Aceh hingga masa-masa selanjutnya.

Sejarawan lain, Anthony Reid juga mengatakan bahwa identitas Aceh ada dalam relasi Negara Aceh Darussalam dengan kebudayaan Islam yang sudah masuk sejak abad ke-13. Jati diri Aceh dengan corak Islam itu menguat pada sekitar abad ke-16, ketika kerajaan Aceh Darussalam berhadapan dengan Portugis yang kala itu sudah bermarkas di Pidie dan di Pasai.  Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan beberapa kerajaan yang terletak di sepanjang pantai timur, untuk kemudian melawan Portugis yang sudah menguasai Pidie dan Pasai. Penyatuan beberapa kerajaan tersebut membentuk wilayah Aceh Besar atau disebut juga Atjeh Proper atau Groot Atjeh.

Menarik untuk dicermati bahwa demi membendung kekuasaan Portugis, kesultanan Aceh telah menjalin hubungan bilateral dengan Turki yang pada waktu itu adalah pusat kekuatan Islam dunia. Meski menurut sejarawan Belanda H.C. Zentgraaf respon sultan Turki tidaklah terlalu signifikan mengingat jarak georgafis antara Aceh dan Turki yang cukup jauh, akan tetapi hal ini dapat menjadi bukti bahwa  Islam menjadi alat politik utama bagi sultan Aceh. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Islandar Muda (bekuasa antara tahun 1607-1636) di mana sturktur pemerintahan Aceh sudah tertata sangat rapi berdasarkan syariat Islam.

Baca juga:  Bocah Mengenali Ulama Itu Pahlawan

Qanun

Sultan Iskandar Muda menerapkan pengaturan lembaga politik secara sentralistik. Kesultanan mengadopsi Qanun Meukuta Alam al Asyi yang bersumber dari Alquran, hadis, ijma’, dan qiyas, untuk mengatur negara.  Berdasarkan Qanun tersebut kesultanan tersusun dari Gampong, Mukim, Nanggroe, dan Sagoe. Gampong adalah bentuk teritorial terendah, Mukim adalah kumpulan dari beberapa Gampong.

Mukim disatukan oleh meunasah yang menyelenggarakan sholat Jumat. Di atas Mukim terdapat struktur kekuasaan Nanggroe yang merupakan gabungan dari beberapa Mukim. Nanggroe dipimpin oleh para Uleebalang. Relasi antara anggota kelompok elit Aceh yaitu Sultan, Uleebalang, dan Ulama membentuk corak politik lokal di masa itu.

Jelaslah bahwa Negara Aceh adalah operator yang melaksanakan proses islamisasi secara legal formal melalui perangkata aturan dan struktur kelembagaan. Islam sebagai agama resmi dengan segala perangkatnya menjadi panduan dalam menjalankan kekuasaan politik. Di sisi lain, kelompok-kelompok tarikat atau sufi yang banyak variannya di Aceh juga tidak dianggap bertentangan dengan dengan syariat islam yang diakui Negara waktu itu.

Bahkan di kemudian hari kelompok-kelompok tersebut justru banyak berperan dalam perjuangan Aceh ketika berperang melawan Belanda. Dengan demikian “Islam struktural” yang dipraktikan negara berjalan seiring dengan “Islam kultural” yang menjadi bagian dari hidup sehari-hari komunitas di pedesaan.

Banyak sejarawan sudah menulis tetang Perang Aceh melawan Belanda yang berlangsung pada tahun 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh digambarkan sebagai kekuatan yang didasari pada semangat jihad telah memberikan perlawanan yang sengit. Akan tetapi perang yang berlangsung sekitar 80 tahun itu kemudian dirasakan semakin merugikan kehidupan masyarakat, maka akhirnya Sultan Aceh secara resmi menyatakan menyerah kepada Belanda. Meski demikian, para tengku/ulama dari wilayah pantai timur Aceh menolak untuk ikut menyerah, mereka melanjutkan  perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya.

Sejarawan Belanda H.C. Zentgraaff (1938) mengisahkan bawa pihak Kesultanan Aceh, melaui Panglima Polim, sudah berusaha menyurati para tengku dan ulama agar ikut meletakkan senjata, dan mulai membangun kembali tatanan masyarakat berdasarkan syariat. Apa yang dilakukan Panglima Polim itu sejalan dengan perubahan strategi pihak Belanda  dalam menguasai Aceh.

Atas saran dari antropolog Snuock Hurgronje, Belanda tidak akan melarang syariat Islam, akan tetapi berupaya mengubah orientasi syariat itu: semula sebagai  dasar perjuangan/jihad, menjadi sekedar sebagai alat kontrol internal masyarakat Aceh sendiri.

Akan tetapi ajakan menyerah dari panglima Polim itu ditolak oleh para tengku, dan terutama ulama-ulama di Tiro. Belanda pun kemudian memfokuskan gempurannya pada gerakan rakyat ini, bukan lagi pada Kesultanan Aceh yang sudah takluk. Dengan begitu perlawanan rakyat terus berlanjut: laki-laki, perempuan, tua muda maju bersama ke medan laga. Wilayah  Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda sepenuhnya, situasi ini berlanjut sampai Belanda meninggalkan Nusantara seiring kedatangan penjajah baru yakni Jepang.

Dari kisah Zentgraaff di atas, jelas bahwa ketika Negara tunduk, maka komunitas terus melawan.  Ketika Negara yang menjalankan Islam struktural sudah mengikuti kehendak kolonial belanda, maka komunitas Islam kultural di desa-desa terus mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan.

Pada masa kemerdekaan RI, akibat perlakuan pemerintah RI yang dinilai tidak adil,  perang rakyat Aceh melawan Belanda seolah bertranformasi menjadi semangat memisahkan diri dari NKRI. Bermula pada tanggal 21 september 1953, Tengku Daud Beureueuh mengobarkan perlawanan sebagai sikap tidak puasnya terhadap “penghilangan” identitas Aceh. Setelah melalui tarik-menarik politik dan militer, pemerintah pusat kemudian memberikan status Daerah Istimewa pada provinsi Aceh.

Akan tetapi hal itu tidak menghentikan Jakarta untuk menyelenggarakan sentralisasi politik sebagai sarana menguasai Aceh.  Maka pada tahun 1976 Hasan Tiro memproklamasikan Aceh Merdeka dan mengangkat senjata melawan NKRI. Demikianlah, Aceh pun kemudian ditetapkan sebagai  Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah RI.

Tsunami

Tanggal 26 Desember 2004 sebagian wilayah Aceh terkena gempa besar dan tsunami. Peristiwa itu telah membuka era baru di Aceh. Banyak warga di desa percaya bahwa tsunami itu bersar hikmahnya bagi orang Aceh. Pasca tsunami banyak warga yang merasa semakin yakin akan masa depan Aceh yang lebih baik. Keyakinan mereka pada kebesaran Allah semakin kuat. Bahwa segala sesuatu adalah takdir, hidup dan mati, bencana dan kurnia, semua harus diterima dengan sabar dan syukur.

Baca juga:  Praktik Fikih Selama Pandemi (4): Bagaimana Pesantren Menghadapi Wabah?

Sikap yang menyesali atau meratapi nasip dianggap sebagai sikap yang tidak mensyukuri rahmat Allah.  Benarlah bahwa pasca tsunami, Aceh memasuki era damai, yang diawali dengan perjanjian Helsinki (tahun 2005). Banyak orang yang semula mengungsi ke berbagai tempat, termasuk Malaysia, kembali ke gampong masing-masing.

Mereka berusaha membangun kembali kehidupan mereka yang sempat porak-poranda akibat konflik. Desa-desa kembali ramai, meski tidak semua orang bisa benar-benar kembali pada kehidupan semula. Banyak warga yang sudah kehilangan rumah dan harta benda akibat rumahnya terbakar. Akan tetapi secara umum keadaan berangsur-angasur membaik.

Era damai

Saat ini dapatlah dikatakan Aceh  sudah berada di era damai. Orang-orang yang dulu mengangkat senjata melawan penguasa, kini banyak yang terlibat di pemerintahan, bahkan menjadi tokoh penting. Otonomi khusus sudah diberlakukan di Aceh dengan ciri utama adalah penerapan syariat islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.

Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh. Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain : Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syariat islam; Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras); dan Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).

Penerapan syariat oleh pemerintah Aceh sekarang ini mengingatkan kita pada gagasan syariat yang distrukturkan oleh antopolog Belanda Snouck Hurgronje, yakni dokrin-dokrin yang diarahkan untuk menata/mengatur moral masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah Aceh, menjadi otoritas yang kuat mengatur perikehidupan warga yang  pasti tidak lepas dari  kepentingan  para elit.

Hal itu tercermin dari pelaksanaan hukuman yang lebih banyak mempersoalkan moral masyarakat lapis bawah dan perempuan. Hampir setiap hari kita baca di media bahwa kaum perempuan cenderung menjadi objek kontrol pemerintah atas nama syariah. Padahal kita tahu bahwa Islam kultural di Aceh dalam sejarahnya sangat memberi ruang pada kaum perempuan, ini terbutkti banyak sekali penjuang sekelas Cut Mutiya yang lahir di jaman perang dahulu. Sejarwan Belanda Zentgraaff (1938) bahkan dengan penuh kekaguman menyebutkan bahwa ada ribuan perempuan Aceh yang gagah berani bertempur di medan perang bersama-sama kaum pria.

“ACEH itu adalah singkatan: Arab, Cina, Eropa, Hindu”. Demikian dikatakan  Geuchik (kepala desa) Desa Paya Dua, Kecamatan Peudawa, Aceh Timur, sewaktu kami ngobrol ringan tentang asal-usul orang Aceh. Menurutnya orang Aceh adalah keturunan empat “ras” tersebut, yang sudah bercampur-baur dan membentuk suku Aceh sekarang.

Soal akronim ACEH versi tokoh lokal itu tidak perlulah kita persoalkan, mungkin itu sekedar kreatifitas dalam berkata-kata. Akan tetapi yang menarik adalah di situ secara tegas tercetus kesadaran  akan keberagaman. Jika kita berjalan-jalan di desa-desa di Peudawa, maka kita dapat merasakan sifat keberagaman orang Aceh itu yang terekspresikan dalam keterbukaan mereka terhadap orang baru.

Kita cukup mampir di salah satu warung kopi, lalu memperkenalkan diri, maka mereka langsung akan mengajak kita ngobrol panjang lebar.   Warung kopi bagi komunitas pedesaan di Aceh jelas merupakan ruang sosial yang memungkinkan bertemuanya semua kalangan, tanpa perbadaan status dan profesi.

Sering  juga kita lihat kaum ibu ikut nimbrung di warung kopi meski mengambil tempat yang agak terpisah, misalnya di bagian dalam atau malah di luar/teras. Siapa saja bisa bicara, dan bisa membicarakan apa saja. Warung kopi adalah “ruang tamu” sekaligus “ruang keluarga” bagi komunitas. Di situ rasionalitas dalam berwacana terus-menerus dibangun.

Suatu hari saya mampir di sebuah warung kopi di desa Paya Dua. Di dalam warung itu ada lima orang bapak tengah  ngobrol serius dalam bahasa Aceh tentang isu politik lokal. Begitu saya duduk dan bergabung, salah seorang dari mereka menerangkan kepada saya tentang topik pembicaraan mereka itu dalam bahasa Indonesia.

Baca juga:  Belajar Kearifan Lokal Smong, Mitigasi Bencana Orang Simeulue

Obrolan berbahasa Aceh itu pun terus berlanjut, dan orang yang duduk dekat saya itu terus-menerus menyampaikan perkembangan obrolan merekan itu kepada saya dalam bahasa Indonesia. Kadang-kadang salah seorang yang lain juga nyeletuk dalam bahasa Indonesia untuk meminta pendapat saya tentang topik tersebut.

Ketika saya mulai nimbrung, mereka pun lalu merespon balik dengan bahasa Indonesia. Pengalaman saya ketika berada di Peudawa menunjukkan bahwa hampir semua orang di sana biasa berbahasa Indonesia dengan baik, meskipun dalam hubungan internal mereka  berbahasa Aceh. Dan yan lebih penting adalah, betapa mereka sangat menghargai tamu yang hadir di tengah-tengah mereka.

Dalam kehidupan beragama, orang-orang di pedesaan di Peudawa melaksanakan ajaran Islam sama seperti melaksanakan aktifitas sehari-hari yang lain.  Masjid akan tampak penuh jika salat Jumat, dan lumayan banyak pada saat sholat magrib. Di luar jam-jam tersebut umumnya warga melakukan sholat di rumah atau di tempat aktifitas masing-masing. Tidak ada pakaian khusus untuk sholat, kaum laki-laki menggenakan sarung dan kopiah.

Pakaian sehari-hari kaum perempuan tampak biasa saja,  ketika berada di rumah mereka mengenakan baju lengan panjang atau pendek yang dipadukan dengan sarung, rok panjang hingga betis, atau celana panjang.  Kerudung lebih sering dikenakan apabila berada di ruang publik atau ketika ada acara-acara yang melibatkan orang banyak.

Interaksi antara laki-laki dengan perempuan meski tetap mengacu pada  syariah, akan tetapi tetap menyisakan ruang negosiasi. Orang memang tidak bisa pergi berdua dengan lawan jenis yang bukan muhrim, akan tetapi misalnya ada orang luar yang datang ke desa untuk suatu keperluan yang mendesak maka hal itu bisa saja dilakukan dengan  tetap dapat menjaga norma-norma kepantasan.

Syariat Islam secara formal memang diberlakukan di seluruh provinsi Aceh. Akan tetapi kalau kita berkunjung ke desa-desa di Peudawa maka pelaksanaan syariat akan lebih kultural sifatnya. Hal itu juga tercermin dari pernyataan seorang tengku di Peudawa:

…di gampong ini orang sudah saling mengenal tabiat masing-masing, dalam menjalankan syariat juga sudah bukan barang baru, sudah berabad-abad.  Sekarang ini memang ada undang-undang atau qanun syariat dari pemerintah, tetapi agama yang bagus itu bukan karena dipaksa-paksa, bukan juga karena razia. Agama selayaknya mulai dari hati masing-masing orang, dan dibina dalam adat sehari-hari, itulah gunanya orang belajar agama di meunasah.”

Struktural vs kultural

Sampai di sini ada beberapa kesimpulan: Sejak awal di Aceh sudah berkembang “Islam struktural” sebagai alat politik Negara dan “Islam kultural” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari komunitas di pedesaan. Dalam sejarah islam struktural itu pernah tunduk pada kekuasaan Belanda, sementara islam kultural terus melawan dengan penuh semangat jihad yang melibatkan laki dan perempuan.

Ketika Aceh memasuki era damai saat ini, Islam struktural memang lebih sering diwacanakan oleh media masa, hal ini terjadi karena watak media massa juga bersifat struktural sehingga mereka berada dalam frekwensi yang sama. Pengkostruksian syariat yang  dimunculkan sebagai wacana resmi terkesan sengaja mencitrakan Aceh sebagai sesuatu yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Sementara Islam kultural yang berkembang di pedesaan jarang menjadi wacana, melalui media kita  seolah-olah dijejali pemahaman bahwa semua orang Aceh adalah “fanatik”. Padahal sebenarnya orang Aceh mirip dengan masyarakat pedesean lain di Indonesia pada umumnya. Mereka bersifat terbuka, toleran dan suka bergaul dengan semua kalangan.

Kalau kita menilik sejarah, masyarakat Aceh sejak berabad-abad memang sudah terhubung dengan berbagai suku atau bangsa-bangsa lain. Keterbukaan masyarakat Aceh, terutama di wilayah pesisirnya, terbentuk melalui proses interaksi dan interkoneksi jaringan perdagangan, penyebaran agama islam, dan pertukaran nilai-nilai yang bersifat lintas bangsa, kosmopolitan, dan interaktif.

Riwanto Tirtosudarmo (2010) menyebutkan bahwa perlawanan masyarakat Aceh sejak jaman kolonial hingga periode pasca kemerdekaan merupakan cerminan dari penolakan terhadap dominasi kekuasaan yang berusaha membelenggu tradisi keterbukaan dan kosmopolitan yang menjadi karakter dasar masyarakat Aceh.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top