Sedang Membaca
Kisah Hikmah Klasik (9): Qais bin Shirmah dan Tradisi Sahur
AZMUL HALIM
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta.

Kisah Hikmah Klasik (9): Qais bin Shirmah dan Tradisi Sahur

Ilustrasi Membangunkan Orang Sahur

Banyak tradisi-tradisi di bulan Ramadan, di antaranya adalah makan sahur dan berbuka. Bisa dikatakan tradisi-tradisi inilah yang membedakan puasa yang dijalankan oleh umat muslim dan umat-umat agama lain.

Tradisi sahur bukanlah sembarang tradisi. Tradisi sahur dilaksanakan umat muslim beriringan dengan dilaksanakannya ibadah puasa itu sendiri dan terdapat anjuran syari’at yang melatarbelakangi tradisi ini.

Menurut beberapa riwayat umat-umat terdahulu melaksanakan ibadah puasa seharian penuh. Selain itu, umat-umat terdahulu juga tidak diperbolehkan menggauli istri-istrinya selama bulan puasa itu berlangsung.

Beberapa riwayat juga menjelaskan, bahwa adanya tradisi sahur berhubungan dengan salah satu sahabat nabi yang bernama Qais bin Shirmah.

Qais bin Shirmah adalah salah satu sahabat nabi yang taat dalam menjalankan perintah-perintah agama. Qais bin Shirmah berasal dari kalangan Anshor dan bekerja sebagai buruh di salah satu kebun kurma. Lalu apa hubungannya sahabat Qais dengan anjuran sahur bagi umat muslim?

Kisah sahabat Qais bin Shirmah menjadi awal mula dianjurkannya makan sahur sebelum menunaikan ibadah puasa.

Pada suatu ketika sahabat Qais bin Shirmah sedang menjalankan ibadah puasa beserta umat muslim lainnya. Pada saat itu Ramadan berlangsung bertepatan dengan musim kemarau.

Ibadah puasa telah dianjurkan kepada umat-umat terdahulu, oleh karenanya para sahabat menjalankan ibadah puasa sebagaimana anjuran puasa pada agamanya terdahulu. Mereka menjalankan ibadah puasa mulai dari waktu isya sampai terbenamnya matahari. Begitu pula dengan sahabat Qais, ia dengan penuh semangat menjalankan ibadah puasa tanpa sedikitpun mengurangi kebiasaan bekerja layaknya di hari selain bulan Ramadan.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (22): Anak yang Hilang Kembali Pulang Berkah Doa Syekh Habib Al-Ajami

Ketika tiba waktu berbuka, sahabat Qais bertanya kepada istrinya “apakah ada makanan untuk berbuka puasa?” Namun istrinya menjawab bahwa saat itu tidak ada makan sama sekali. Kemudian istri Qais keluar untuk mencarikan makanan.

Sementara istri Qais keluar, Qais yang kelelahan setelah bekerjapun beristirahat dan akhirnya ia tertidur. Sahabat Qais tertidur tanpa makan sedikitpun untuk berbuka.

Beberapa saat kemudian, istri Qais kembali dengan membawa makanan. Namun, dia melihat sang suami sudah tertidur lelap. Qais pun tertidur hingga keesokan hari.

Keesokan harinya, yang belum sempat makan apapun sejak puasa kemarin, kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, ketika dirinya sedang bekerja, tiba-tiba dia terjatuh dan pingsan. Mengetahui hal ini, para sahabatpun melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah.

Menurut beberapa riwayat kejadian yang dialami sahabat Qais ini menjadi asababun nuzul dari QS Al-Baqrah ayat 187:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Baca juga:  Gus Baha Mengajak Kita Beragama dengan Gembira

Artinya : Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.

Menurut Imam Jalaluddin dalam kitab Tafsir Jalalain (Surabaya : Nur al-Huda, halaman 27) turunnya ayat ini menasakh hukum yang berlaku di masa permulaan Islam, berupa pengharaman mencampuri istri, begitu pula diharamkannya makan dan minum setelah waktu isya’. Selain itu ayat ini juga menjelaskan waktu diperbolehkannya melaksanakan sahur sebelum berpuasa.

Beberapa negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti Indonesia, memiliki cara unik tersendiri untuk membangunkan warganya saat waktu sahur tiba. Beberapa cara membangunkan sahur sudah menjadi tradisi turun temurun di berbagai wilayah Indonesia. Tradisi-tradisi seperti inilah yang sering kita rindukan di bulan Ramadan.

Baca juga:  Imam Hasan al-Bashri Membebaskan Budak dari Mimbar Jumat

Tradisi membangunkan orang sahur untuk berbagai daerah di Indonesia berbeda- beda. Akan tetapi pada dasarnya, tradisi membangunkan sahur di hampir seluruh daerah sama yakni menimbulkan suara berisik untuk membangunkan orang.

Tradisi membangunkan sahur biasanya dilakukan secara berkelompok. Sekelompok orang ini membangunkan sahur dengan membawa bedug yang diangkut menggunakan gerobak dan diarak beramai-ramai, sambil berteriak “Sahur! Sahur!”. Jika tidak ada bedug, alat-alat seadanya seperti galon dan kentongan pun jadi. Dari tradisi tersebut rasa kebersamaan warga sangatlah terasa. Tradisi-tradisi seperti  ini semoga tetap lestari guna memeriahkan bulan suci Ramadan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top