Nama Syaqiq Al-Balkhi cukup familier di kalangan pengkaji tasawuf. Dia dikenal sebagai ulama sufi yang zuhud murid dari Imam Abu Hanifah, Rabiah Adawiyah dan Ibrahim bin Adham. Syaqiq selama menjadi santri sudah masyhur dengan pengabdiannya kepada guru-gurunya.
Nama lengkap beliau adalah Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi. Beliau wafat di daerah Khalton, Tajikistan pada tahun 810 M. Syaqiq tumbuh dan besar dalam keluarga kaya raya. Ia sendiri seorang saudagar tajir. Jaringan bisnisnya meluas hingga ke sebagian wilayah Turki yang kala itu belum masuk Islam.
Kisah hijrahnya Syaqiq cukup unik. Jika orang biasanya mendapatkan hidayah melalui seorang ustadz atau Kiai, Syaqiq berbeda. Justru dia mendapatkan petunjuk melalui seorang imam dari pada penyembah berhala. Diriwayatkan dalam kitab At-Tawwabin, di sela kesibukan bisnisnya di Turki, Syaqiq iseng memasuki sebuah kuil yang penuh berhala yang disembah. Dia ingin melihat aktivitas yang terjadi di dalam kuil. Tak ada niat untuk ikut menyembah.
Setelah melihat hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk menyembah berhala, Syaqiq musykil dengan apa yang mereka lakukan. Sebab selama ini dia dididik dengan ketauhidan yang mengajarkan mengenai Allah dan kekuasannya. Karena musykil, dia pun mendatangi salah seorang imam dalam kuil. Lalu mereka berdua saling mengenalkan diri dan berbincang-bincang.
Ketika sampai pada obrolan mengenai sesembahan mereka, Syaqiq mengkritik praktik ibadah penyembah berhala. la berkata kepada imam mereka, “Menurut saya, penyembahan terhadap berhala ini keliru, Pak,” kata Syaqiq, “berhala ini ada yang menciptakan yakni Zat yang Mahapencipta yang tidak menyerupai apa pun; Yang Mahapemberi rezeki.”
“Jika demikian adanya, Kang. Maka sebenarnya perkataan panjenengan ini tak sesuai dengan perbuatanmu. Tak selaras sama sekali.” jawab imam yang tak terima dengan kritik Syaqiq.
“Maksudnya bagaimana, Pak?”
“Jelas tak sejalan. Panjenengan bilang punya Tuhan Pencipta Yang Mahapemberi rezeki dan Mahakuasa atas apa pun di dunia ini. Jika demikian adanya, lantas mengapa panjenengan jauh-jauh pergi ke negeri ini untuk mencari rezeki? Bukankah rezekimu sudah ditanggung oleh Tuhanmu?” jawab imam kuil.
Mendengar penjelasan itu, Syaqiq terdiam. APa yang diucapkan imam kuil ada benarnya. Perkataannya benar-benar telah menyinggung perasaan dan logika Syaqiq sehingga membuatnya berpikir kalau selama ini pola hidupnya salah karena dirinya selalu sibuk mencari harta ke sana kemari hingga lelah seolah Tuhan yang disembahnya tak membagi rezeki untuknya.
Syaqiq terus meresapi perkataan imam kuil tersebut sampai akhirnya dia memutuskan untuk memutar haluan hidup. Di saat waktu berbisnis sudah selesai, Syaqiq pulang ke negerinya. Dia berkomitmen untuk mengubah jalan hidupnya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah. Dia pun meninggalkan dunia bisnisnya. Sementara itu harta yang dimilikinya disedekahkan seluruhnya untuk umat. Setelah semua hartanya habis, Syaqiq pergi menuntut ilmu dan menempuh jalan menuju Allah dengan sungguh-sungguh sampai akhir hayatnya.
Salah satu keturunan Syaqiq berkata, “Kakekku pernah memiliki jaringan bisnis di sekitar tiga ratus kota. Tapi, pada hari kematiannya dia tidak punya kafan untuk mengafaninya. Seluruh kekayaannya habis disedekahkan.”