Said bin al-Musayyab adalah salah satu ulama yang hidup pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sosok Malik bin Marwan adalah pemimpin yang cerdik, tetapi tidak mampu menarik Said bin al-Musayyab yang merupakan pembesar Tabi’in sekaligus ilmuwan dan ahli ibadah untuk merapat ke dalam barisannya di dalam pemerintahan.
Kecerdikan Malik bin Marwan beserta para pembantunya, ternyata tidak mampu menaklukan Said bin al-Musayyab karena rasa cinta dan sikap rendah hatinyanya. Bahkan ketika Khalifah mencoba untuk mendekatinya, yang ada hanyalah penolakan-penolakan semata yang berujung kepada kekecewaan.
Abdul Aziz al-Badri dalam Al-Islam baina al-Ulama wa al-Hukkam menyebutkan bahwa salah satu hal yang menjadikan Abdul Malik bin Marwan kecewa adalah ketika dia menawarkan uang kepada Said bin al-Musayyab sebanyak tiga puluh ribu dirham sebagai hadiah, namun Sa’id menjawab, “saya tidak membutuhkannya dan tidak membutuhkan Bani Marwan hingga saya bertemu Allah dan mengadili antara saya dan mereka.”
Seiring berjalannya waktu, Khalifah Malik bin Marwan menghadap Sa’id bin al-Musayyab dengan tujuan ingin menikahkan Al-Walid yang merupakan putranya dengan putri Sa’id al-Musayyab. Namun yang terjadi adalah penolakan terhadap tawaran tersebut, karena Sa’id tidak ingin mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya. Bahkan Sa’id juga tidak peduli dengan resiko yang terjadi selanjutnya, ketika menolak tawaran tersebut. Karena bagi Sa’id, model pendekatan tersebut tidak sesuai dengan kehendak Allah Swt. Sa’id al-Musayyab tentu tahu, bahwa itu bagian dari cara menarik dirinya agar masuk ke dalam barisan pemerintahan.
Setelah menolak lamaran sang Amirul Mukminin, Sa’id justru malah menikahkan putrinya tersebut dengan muridnya yang bernama Abu Wada’ah. Kisah pernikahan putri Sa’id bin al-Musayyab sendiri dijelaskan dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’ karya Abu Nu’aim al-Asfahani.
Berbagai penolakan dari Sa’id al-Musayyab membuat Amirul Mukminin lemas dan pingsan, karena kecerdikannya ternyata tidak bisa membuat Sa’id bin al-Musayyab luluh kepadanya. Termasuk tawaran menjadikannya besan.
Setelah kejadian tersebut, polemik pun dimulai. Tepatnya ketika semua penduduk Madinah setuju menjadikan al-Walid dan Sulaiman sebagai pemimpin Madinah, Sa’id justru tidak menyetujuinya. Amirul Mukminin kemudian mendapat surat pemberitahuan tentang hal tersebut dari Gubernur Madinah yaitu Hisyam bin Ismail, dan Khalifah kemudian membalas surat itu dan berkata, “sesungguhnya dia berhadapan dengan pedang, jika dia tetap pada pendiriannya, cambuklah lima puluh kali dan terlantarkanlah dia di pasar.”
Ketika surat tersebut sampai di tangan gubernur, Sulaiman bin Yasar, Urwah bin Zubair dan Salim bin Abdullah pergi menghadap Sa’id bin al-Musayyab sambil berkata, “kami datang kepadamu ada urusan, karena telah datang surat dari Amirul Mukminin yang isinya; jika kamu tidak mau membaiat, maka kamu akan dipukul lehermu. Maka kami menawarkan tiga alternatif kepadamu, dan pilih salah satunya. Gubernur akan membacakan kepadamu surat itu, maka jangan berkata iya atau tidak.”
Ketika mendengar hal tersebut, Sa’id pun berkata, “orang-orang akan berkata Sa’id membaiat. Saya tidak melakukannya. Jika dia berkata tidak, maka mereka tidak bisa berkata ya.” Dan apa yang dikatakan oleh Sa’id adalah sebuah penolakan atas apa yang diperintahkan oleh utusan Amirul Mukminin.
Mereka kemudian berkata, “tinggallah kamu di rumah, dan jangan keluar untuk shalat dalam beberapa hari, karena dia akan menemuimu. Jika dia mencarimu dan kamu tidak ada, maka kamu akan dihukum.” Mendengar perkataan tersebut, Sa’id menjawab, “telinga saya mendengar adzan, hayya ala ash shalah hayya ‘ala al-falah, saya tidak akan melakukan apa yang kalian minta.”
Mendengar jawaban Sa’id, merekapun berkata, “pindahlah kamu dari rumahmu ke tempat lain, karena dia akan mengutus utusan kepadamu. Jika kamu tidak ada, maka kamu akan ditangkap.” Sa’id pun menyangkal perintah mereka dan berkata, “haruskah saya takut kepada mahluk Allah. Saya tidak akan maju atau mundur walau selangkah.”
Ketika waktu dzuhur tiba, akhirnya mereka semua keluar untuk mengerjakan shalat. Setelah shalat, Sa’id tetap duduk di majlisnya. Dan ketika wali selesai shalat, dia mengutus seseorang kepada Sa’id dan berkata, “sesungguhnya Amirul Mukminin menulis surat yang isinya menyuruh kami untuk memberitahukan bahwa jika kamu tidak mau membaiat, maka kami akan memukul lehermu.”
Mendengar ucapan tersebut, Sa’id masih tetap teguh dengan pendiriannya dan berkata, “sesungguhnya Rasulullah Saw melarang dua baiat yaitu baiat kepada al-Walid dan Sulaiman pada waktu yang sama.” ketika gubernur itu tahu bahwa Sa’id tidak memenuhi pemintaan itu, dia langsung diseret ke tempat pemancungan. Pedang pun dijulurkan di leher Sa’id, dan ternyata gubernur hanya menggertaknya saja, karena yang diacungkan kepada Sa’id hanyalah pakaian yang terbuat dari rambut. Setelah peristiwa itu, sa’id kemudian berkata, “seandainya saya tahu itu, tentu saya tidak terkenal dengan keadaan seperti ini.”
Akhirnya Sa’id dipukul sebanyak lima puluh kali, dan dikeler ke pasar yang ada di pusat kota. Ketika mereka memulangkannya dan berbarengan dengan orang-orang yang kembali dari shalat ashar, mereka berkata, “sesungguhnya wajah-wajah seperti itu tidak pernah terlihat sejak empat puluh tahun.”
Mereka kemudian melarang manusia untuk belajar darinya. Karena kezuhudannya, setiap ada orang yang datang kepadanya, Sa’id berkata, “pergi dariku.” Dia berucap seperti itu karena tidak ingin orang yang datang kepadanya dipukuli karenanya sebagaimana dijelaskan dalam Wafayatul A’yan karya Ibnu Khalikan.
Ternyata siksaan terhadap Sa’id yang berpolemik dengan penguasa setelah kejadian tersebut masih berlanjut. Tepatnya setelah Sa’id dipukul dan dikeler di pasar, dia dibawa oleh Hisyam bin Ismail ke dalam penjara. Dan di dalam penjara pun, Sa’id masih tetap kukuh dengan pendiriannya. Bahkan ketika Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits Sa’id membujuknya, Sa’id sama sekali tidak menggubrisnya.
Konfrontasi Sa’id dengan penguasa yaitu gubernur Madinah sebagai kepanjangan tangan Amirul Mukminin, membuat Sa’id mendapat banyak cobaan dan siksaan ketika di penjara. Bahkan punggungnya pernah dijadikan landasan untuk menyembelih kambing. Namun selama berada di penjara, Sa’id selalu memohon kepada Allah agar diselamatkan dari Hisyam bin Ismail.
Dan ternyata konfrontasi Sa’id bukan hanya dengan Hisyam bin Ismail saja, dia juga berpolemik dengan gubernur Madinah yang lainnya yaitu Abdullah bin Zubair. Tepatnya ketika Abdullah bin Zubair memerintahkan Jabir al-Aswad az-Zuhri untuk menjadi Gubernur Madinah. Zubair menyeru agar semuanya membaiat bin zubair. Namun Sa’id berkata, “tidak, hingga semua orang berkumpul. Kejadian itu pun membuat Sa’id dipukul sebanyak enam puluh kal. Namun ketika Zubair tau, dia menyuruh untuk membiarkannya.
Perseteruan antara Sa’id bin al-Musayyab dengan Malik bin Marwan, dan para gubernurnya sendiri dilatarbelakangi keengganan Sa’id yang harus menuruti keinginan penguasa. Baginya seorang ulama tidak layak jika harus tunduk kepada penguasa, apalagi jika diatur untuk mengeluarkan berbagai fatwa yang hanya menguntungkan para penguasa.