Nahdlatul Ulama (NU) adalah makhluk. Bukan sesembahan. Apakah hanya kebetulan bahwa NU tak lahir di New York, Peterongan atau Mozambik?
Di mana pun lahirnya, NU berada di planet yang sama.
Simbol NU adalah sekujur bumi dan bukan cuilan bagian timur pulau Jawa. Namun Surabaya adalah bagian dari seluruh dunia dan begitu pun sebaliknya.
Usia NU nyaris seabad—didirikan sejak 1926. Para pewarisnya memaknainya secara tak sama. Bagaimanakah menjadi orang NU? Tak hanya satu jawabannya.
NU serupa puisi bagi setiap orang yang menjalaninya. NU bukanlah spanduk atau poster yang terang terbaca tulisannya.
Apakah NU adalah ideologi ataukah gaya hidup? Pengetahuan dan pengalaman akan memberikannya jawaban atau inspirasi. Ada yang memberi makna NU sesuai watak pribadinya dan ada yang merasukkan NU ke dalam dirinya.
Lalu apakah NU itu yang sebenarnya?
NU bukanlah toko atau tempat mencari nafkah atau penghidupan. NU bukanlah kantor partai. NU juga bukan goa pertapaan. NU bukan ini atau bukan itu. NU adalah juga bukan-bukan yang lainnya.
NU adalah apa yang diperbuat para ulama pendirinya dan menerima amanah untuk mengurusnya. NU bukanlah sistem organisasi belaka. NU adalah organisme, sesuatu yang hidup dan nyata. NU adalah perbuatan yang saleh. Bukan mitos atau pikiran-pikiran canggih yang aneh-aneh. Bukan pula lelucon yang dikultuskan.
Di desa-desa, orang NU merupakan realitas yang menggetarkan. Eksotis. Dari tahlil ke tahlil, dari kuburan ke kuburan, sungguh terasakan militansi mereka yang sakral. Mereka tak paham makna muktamar atau rapat pengurus anggota struktural NU.
Bagi mereka, NU adalah nafas sehari-hari. Sungguh absurd bagi mereka ketika tahu bahwa NU adalah sejenis karier.
Di kota-kota, sebagian orang NU lebih sebagai realitas pergulatan politik. Fenomena perebutan posisi struktural NU telah menjadi sejenis pasar atau transaksi yang menggelikan. Melobi ke sana-sini. Agak seram menyaksikan semua itu sembari mengenang kealiman para ulama.
Coba kita bayangkan andai NU tak pernah ada.
Barangkali Gus Dur yang gemar membaca sastra akan menjadi kritikus sastra seperti HB Jassin. Atau, setelah melepas jabatannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta Gus Dur didaulat menjadi menteri kebudayaan. Atau, Gus Dur fulltime mengasuh pesantrennya di Ciganjur dan menulis kolom tetap di Tempo. Atau, beliau berkelana dari satu kuburan ke kuburan di seluruh dunia.
Para ‘Gusdurian’—penggemar Gus Dur—mungkin tak ada, dan jika pun ada mereka gigih menggiatkan gerakan membaca kitab kuning, gerakan lintas-masjid atau gerakan sowan kiai dan ulama.
Juga giat membaca sastra dan menulis kritik sastra. Bukan giat nyanyi-nyanyi dan sahur bersama di tempat ibadat orang lain seperti yang terjadi di Jombang.
Atau barangkali semua itu atau sebagiannya bisa terjadi dalam sejarah Gus Dur justru lantaran ada NU?
Coba kita telusuri bersama sesuatu yang hanya mungkin ada atau terjadi lantaran NU ada.
NU adalah organisasi masyarakat yang besar massanya dan berpengaruh. Dengan demikian keberadaan dan kebijakan NU signifikan bagi dinamika dan perubahan di banyak lini kehidupan formal maupun non-formal.
Di rumah kasepuhan KH Abdul Wahab Hasbullah di Tambakberas, “hidung sejarah” bisa mengendus jejak-jejak pertemuan Mbah Wahab dengan para tokoh nasional. Soekarno tak jarang sowan kepada pemuka NU itu di rumah kasepuhan setelah kemerdekaan.
Soekarno pernah curhat kepada Mbah Wahab di rumah kasepuhan ketika Papua Barat diduduki oleh tentara Belanda. “Itu kasus ghasab alias pinjam tanpa izin”, ujar Mbah Wahab. Lalu Soekarno meminta solusinya. “Papua Barat diminta baik-baik. Jika tak dikembalikan, rebut saja!” Tentu dialog ini bukan sebagaimana persisnya. Namun intinya seperti itu.
Kala itu Mbah Wahab pemuka NU paling senior dan berpengaruh tindakan maupun opininya. Mbah Hasyim Asy’ari sudah wafat. Wawasan politik nasional dan internasional Mbah Wahab tertempa dan terasah lewat keterlibatannya sebagai ketua Serikat Islam cabang Makkah. Juga aktivitasnya di Tanah Air sebelum berdirinya NU—ia menggagas dan mendirikan organisasi di ranah pemikiran, ekonomi dan patriotisme.
Tanpa “solusi ghasab” dari Mbah Wahab yang dipertimbangkan pendapatnya oleh Soekarno itu, tak mustahil tak ada operasi perebutan Papua Barat melalui operasi militer kala itu dan negera-negara lain di dunia bereaksi sehingga Belanda hengkang dari Papua Barat dan wilayah ini kembali ke pangkuan NKRI.
Tahlil dan ziarah kubur yang mentradisi di kalangan sebagian Muslim di Tanah Air yang diharam-haramkan atau dibidahkan oleh pihak lain mungkin akan tak sekukuh saat ini bila ajaran NU dan para pemukanya tak membelanya. Legalisasi tahlil dan ziarah kubur oleh NU merupakan prestasi kultural juga.
Tahlil sebagai kegiatan ritual bukan tak ada dalilnya. Ritual ini juga membiasakan kebersamaan dalam masyarakat Muslim, merawat daya derma dan kepedulian historis. Yang ditahlili adalah masa lalu dan yang diundang bertahlil menerima suguhan semampu pengundangnya.
Tentang pengharaman atau pembidahan ziarah kubur sebaiknya mengenang advokasi ziarah kubur yang dilakukan oleh Gus Dur, “Pergi ke bioskop tak dilarang, tapi pergi ke kuburan kok tak boleh.”
Karena NU pula para kiai dan ulama tak tabu makan di warung. Dan mungkin pula yang membuat poster Syaikh Abdul Qadir al-Jilani maupun poster ulama dan kiai tak masalah ditempel di dinding warung makan berdampingan dengan kalender bergambar gadis yang bukan mahramnya.
Suatu kala, Mbah Bisri dari Denanyar menolak ajakan Mbah Wahab untuk makan di warung saat keduanya bersama berkendara mobil di luar kota. Tak patut bagi Mbah Bisri kiai makan di warung. Mbah Bisri pesan nasi bungkus saja dan duduk menunggu di dalam mobil.
Setelah selesai makan di warung, Mbah Wahab kembali ke dalam mobil dan tak lupa membawakan pesanan adik iparnya itu. Saat Mbah Bisri asyik makan dalam kendaraan yang sedang melaju di jalan raya, Mbah Wahab berceletuk, ” Kiai kok menolak makan di warung tapi kok malah mau makan di jalan raya”.
Jika tak ada NU bisa jadi populasi rakyat Indonesia lebih banyak ketimbang jumlahnya sekarang. Mbah Bisri adalah ulama fikih di lingkungan NU yang berwibawa dan sikapnya diikuti banyak orang.
Saat rezim Soeharto membuat program Keluarga Berencana (KB) untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk, Mbah Bisri melalui pandangan fikihnya ikut mendukung program pemerintah itu.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pasti sudah lupa jasa Mbah Bisri dan tak mengangkatnya sebagai Bapak Keluarga Berencana—barangkali karena umumnya kiai banyak anaknya.
Jika NU tak pernah ada, saya percaya tulisan ini pun tak pernah ada.