Sering, ketika tamu-tamu sudah pulang, malam telah sepi, penghuni rumah tak lagi terdengar bisik-bisiknya, dan bulan di langit tertatih-tatih berjalan ke barat untuk beberapa jam kemudian tenggelam, Gus Dur tak langsung masuk kamar untuk istirahat, tidur.
Beliau lebih suka tidur di ruang depan, di ruang tamu atau di ruang terbuka di mana saja yang dirasanya nyaman. Jika pun sudah di dalam kamar ia acap keluar kamar sendirian, sambil meraba-raba tembok lalu mencari kursi. Ia duduk-duduk di situ ambil tangannya tetap seperti mengetuk-ngetuk. Atau ia mengambil tempat di lantai dan merebahkan tubuhnya begitu saja atau melingkar sambil memeluk bantal.
Ia tak pernah memilih tempat untuk tubuhnya. Kebiasaan ini tidak hanya ketika ia di rumahnya, melainkan juga di tempat atau rumah orang lain. Pada saat ia ke pesantren saya di Cirebon dalam rangka “diadili” para ulama, ia makan sambil duduk di lantai yang hanya dilapisi tikar tipis.
Lalu ketika ia singgah dan menginap di rumah almarhum Kiai Fuad Hasyim, Buntet Pesantren, Cirebon, ia juga melakukan kebiasaan itu. “Gus Dur sering mampir ke sini untuk sekedar cari teman ngobrol ngalor-ngidul, kadang sampai dini hari yang dingin, sambil lesehan, leyeh-leyeh. Jika sudah ngantuk beliau langsung merebahkan tubuhnya di lantai, begitu saja, kadang melepaskan bajunya dan tidur dalam keadaan tubuh bagian atas tetap terbuka”. Ini cerita almarhum Kiai Fuad kepada saya suatu hari di rumahnya. (Baca tulisan menarik: Cara Gus Dur Tidur)
Saat musim hujan begini, apakah Gus Dur tetap melakukan hobinya tidur di lantah? Entah. Saya tidak tahu. Tetapi saya tahun, bagi Gus Dur, tempat di mana pun sama saja, sebab tubuh sangat tergantung pada jiwa. Tanpa jiwa, bentuk adalah benda padat yang tak berguna. Seorang sufi berkata, “Khudz al-Lubb in Kunta min Uli al-Albab. Ambillah saripati jika engkau seorang cendekia.”
“Memanjakan tubuh sering melalaikan Tuhan,” kata para sufi.