Sedang Membaca
Kisah Pulung Merdiko, Ratu Dorowati Pacitan, hingga Isu ‘Kiamat Lokal’ di Ponorogo
Najib Zahrou
Penulis Kolom

Alumnus S1 Sejarah Universitas Airlangga dan Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Kisah Pulung Merdiko, Ratu Dorowati Pacitan, hingga Isu ‘Kiamat Lokal’ di Ponorogo

pulung merdiko dan kolnial

Membaca pengalaman Heri Priyatmoko pulang ke kampung halamannya di Wonogiri dalam artikel Kampung dan Obrolan Pasca Lebaran: Titenono, Gusti Mboten Sare! saya menjadi ingat kampung halaman saya di Ponorogo sana yang juga bertetangga dengan Wonogiri. Dengan cepat ingatan melompat ke tahun 2019 ketika ada sebuah desa di perbatasan Ponorogo-Wonogiri yang beberapa warganya ‘hijrah’ ke salah satu ponpes di Malang karena percaya isu ‘kiamat lokal’ yang didengungkan oleh salah satu pemimpin spiritual di sana.

Dari 52 warga Desa Watubonang yang hijrah tersebut bahkan ada yang menjual tanah pekarangan dan rumahnya sebagai bekal untuk ‘menghindari’ kiamat tersebut. Bagaimana bisa hal ini terjadi di era sekarang? Satu hal yang perlu dipahami adalah di dalam religiositas masyarakat pedesaan selalu ada kaitan erat antara dunia batin dan dunia di sekitarnya.

Dalam masyarakat di pedalaman Jawa Tengah – Jawa Timur yang disebut oleh Heri Priyatmoko hidup di “tanah tandus dan terkadang larang banyu”, religiositas menjabarkan diri sebagai sebuah adaptasi dan respon terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang sedang menghimpit. Ponorogo dan Pacitan sebagaimana Wonogiri adalah wilayah yang terisolir dan agak minim bersentuhan dengan dunia luar.

Di sini pengaruh kekuasaan Mataram (yang kemudian terejawantahkan oleh Kasunanan dan Kesultanan) tidak begitu kuat sehingga kontrol terhadap penduduk pun kurang begitu total. Pun semenjak tahun 1870, kekuasaan kolonial juga tidak banyak menyentuh aras paling bawah di masyarakat karena wilayah ini dipandang kurang potensial secara ekonomi. Kondisi tersebut membuat wilayah ini menjadi ‘tegalan basah’ untuk munculnya impian-impian mesianistik yang mewujud dalam perlawanan atau pengharapan kemunculan Ratu Adil dan dunia akhir zaman.

Ratu Adil di Tanah “Gersang “

Jauh sebelum digemparkan oleh isu ‘kiamat lokal’ tahun 2019 lalu, di Ponorogo pada tahun 1885 juga geger oleh sebuah gejolak sosial yang dipimpin oleh priyayi lokal bernama Martodimedjo. Martodimedjo menganggap dirinya ‘kewahyon’ sehingga berusaha mengajak penduduk untuk bergabung dengannya guna melawan otoritas kolonial.

Baca juga:  Pendeta Yahudi yang Hidup di Zaman Nabi

Koran De Locomotief tertanggal 26 November 1885 menyebutkan di Desa Patik dan Pulung Merdiko terjadi pergolakan pada akhir tahun 1885 yang salah satu sebabnya adalah tingginya pajak kolonial yang dibebankan kepada para petani di sana (Ham, 2018: 223) . Terjadi gerakan penyerangan kediaman wedana dan kontrolir Belanda oleh penduduk yang berjumlah kurang lebih 60-70 orang. Walaupun dengan cepat dikendalikan oleh otoritas kolonial, namun gerakan ini cukup menyita perhatian Batavia. Sebab ada kemungkinan campur tangan kalangan Tionghoa dengan cara mensponsori gerakan tersebut.

Selain itu tumbuhnya perlawanan dari rakyat kecil juga bersifat eskatologis karena mendasarkan perlawanannya pada kisah-kisah kejayaan masa lampau. Warga Pulung yang memberontak, dalam catatan di koran De Locomotief tertangga 26 November 1885, bahkan menyempatkan diri ziarah ke makam suci di desa tersebut untuk meminta restu sebelum menyerang rumah wedana dan kontrolir Belanda. Kemungkinan besar makam tersebut adalah makam Jayengrono, sesepuh sekaligus pendakwah Islam di Pulung pada abad 18.

Ia menamai desa tersebut menjadi “Pulung Merdiko” yang tidak lain sebagai sebuah tanda bebasnya wilayah tersebut dari kewajiban membayar pajak (Hakiki, 2020: 41). Kisah Jayengrono tersebut menjadi inspirasi dan alternatif pandangan dalam menatap kondisi ekonomi saat itu yang demikian menekan. Warga yang dari hari ke hari risau oleh tingginya pajak yang dikenakan kepada mereka menjadi muncul kesadarannya untuk melawan karena ada inspirasi dan impian eskatologis tersebut.

Kesulitan ekonomi menjadi satu sebab yang membawa orang Jawa terjajah (pada abad ke 19 hingga 20 khususnya) tiba sampai pada kesadaran-kesadaran eskatologis yang mereka gunakan untuk merekonstruksi kesadaran kolektif  (Sindhunata, 2024: 169). Pada suatu hari di puncak kemarau tahun 1930, di pelosok Pacitan ada sebuah desa bernama Klepu yang warganya mendaku diri sebagai Ratu Dorowati (Nieuwe Venlosche Courant, 20 Januari 1931). Orang tersebut bernama Kromomedjo, mengajak sekitar 35 orang untuk datang ke pengikrarannya (semacam pesta).

Baca juga:  Rasulullah Menghormati Non Muslim yang Meninggal

Pengaruh Kromomedjo yang kuat pada warga desa, membuat otoritas kolonial berniat membubarkan acara pengikraran tersebut. Namun Kromomedjo melawan dengan menghunuskan kerisnya dan diikuti oleh perlawanan fisik dari pengikut-pengikutnya. Ketidakpatuhan tersebut hanya terjadi beberapa belas jam saja, namun dari sini dapat dilihat bahwa harapan eskatologis akan hadirnya Ratu Adil atau yang dalam konteks Pacitan disebut ‘Ratu Dorowati’ sangatlah beralasan. Ini menjadi suatu bentuk respon atau adaptasi dari warga desa biasa ketika mendapati diri dan kolektifnya berada dalam posisi terjepit.

Sebagai latar historis, perlu diketahui bahwa pada tahun 1930 terjadi kemarau panjang hingga akhir tahun yang menyebabkan gagal panen di seluruh Jawa (Soerabaiasch-Handlesblad, 19 Juni 1930). Kondisi ekonomi semakin menghimpit pribumi karena sedang terjadi krisis ekonomi (malaische) yang menghantam Hindia Belanda. Dampak krisis tersebut pada ekonomi lokal adalah berkurangnya permintaan barang ekspor yang salah duanya ketela dan cengkeh yang mana hasil bumi tersebut merupakan komoditas utama warga di Pacitan kala itu.

Melihat segenap latar sosiohistoris di Pacitan – Ponorogo atau bahkan Wonogiri maka harapan-harapan eskatologis itu bukan tidak mungkin muncul kembali di Abad 21. Dan terlepas dari segala hal, keyakinan mutlak 52 warga Watubonang Badegan Ponorogo pada pemimpin spiritualnya akan adanya kiamat lokal itu menjadi bukti yang relevan.

Flashback kembali ke awal tahun 2019, menjelang pemilihan umum, keadaan ekonomi juga tidak begitu baik untuk warga pedesaan. Plus adanya polarisasi politik antar pendukung pasangan calon menambah ketidakpastian bagi sebagian orang. Penduduk desa Watubonang seakan menemukan ‘dunia kecil’-nya yang melegakan di dalam perkumpulan spiritual tersebut. Sehingga apapun dhawuh dari pimpinan adalah sesuatu yang akan diikuti bahkan ketika mereka harus memberikan segenap apa yang tersisa pada diri mereka.

Baca juga:  Al-Mu’allaqat; Saksi Bisu Pertemuan Sastra Jahiliyah dan Al-Qur’an

Kalau Heri Priyatmoko mencatat gerundelan orang Jawa pedesaan itu dengan aksara tebal Titenono, Gusti Mboten Sare!. Maka tulisan ini hendak memberi catatan kaki untuk memperdalam pemahaman bersama. Bahwa bagi ‘dunia Jawa’ yang kerap jatuh pada pengharapan mesianistis nan radikal itu sudah jauh-jauh hari menjadi mimpi buruk bagi para penguasa kolonial.

Di Belanda sana pada 17 Oktober 1930, sebuah koran bernama Leids Dagbald  mencatat “racun ketidakpuasan bekerja secara lambat menyerang akal sehat dan membingungkan. Dalam kondisi semacam itu orang (Jawa) akan berharap akan adanya tatanan dan pengaturan baru”. Di tengah era demokrasi seperti sekarang ini, ketika ketidak-puas-an di kalangan masyarakat meluas maka kondisi itu seharusnya mendorong pemangku otoritas mawas, agar tidak lagi membuat kebijakan yang tak bijak nan menyengsarakan rakyat.

 

Referensi

De Locomotief, 26 November 1885

Leids Dagbald , 17 Oktober 1930

Nieuwe Venlosche Courant, 20 Januari 1931

Soerabaiasch-Handlesblad, 19 Juni 1930

Hakiki, Syahrul. 2020. “Strategi Dakwah Raden Jayengrono dalam Menyebarkan Ajaran Islam di Kecamatan Pulung”. Skripsi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Ponorogo: Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Ham, Ong Hok. 2018. Madiun dalam Kemelut Sejarah : Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Sindhunata. 2024. Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top