A.H. Johns seorang peneliti sosiologi dan perkembangan Islam di Nusantara dengan tegas memaparkan bahwa kentalnya corak tasawuf dalam penyebaran Islam awal di Indonesia. Salah satu karyanya “Sufism as Category in Indonesia Literature and History” menjadi sebuah tulisan yang diakui dan seakan bacaan wajib bagi para pengkaji studi Islam nusantara baik dari dalam maupun luar negeri.
Jadi seandainya kita semua ingin memisahkan tasawuf dalam tubuh umat muslim Indonesia, rasa-rasanya nampak utopis karena begitu saking mengakarnya masyarakat kita tentang Islam beraroma sufistik. Islam hadir di nusantara di tengah kondisi masyarakat yang sudah begitu larut dengan spiritualisme mistik, dinamisme dan animisme bercampur dengan mitologis hindu. Sehingga untuk menggeser pemahaman kepada Yang Maha, dari yang bersifat politeistik serta menganggap semua benda “bertuan” kepada ke-Esaan (tauhid) butuh pendekatan yang ekstra kreatif.
Sejak abad ke 7 hingga 13 Masehi berkembang teori bahwa tidak ada keterlibatan dakwah ulama Islam secara politik dan terbuka. Semua penyebaran Islam dilakukan dengan pendekatan komunitas melalui perdagangan serta hubungan kekeluargaan – menikah dengan penduduk lokal. Meski demikian sekitaran abad 11 Masehi, hampir sebagian di pesisir Pulau Jawa sudah benyak “dikuasai” komunitas muslim seperti di Tuban, Gresik, Surabaya (Ampel). Terbukti dengan ditemukannya batu nisan bertahun 475 H/1082 M dengan nama Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik.
Yang nampak aneh pada fase tersebut adalah belum ditemukannya masjid atau tempat ibadah Islam seperti madrasah dan semacamnya. Dari hal tersebut menjadi bukti bahwasannya dakwah Islam pada masa itu belum secara terbuka dan menunjukan identitasnya secara terang-terangan.
Namun bisa dipastikan bahwa pada abad ke 14 Masehi sudah terdapat banyak para pelajar dari tanah jawa dan nusantara lainnya yang menempuh studi ke Jazirah Arab baik di Hadramaut, Mekah, termasuk Yaman. Sekitaran tahun 1404 M ketika Syeikh Maulana Malik Ibrahim telah tiba di Nusantara, tepatnya di Gresik, melalui racikan dan manajemen tangannya – tanpa berniat mengecilkan sedikitpun peranan ulama yang lain – mengawali proses Islamisasi tanah jawa secara masif dan berani.
Pada saat itu pendekatan teologis maupun politis yang terlalu frontal akan menyulitkan langkah perkembangan dakwah Islam itu sendiri. mengajarkan secara hitam-putih terelebih dengan fiqih minded belum bisa diterima banyak masyarakat. Syeikh Maalik Ibrahim akhirnya mencoba dengan pendekatan metode khas tanah kelahirannya Yaman, yaitu dengan corak tasawuf-seni melalui irama musik dan syair yang disenandungkan.
Gaya dakwah yang seperti itulah ternyata yang mampu diterima masyarakat jawa dengan secara substansi, tetap mengenalkan ajaran Islam hingga akhirnya dimodifikasi dan dikembangkan oleh para generasi ulama Walisongo lainnya. Seperti Sunan Bonang dengan menciptakan suluk, begitupun Sunan Kalijaga dengan wayang dan syair-syairnya. Termasuk mengadakan acara dakwah dengan kemasan pentas seni seperti adanya gamelan, rebana dan gong – A.H Johns menyebutnya sebagai Javenese Genius.
Para Walisongo berdakwah dengan penduduk dengan cara yang sederhana dan nalar yang mudah dipahami. Di tengah kondisi masyarakat yang pada masa itu masih begitu kental dengan narasi mitologis seperti kisah-kisah manusia setengah dewa, gadis dari kayangan, manusia ular dan semacamnya.
Sedikit bergeser dari Pulau Jawa, Aceh menjadi sebuah wilayah yang sudah terlihat bergelora dengan keislaman yang juga bernuansa tasawuf. Hamzah Fansuri (w. 1588) begitu membesar namanya dengan melahirkan banyak karya yang lebih condong ke aliran tasawuf falsafi sebagai penganggum berat Ibnu Arabi. Hingga terjadi “pembantaian” terhadap ajaran Hamzah Fansuri yang divonis kafir beserta pengikut-pegikutnya ketika Nurudun Ar Raniri tiba di Aceh sekitara tahun 1637 M. Ar-Raniri mendapat tempat istimewa pada saat Sultan Iskandar Tsani berkuasa, sehingga fatwa-fatwa Ar-Raniri menjadi semacam hukum yang dianut saat itu.
Hampir selama rentang abad ke 7–13 M para pendakwah dari kawasan arab belum menunjukan hasil tajinya secara massif yang kemungkinan karena terlalu kakunya pendekatan dakwah pada saat itu. Kemudian dicarilah sebuah pendekatan yang mampu mengkombinasikan secara halus antara nalar mitologi, unsur seni dengan ajaran Islam itu sendiri.
Maka tawasuf menjadi sebuah wadah yang dipilih pada masa itu yang mampu menampung local genius dan variannya – karena karakternya yang sedemikian friendly – dengan penalaran ajaran secara bertahap dan rasional. Termasuk konversi dengan menyediakan kisah-kisah para ulama (wali) yang memiliki karomah atau keunggulan yang tak biasa menjadi kultur yang disenangi masyakarat. Tasawuf menjadi corak utama sekaligus basis tersebarnya Islam di Bumi Nusantara.
Semua fenomena penyebaran Islam di nusantara tersebut, terlebih di Tanah Jawa adalah sebuah gambaran metodologi yang ampuh bagaimana membuat Islam diterima secara baik di masyarakat. Bahwa bukan hal yang mudah meruntuhkan dan menghilangkan nalar mitos keyakinan masyarakat termasuk dengan hal yang mistis. Namun secara bertahap para ulama nusantara mulai berhasil menghilangkan sesuatu praktik mana yang sejalan dengan Islam dan mana yang tidak.