Sedang Membaca
Menari Bersama Kekasih (2): Mengilhami Syariat

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Menari Bersama Kekasih (2): Mengilhami Syariat

Whatsapp Image 2021 05 25 At 8.30.17 Pm

“Cinta telah memercikkan begitu banyak sakit pada diri/Tapi demikianlah hidupku dicurahi rahmat.”

[Jalaluddin Rumi]

Seseorang yang menempuh jalan tariqah tidak akan meninggalkan syariah. Mustahil tariqah digapai tanpa syariat. Sayyed Hossein Nasr menggambarkan dengan tamsil yang indah, “Hanya orang yang berjalan di tanah datar berharap untuk mendaki gunung.” Dengan pengamalan syariat yang intenslah seorang hamba bisa menempuh atau menggapai Tuhan. Sebagaimana tertuang dalam hadist qudsi : “Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku, yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya.”

C.A Qadir dalam bukunya Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (1989) dalam catatannya menulis ihwal betapa pentingnya seorang salik mengamalkan syariah. “Para sufi yang pertama percaya bahwa dalam menempuh jalan penyucian diri dan perealisasian diri, adalah mutlak perlu bagi mereka untuk berpegang teguh pada syariah lahir dan batin. Syariah menggariskan perilaku yang benar sebagaimana yang ditetapkan dala m Al-Qur’an dan Sunnah nabi.”

Manusia memerlukan syariah agar ia menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Syariah diciptakan untuk kepentingan manusia. Syariah ada karena kasih sayang Tuhan yang menuntun manusia sampai kepada-Nya. Syariah diturunkan secara etimologis dari kata”jalan”. Ia adalah jalan yang membawa orang kepada Tuhan (Nasr, Sayyed Hossein, 2015: 71).

Orang sufi memahami syariat tidak sama dengan ahli fiqih. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Sejarah Sufi dan Tasawuf (1987) menulis “orang sufi meninjau ibadat dan muamalat itu dari sudut hikmah lebih dalam, yang dapat memberikan akibat yang lebih mesra kepada hati dan jiwa seseorang”. Gambaran seorang sufi memahami ibadah itu seperti yang ditulis oleh Imam al Haddad yang dikutip dalam buku Al Rashafat (2013) oleh Ismail Fajrie Alatas : “Pengalaman merupakan bagian dari perasaan, pendengaran, dan pemahaman. Contohnya seperti kisah penyaksian. Seseorang menggambarkan kepadamu tentang sebuah negeri dan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Kisahnya kepadamu adalah tahap pendengaran. Setelah mendengarnya, engkau mencoba untuk membayangkan apa yang engkau dengar, ini adalah tahap pemahaman. Suatu ketika engkau berkesempatan mengunjungi negeri tersebut, ini adalah pengalaman. Apa yang engkausaksikan di negeri itu, serta kenyamananmu berada di dalamnya adalah perasaan.”

Baca juga:  Kala Raden Paku Ngaji Thariqah Naqsyabandiyah di Pesantren Ampel Denta

Ismail Fajri Alatas menambahkan “seseorang yang pengetahuannya hanya berbasis pada pendengaran, dan pemahaman tak akan mampu menggambarkan seluk beluk sebuah masalah atau sebuah tempat seperti seseorang yang telah mengunjungi, mengalami, dan menyaksiakannya secara langsung.”

Orang yang menjalankan syariat hanya sebatas praktik fisik semata, tentu tidak akan mampu merasakan nikmatnya ibadah yang membekas dan merasuk ke dalam relung hati. Seorang sufi digambarkan sebagai seorang yang menghayati dan mengamalkan ibadah sampai ke dalam hati dan amaliahnya.

Seorang sufi memiliki pengetahuan sampai pada tahap pengetahuan yang ghaib. Pengetahuan ini diperoleh sesuai tingkatan-tingkatan dalam konsepsi pengetahuan Irfan. Haidar Bagir dalam buku Epistimologi Tasawuf (2017) menjelaskan konsep pengetahuan dalam Irfan yang ia peroleh dari Ibnu Arabi. “Ada tiga klasifikasi pengetahuan; pertama, pengetahuan intelektual atau rasional. Kedua, kesadaran akan keadaan batin pikiran. Tidak ada jalan untuk mengkomunikasikan keadaan-keadaan ini selain merasakannya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang yang ghaib. Ini adalah pengetahuan di luar batas akal; suatu pengetahuan yang dilimpahkan oleh ruh suci, terkadang disamakan dengan malaikat Jibril ke dalam jiwa.

Abdul Qadir Jaelani seorang sufi sekaligus dianggap pendiri tareqat Qadiriyah mematangkan diri dengan syariat sebelum mendapatkan predikat muhyidin—pembangkit keimanan. Dalam buku Penyingkap Kegaiban dituliskan,”Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup, kecuali untuk mempertahankan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada salat dan membaca Quran suci.”

Baca juga:  Inilah Pesan Habib Ali al-Jufri di Tengah Maraknya Politisasi Agama

Andrew Harvey (2018) melukiskan dengan indah bagaimana seorang sufi menapaki tangga demi tangga pencapaian spiritualnya. “Ketika pengaruh rahasia itu mulai menjamah hati dan pikrian sang pencari—melalui praktek konstan ibadah, meditasi, dan pengabdian serta melalui penyingkapan demi penyingkapan—gairah sang pencari pada pencarian makin dan semakin menyala-nyala. Makin membiarkan keagungan rahasia itu menyadarkan dan membimbingnya, semakin bergairah cintanya pada Sang Kekasih hingga cinta itu memangsa seluruh hidupnya serta membakar setiap pikiran dan emosi.”

Manisnya pencapaian syariat dilukiskan dengan apik oleh Syekh Izzudin bin Abdussalam dalam bukunya Maqasidul Ibadat (2018) “tujuan semua ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dekat kepada Allah itu berarti dekat dengan kemurahan dan rahmat Allah yang hanya diberikan kepada para hamba-Nya yang beriman.”

Keyakinan akan syariat ini tidak mungkin bisa digapai bila seorang hamba belum mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Orang yang menjauh dari syariat sudah tentu ia akan menjadi resah dan tidak tenang dalam hidupnya. Sebab ketenangan dan ketentraman batiniah hanya dapat diperoleh dengan ibadah. Ibnu Hazm al Andalusia dalam buku Psikologi Akhlak (2014) : “Anda harus memahami bahwa hanya ada satu tujuan yang mesti diperjuangkan, yakni menjauhkan diri dari kecemasan; dan hanya ada satu jalan untuk mencapai hal tersebut, yakni beribadah kepada Allah Swt. Segala sesuatu yang lain sesat dan tak masuk akal.”

Baca juga:  Makrifat Realitas Diri atas Langit (2)

Imam Al-Ghazali menulis dalam kitab kimia kebahagiaan (2014) menulis perumpamaan yang indah perihal menjalankan syariat/ibadah. “pengetahuan tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi jiwa.”

Seseorang yang hendak meraih cahaya, menggapai cahaya dan berharap cahaya akan menerangi hidupnya tak mungkin melepaskan diri dari pemilik cahaya. Dan mendekat pada Allah tidak mungkin dilalu tanpa jalan yang sudah dituntunkannya.

Seorang salik menggapai Tuhan dengan mengilhami syariat, dengan kedalaman batin dan jiwanya. Melalui syariat itulah ia akan merasakan kebahagiaan hidup dan ketenangan jiwa serta terhindar jauh dari kegelisahan dan keresahan hidup.

Rumi melukiskan indahnya jalan cinta dengan sajaknya : Panah-cintaku telah sampai ke sasarannya/ Aku ada di rumah kasih/ dan hatiku adalah tempat sembahyang. Pada akhirnya, seorang sufi akan merasakan bagaimana lezatnya ibadah bagai sajak Rumi berikut : Bagi darwisy setiap hari terasa jumat…/ Kamu adalah sebulan penuh jumat/ manis di luar, manis di dalam/ pikiranmu, juga batinmu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top