Yahya Cholil Staquf
Penulis Kolom

Pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang

Governing The Nadlatul Ulama: Strategi Transformasi

Teramat sering kita mendengar agitasi tentang “membesarkan NU” sebagai seruan atau janji-janji, baik dari fungsionaris NU sendiri maupun dari “orang luar”, biasanya dari mereka yang membutuhkan dukungan NU untuk memperoleh jabatan atau kedudukan ini dan itu. Itu mungkin terdengar manis di telinga, tapi bisa dipastikan tidak lebih dari “suara tanpa rupa”. Kenyataannya, NU sudah besar sebelum kita lahir. Dan itu adalah berkat jasa para pendahulu kita yang mulia, bukan akibat perbuatan dhiyapurannya bekakas pating pecenges masa kini.

Bukan hanya sudah besar, NU membesar. Hasil Pemilu 1955 menunjukkan, Partai NU memperoleh 18% suara. Proporsi itu lantas dijadikan rumus oleh Pak Harto untuk membagi jatah hasil Pemilu 1971. Seperti disebut di bagian depan, hasil survey Alvara memperlihatkan bahwa kini 36% dari penduduk Muslim mengaku sebagai “anggota” NU, lebih 50% mengaku berafiliasi kepada NU. Apakah gerangan kiranya yang menjadikan NU membesar sedemikian rupa?

Ada gagasan bahwa, untuk membesarkan NU di suatu daerah, perlu diselenggarakan perhelatan besar atas nama NU di daerah itu, seperti Muktamar, Munas-Konbes, dan perhelatan nasional lainnya. Gagasan ini sudah dipraktekkan berkali-kali. Apa hasilnya?

Sulawesi Selatan dijadikan tuan rumah Muktamar 2010, NTB tuan rumah Munas-Konbes 2017, Jawa Barat empat kali dalam dua masa bakti terakhir menuanrumahi hajat nasional berupa Munas-Konbes dan Rapat Pleno PBNU. Apakah NU membesar di daerah-daerah tersebut? Hasil Pemilu 2019 memberi tanda sebaliknya.

Baca juga:  Pamer Mobil Baru, Tak Lancar Nyetir: Sebuah Kisah Persahabatan

Walaupun mungkin perlu dilakukan survey tersendiri untuk membuktikan, saya menduga kuat bahwa sebagian besar warga NU mengidentifikasi diri sebagai NU tanpa merasa perlu berurusan dengan pengurusnya. Orang-orang lama kerasan dalam NU bukan karena kenyamanan yang disediakan oleh kepengurusan NU. Orang-orang baru bergabung kedalam NU bukan karena terpesona oleh prestasi kepengurusan NU.

Saya berkeyakinan bahwa iebesaran NU adalah buah ruhaniyah, bukan duniawiyah. Kebesaran NU adalah anugerah Allah Subhanu Wa Ta’ala sebagai pahala atas amal shalih yang istiqomah dari orang-orang mulia yang sungguh mencintainya. Yang paling kentara diantara mereka adalah kyai-kyai yang menyerahkan seluruh jiwa-raga sepanjang hidup untuk khidmah kepada ilmu dan ummat.

Ni’mat yang khusus (mu’arraf) dianugerahkan karena sebab-sebab khusus yang ada pada penerimanya. Selama sebab-sebab khusus itu terpelihara, ni’mat khusus tersebut akan tetap padanya. Jika sebab-sebab khusus diterlantarkan hingga luntur dan hilang, ni’mat pun terbang.

Demikian ajaran Kyai Misbah Mustofa rahimahullah, Bangilan, Tuban, kepada saya, tetang tafsir atas ayat:

“Inna ‘l Laaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim”.

Ada tiga gejala yang senantiasa melekat pada kyai-kyai shalih NU —alhamdulillah— hingga kini. Pertama, ilmu. Bukan hanya keluasan dan kedalaman ilmu, tapi juga dedikasi paripurna dengan ketekunan, adab (tata krama), bahkan riyadloh (tirakat), ditegakkan dengan penuh disiplin ileh kyai-kyai shalih sejak belajar, mengajar, hingga beramal. Segalanya disandarkan kepada ilmu.

Baca juga:  Sajian Khusus: Kita dan Tragedi 65

Kedua, ri’aayah, yakni mengasuh dan membimbing ummat dalam segala keadaannya. Para kyai shalih melibatkan diri dalam segala macam hajat dan kesulitan ummatnya secara langsung dan tanpa pilih-pilih. Itulah sebabnya, kesibukan terbanyak mereka adalah menerima tamu dan memenuhi undangan siapa saja yang membutuhkan.

Ketiga, ikhlas. Pada tingkat hakikat, ini memang tak siapa pun selain Allah bisa mengukurnya. Tapi pada tingkat budaya, jejak nilai-nilai ikhlas sangat kentara pada kyai-kyai kita. Dari penampilan, tutur-kata dan cara bergaul mereka.

Tiga gejala (khishol) dari para pencinta NU itulah sebab dari anugerah berupa kebesaran NU. Para kyai shalih itu adalah personifikasi NU. Ketika mereka mengikat kasih-sayang diantara ummat, dengan sendirinya ikatan itu dipersepsikan sebagai kerangka NU. Selama ketiga khishol itu lestari, isnyaallah demikian pula kebesaran NU. Maka jelas sekali bahwa kebesaran NU itu adalah nisbat (atribut) dari jama’ah, bukan jam’iyyah. Kebesaran itu mewujud dan berkembang dalam jama’ah.

Bagi jam’iyyah, kebesaran NU tidak dapat dipandang sebagai prestasi ataupun target capaian, melainkan amanah. Yakni sebagai aset yang diaerahkan kepada jam’iyyah untuk dikelola. Tentu saja maslahatnya harus sebesar mungkin kembali kepada jama’ah. Jangan sampai aset itu justru hanya ditangguk dan dimoneterisasi untuk keuntungan pribadi-pribadi, wal ‘iyaadzu billaah.

Baca juga:  Tradisi Kawalu Suku Baduy yang Pancasilais

Terkait dengan ini, tatanan organisasi amat menentukan. Prosedur-prosedur dan ukuran-ukuran (parameter) pembuatan keputusan harus ditetapkan dengan rumusan-rumusan yang terang dan tidak bermakna ganda. Demikian pula agenda-agenda organisasi jarus disusun secara sistematis serinci mungkin agar semakin sempit peluang untuk membelokkannya.

Senada dengan postulat Bang Napi —bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat, tapi juga adanya kesempatan— mentalitas yang tidak bersesuaian dengan tujuan-tujuan jam’iyyah tidak akan bisa menciderai apabila “dikerangkeng” dalam konstruksi organisasi yang ketat. Sebaliknya, konstruksi organisasi yang dijalankan secara ajeg (istiqomah) dapat membentuk mentalitas yang diinginkan melalui pengistiqomahan pola perilaku.

Apabila jam’iyyah mampu menghasilkan maslahat yang nyata dalam ukuran nilai-nilai jama’ah, berarti amanah ditunaikan. Pada titik itu, tidak terlalu menjadi soal, apakah diantara aktor-aktor jam’iyyah masih ada yang belum ideal mentalitasnya. Karena, tidak seperti amal-ibadah, kebijakan dan strategi organisasi dinilai dari hasilnya, bulan niatnya. Alhamdulillah, selesai.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top