Sedang Membaca
Ustaz Abdul Samad dan Tangan Gelap Kapitalisme
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Ustaz Abdul Samad dan Tangan Gelap Kapitalisme

Ketika mesin politik dan mesin media sosial bertemu, hati-hati, di sana ada kapitalisme. Akibatnya, perilaku manusia lebih dikuasai oleh alam bawah sadarnya ketimbang atas kesadaran dirinya. Jika ada tangan magis yang bisa mengarahkan ke mana ‘selera” khalayak akan terbawa, itulah kapitalisme.

Jika ada kekuatan yang mampu memberi petunjuk di mana masyarakat akan segera berkerumun, dan mereka dibuat kecanduan, itulah kapitalisme. Dialah yang merangsang masyakarat untuk gegap-gempita, dan seluruh jaring-jaring itu bergerak ke arah yang sama. Ungkapan demikian pernah disampaikan oleh Jacques Ellul dalam The Technology Soceity, New York: Vintage Book, 1964;xxv.

Selanjutnya, kapitalisme dalam bentuk media sosial ini membentuk fenomena-fenomena semacam manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, serta budaya massa. Ia adalah bagian dari elemen perputaran perdagangan, termasuk perdagangan hoaks.

Dalam kondisi seperti itu, kapitalisme model baru ini akan memisahkan hampir segala hal. Memisahkan realitas ke absurditas, memisahkan yang kreatif ke kontra-produktif, memisahkan humanisme ke dehumanisme, memisahkan penghayatan yang kontemplatif ke kekerasan yang menindas, bahkan memisahkan kebenaran logika ke ‘kebenaran’ yang cenderung fanatis dan rigit.

Mungkin gambaran seperti itulah yang ‘dialami’ oleh Ustaz Abdul Somad (UAS) dan timnya, terkait beberapa isue nasional yang ‘menyeret’ rekam jejak digitalnya.

Baca juga:  Gelar-Gelar Geografis Ulama Nusantara: Fansuri hingga Minangkabawi

Baru hitungan jam, UAS berkeluh begini, “Seperti yang sudah-sudah, tangan-tangan gelap mencari-cari ceremah saya di Youtube, lalu mereka memotong-motong dengan semaunya, dibuat pula judul yang sesuai dengan isue yang mencuat, seperti nasehat UAS untuk Ibu Sukmawati, nasehat UAS untuk Luna Maya yang patah-hati, dan lain sebagainya, sampai soal Khilafah, dan terbaru ini soal kafir. Padahal itu video lama, yang tak ada kaitannya dengan hasil Munas NU. Tetapi dengan mendompleng isue itu, video potongan itupun berhasil ditonton jutaan kali. Mereka lakukan tujuannya tidak lain adalah komersial, alias uang…”

Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu karyanya Profanations, Zone Books; 2007, mengatakan, bahwa kapitalisme tak selalu terkait dengan “barang” dan nilai tukar mata uang, tetapi juga “ruang” atau “berita” dan “sensasi” yang bisa dipertukarkan.

Setelah itu, atau berbareng dengan itu, masyarakat dengan lahap melalapnya. Mereka lupa akan kebenaran sumber, meski yang dikonsumsi adalah ‘barang’ hoaks dan cenderung menghabisi sumber primernya. Bahkan, sekalipun isinya cenderung mengadu-domba sesama anak bangsa —gejala yang kini tampak di mana-mana.

“Anehnya lagi, tidak sedikit netizen yang meminta saya untuk bertanggung-jawab dan menjelaskan atas video potongan itu, misalnya terkait dengan terma Kafir ini. Padahal beberapa isue, seandainya mereka mengikuti ceramah saya lebih lengkap, kesimpulan yang didapat sejalan dengan apa yang mereka permasalahkan itu. Lucu.

Baca juga:  Tawaran Gus Fayyadl untuk PBNU dalam Halaqah Fikih Peradaban

Tapi itulah kenyataanya. Meski demikian, kita patut bersyukur punya UU Cybercrime, tetapi sayannya pihak yang berwajib mungkin masih terbatas, jadi belum bisa mengatasi…”, keluh UAs lebih panjang. Maka tak mengherankan kalau video potongan itu masih menjadi sebuah komoditi yang menjanjikan dan memberi kejutan. Karena ia hampir ‘pasti’ bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang bernama uang.

Karena itu, menurut Ellul, masyarakat perlu mengembalikan ruh dalam dirinya dengan menanamkan nilai-nilai ‘religuisitas’ dalam kehidupannya. Bagi Ellul lagi, asal kata religio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap kritis dan penuh hati-hati. Tidak asal comot, dalam arti lain, tiap sesuatu yang akan disantap, perlu dikunyah sampai lembut, tidak asal ditelan.

Sifat religio macam inilah yang akan mengingatkan manusia, bahwa selain mereka ragawi juga ruhani, dan masing-masing terpisah jelas. Ketika kapitalisme mencoba menyatukan dan menjadikannya absurd, ia akan menjelma menjadi kekuatan yang menjaga keseimbangan.

Akhirnya, siapa yang tak mampu tak akan terlindungi. Mereka akan menajadi santapan tangan gelap kapitalisme media sosial, persis seperti buruh pabrik yang dituntut lembur oleh majikannya demi sesuatu yang bernama target dan profit: Bahkan ketika sang korban ‘mati’ karena kelelahan, tak dibicarakan lagi hak-haknya beberapa jam setelah televisi dimatikan. Waallahu’alam bishawab.

Baca juga:  3 Habib yang Setia di Jalan Ilmu Pengetahuan

Yogyakarta, 04 Maret 2019.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top