Dalam panel III Simposium Islam Nusantara, yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta pada 8 Februari 2020, dibahas tema Islam Nusantara dan persoalan pertanian, agrarian, dan perubahan iklim. Hadir sebagai panelis dalam tema tersebut, Prof. Ma’sum Machfoedz , Rektor UNUSIA Jakarta; Sohibuddun, meneliti agrarian, Idham Arsyad, Aktifis gerakan tani dan agraris serta M. Ery Wijaya, ahli perubahan iklim. Sedangkan saya bersama Dr. Deny Hamdani dan Dr. Isom el-Saha menjadi penanggap.
Dalam paparaannya, Prof. Ma’sum menyampaikan berbagai data dan fakta proses marginalisasi petani dan dunia pertanian. Hal ini terjadi sebagai dampak dari sistem politik dan ekonomi yang lebih memihak pada para pengusaha kapitalis dengan menjadikan petani dan sektor pertanian sebagai penopang industri.
Menurut Ma’shum, beberapa lahan pertanian subur telah beralih fungsi menjadi pabrik dan infra sutruktur industri. Selain itu, pemerintah juga menekan harga produk pertanian supaya terjangkau oleh kaum buruh yang berpendapatan rendah demi menekan ongkros produksi kaum pengusaha. Berbagai kebijakan tersebut tidak saja melemahkan sektor pertanian, tetapi juga menghancurkan kedaulatan pangan bangsa Indonesia.
Akibat kebijakan yang tidak pro petani, telah melahirkan tiga problem utama di dunia pertanian. Pertama, berkurangnya lahan pertanian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kedua terjadinya degenrasi petani karena bekerja di sektor pertanian tidak menguntungkan, tidak membanggakan dan tidak miliki prospek sehingga generasi muda tidak tertarik menjadi petani dan ketiga runtuhnya kedaulatan pangan bangsa Indonesia karena tergerus oleh produk impor dan turunnya produk pertanian.
Sohibuddin dalam paparannya menyebutkan, persoalan dasar agraria adalah terjadinya kapitalisasi tanah oleh para pengusaha kapitalis. Shohib menyebut konsep “akses” dan “inklusi” sebagai proses penguasaan atas tanah oleh kaum kapitalis. Melalui kedua konsep itu, para pengusaha yang berkolusi dengan penguasa telah melakukan eksploitasi dan penguasaan atas tanah sehngga memutus hak-hak atas atas yang dimiliki oleh masayrakat dan kaum adat.
Sementara itu, Idham menyampaikan beberapa data mengenai konflik agraria dan sengketa atas kepemilikan tanah antara masyarakat dengan pengusaha yang didukung oleh aparat negara (pemerintah) di beberapa tempat. Dalam konflik ini masyarakat sering menjadi obyek kriminalisasi, intimidasi dan persekusi yang dilakukan oleh oknum aparat dan para preman yang menjadi kaki tangan para ngusaha.
Baik Sohibudin maupun Idham berpendapat bahwa sebenarnya ada potensi dari Islam Nusantara untuk menjawab persoalan agraria. Secara normatif-historis Sohibuddin menyebutkan adanya konsep kontra-eksklusi yang diajarkan oleh Islam dan dipraktekkan oleh para sahabat.
Selain itu, Sohib juga menunjuk beberapa pemikiran ulama Nusantara mengenai sistem pengelolaan tanah yang lebih menguntungkan rakyat, seperti tercermin dalam beberapa keputusan muktamar NU dan hasil bahsul masail NU yang dipaparkan oleh Sohibudin. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Idham yang mengacu pada kebijakan Gus Dur saat menjadi presiden yang memberikan penguasaan atas tanah kepada rakyat.
Untuk menjawab persoalan ini, Sohibuddin menawarkan konsep “waqaf agraria”. Melalui konsep ini tanah tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa dibagi, tetapi dikelola bersama dan hasilnya dibagi untuk kemanfaatan bersama.
Selain itu, melalui konsep “waqaf agrarian” ini tidak mudah terjadi perubahan atau alih fungsi tanah, karena penggunaan tanah akan tentutukan saat akad waqaf dilaksanakan. Di satu sisi, konsep ini merupakan bentuk reaktualisasi terhadap ajaran Islam terkait dengan kepemilikan dan pengelolaan atas tanah. Di sisi lain konsep ini juga merupakan rekosntruksi terhadap hokum Islam dan hokum positif yang terkait dengan statuskepemilikikan dan pemanfaatan atas tanah.
Di bidang perubahan iklim, M. Ery Wijaya memaparkan data-data mengenai terjadinya pemanasan global yang berdampak pada terjadinya perubahan iklim. Menurut Ery perubahan iklim ini terjadi karena meningkatnya penggunaan energi yang bersumber dari pembakaran fosil (minyak dan batubara), gaya hidup dan pembakaran lahan.
Dalam pandangan Ery, ada kesadaran dari semua pihak menaham laju pemanasan global dan menurunkan efek rumah kaca dengan menekan emisi. Namun hal ini sulit dilakukan, selain berbiaya tinggi juga diperlukan kerelaan untuk mengubah gaya hidup, pergeseran penggunaan tehnologi. Semua upaya ini akan berdampak pada penurunan produksi yang pada ujungnya penurunan pendapatan.
Saat menanggapi paparan para panelis, penulis menyampaikan ada benturan paradigmatik antara kapitalisme dengan Islam Nusantara dalam melihat posisi dan fungsi tanah. Bagi kaum kapitalis tanah adalah aset dan komoditi yang bisa dimiliki dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan bagi masyarakat Nusantara tanah adalah simbol kehormatan yang harus dijaga dan dipertahankan tanah juga diapandang sebagai sumber kehidupan yang tidak boleh dimiliki, tetapi bisa dimanfaatkan untuk kehidupan. Tanah adalah sumber inspirasi, menjadi asal mula manusia, tempat hidup, berpijak dan kembali setelah manusia meninggalka dunia.
Secara filosofis dan antropologis tanah tanah memiliki peran yang penting dan berharga dalam kehidupan manusia olehkarenanya tanah tidak layak diperdagangkan, dijadikan komoditi dan dieksploitasi. Hal ini bisa dilihat dari falsafah dan cara pandang masyarakat Nusantara mengenai tanah, pertanian dan iklim.
Bagi orang Sunda, pandangan mengenai sakralitas tanah ini telihat dalam konsep “kabuyutan” (tanah yang disakralkan). Tanah kabuyutan ini harus dijaga jangan sampai direbut dan diduduki oleh orang asing Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu. Masyarakat yang tidak dapat mempertahankan kabuyutan/tanah airnya maka derajadnya lebih hina dari kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah (Amanat Galunggung, Hal. 3)
Tanah bagi masyarakat Jawa juga memiliki nilai magis dan teologis. Dalam ajaran teologis yang dipercayai masyarakat Jawa, manusia berasal dari tanah dan harus kembali menjadi tanah. Manusia berpijak di bumi yang sama serta sama-sama diciptakan dari tanah, karena itu perjuangan untuk membantu sesama yang kekurangan merupakan pemuncak sangkan paraning dumadi Ajaran asta brata yang berisi delapan laku kepemimpinan dalam Ramayana antara lain menyebutkan pemimpin harus memiliki prinsip “laku hambeging kisma”. Kisma berarti tanah, yang bersifat tak pernah membeda-bedakan siapapun yang menginjak. Pada tanahlah semua makhluk hidup menggantungkan hidup.
Jadi, pemimpin harus mampu mengayomi siapa pun dan memperjuangkan kehidupan rakyat. Bagi orang Jawa tanah juga dianggap sebagai Ibu (Ibu Petiwi) yang memberi kehidupan abagi manusia dan menjadi symbol kehormatan. Oleh karenanya tanah harus dijaga dengan segala pengorbanan sebagai tercermin dalam falsafah jawa: “sak dumuk bathuk sak nyari bumi dibelani pati”
Dalam pandangan masyarakat melayu mengenai tanah, masyarakat mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memelihara lingkungan tanah dan segala bentuk isinya dari ancaman luar. Hal ini disebutkan dalam falsafah hidup orang Melayu: ”apabila rusak alam lingkungan di situlah punca segala kemalangan musibah datang berganti-gantian celaka melanda tak berkesudahan apabila rusak alam lingkungan hidup sengsara binasalah badan cacat dan cela jadi langganan hidup dan mati jadi sesalan apabila alam porak poranda di situlah timbul silap sengketa aib datang malu menimpa anak cucu hidup merana” (Husni Thamrin, 2014)
Sebagai imbalan dalam menjaga tanah, hukum adat Melayu menyebutkan masyarakat mempunyai hak bersama dalam menguasai atau memanfaatkan suatu lingkungan tanah untuk kehidupannya dan kesejahteraan masyarakatnya secara umum. Dalam hal ini, orang luar tidak mendapat hak tersebut melainkan telah mendapat izin dari ninik mamak. Ketentuan adat tentang hutan dan tanah adat juga menyebutkan: (1) hutan dan tanah adat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan; (2) hutan dan tanah adat tidak boleh dibagi-bagikan menjadi milik pribadi/perseorangan; (3) walaupun seseorang itu dapat memanfaatkan tanah secara perseorangan ia harus mengikuti ketentuan atau kewajiban-kewajiban tertentu seperti memberikan sebagian hasilnya kepada ketua suku (Zein 1994: 132).
Di bidang klimatologi dan peribahan iklim, orang Nusantara telah memiliki metode untuk menjaga dan memelihara alam agar tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan pengamatan yang cermat terhadap tanda-tanda alam. Hasil pengamatan itu kemudian dirumuskan daam sistem nilai dan dikontruksikan dalam berbagai bentuk tradisi dan budaya sebagai upaya untuk mewariskan nilai-nilai dalam menjaga alam dan iklim. Ilmu tersebut dalam tradisi Nusantara disebut dengan “pranotomongso”.
Spirit dari ilmu Pranotomongso ini adalah manusia adalah bagian dari alam dan implikasinya, manusia harus bersahabat dengan alam, bukan justru memerintah, engeksploitasi apalagi merusak alam. Salah satu contoh rumusan Pranotomongso tersebut di antaranya:
Oleh para ulama Nusantara, berbagai pandangan tradisional dan adat Nusantara itu dikolaborasikan dengan ajaran Islam mengenai tanah sehingga melahirkan beberapa pemikiran mengenai pertanian dan agrarian sebagaimana tercermin dalam berbagai produk hukum (fikih) yang dipaparkan oleh Shihabuddun dan Idham di atas. Selain itu juga terlihat dari laku hidup para ulama Nusantara yang menganggap pertanian sebagai pekerjaan mulia. Data-data di atas menunjukkan, secara konsepsional dan kultural Islam Nusantara memiliki potensi untuk menjawab persoalan Pertanian, Agraria dan perubahan iklim.
Dari berbagai persoalan yang dipaparkan oleh para panelis, tim perumus panel III simposium Islam Nusantara merumuskan sebagai bentuk respon Islam Nusantara terhadap persoalan pertanian, agrarian dan perubahan iklim. Beberapa beberapa rumusan tersebut adalah:
Pertama, Perbagai persoalan yang muncul di bidang pertanian, agraria dan perubahan iklim yang telah menimbulkan konflik, krisis kemanusiaan dan lingkungan, terjadi karena kerakusan sistem kapitalisme dan ulah manusia yang tidak peduli pada alam dan lingkungan.
Untuk menjawab persoalan tersebut tidak bisa dengan pendekatan tehnologi semata, perlu ada pendekatan kultural dalam menyelesaikan masalah tersebut. Artinya perlu ada ekplorasi dan aktualisasi terhadap sistem pengetahuan dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat untuk menjawab berbagai krisis di budang oertanian, agrarian dan perubahan iklim
Kedua, bangsa-bangsa Nusantara telah memiliki mekanisme sosial dan kultural serta sistem pengetahuan unutuk menjawab masalah tersebut. Hal ini tercermin dalam sistem nilai, falsafah dan ajaran hidup yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk tradisi, ritus dan upacara adat dan laku hidup serta beberapa teks klasik yang bisa dijadikan bahan baku (resources) untuk menyusun teori dan gerakan menjawab tantangan global di bidang pertanian, agrarian dan perubahan iklim.
Ketiga, Para ulama Nusantara mengelaborasikan berbagai tradisi, kearifan local dan sistem pengetahuan Nusantara dengan segala falsafah dan ajaran hidup yang ada di dalamnya dengan ajaran dan nilai-nilai Islam sehingga menjadi pemikiran dan sistem pengetahuan slam Nusantara. Pemikikiran dan sistem Nilai Islam Nusantara tersebut terkonstruksi dalam beberapa teks kitab, kebijakan dan sikap sebagai hasil ijtihad para ulama Nusantara yang bisa dijadikan bahan kajian akademik.
Keempat, berbagai tradisi, sistem pengetahuan dan pemikiran para ulama Nusantara di bidang pertanian, agraria dan perubahan iklim perlu dikaji secara mendalam untuk diaktualisasi dan dirasionalisasi (scientifikasi) melalui kajian akademik ilmiah karena memiliki potensi menjadi solusi atas problem pertanian, agraria dan perubahan iklim. Kajian bisa dilakukan terhadap teks, tradisi, pemikiran para ulama, laku hidup, falsafah dan kebijakan ormas atau lembaga Islam. Hal ini penting dilakukan untuk mencari titik temu antara cara pandang kaum kapitalis terhadap yang eksploitatif dengan paradigma kepemilikan dengan cara pandang masyarakat Nusantara yang sebaliknya.
Kelima, Perlu melakukan advokasi terhadap berbagai bentuk tradisi yang dilakukan oleh komunitas adat terkait dengan pertanian, agraria dan peribahan iklim. Adovokasi dilalukan dalam dua bentuk; advokasi positif yaitu mensosialisasikan dan mengarus-utamakan (mainstreaming) berbagai bentuk tradisi dan upacara adat yang dilakukan masyarakat yang terkait dengan pertanian, agraria dan peribahan iklim. Kedua advokasi negatif yaitu memberikan pendampingan dan pembelaan terhadap berbagai kegiatan kultural tradisional yang sarat dengan spirit pertanian, agraria dan pelestarian alam, namun terancam punah kerena tergerus dan terpinggirkan oleh gerakan puritanisme agama dan pemikiran modern rasional.
Kegiatan advokasi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengaktualisasi berbagai falsafah dan nilai-nilai sistem pengetahuan yang ada di balik tradisi dan upacara adat sekaligus membangun gerakan kebudayaan yang bisa menjadi bahan untuk membangun kerangka konsep dan teori dalam menjawab problem pertanian, agraria dan perubahan iklim yang timbul akibat keserakahan kapitalisme. Inilah cara-cara yang dilakukan oleh para ulama dalam menyusun konsep dan strategi kebudayaan yang menjadi salah satu metode akademik Islam Nusantara.
Dengan demikian Islam Nusantara tidak semata berbicara soal masa lalu yang usang dan dekaden. Sebaliknya, melalui strategi aktualisasi dan scientifikasi terhadap khazanah kebudayaan dan sistem pengetahuan Nusantara serta pemikiran para ulama Nusanatara, maka Islam Nusantara akan memiliki kontribusi nyata dalam menjawab problem aktual masyarakat di bidang pertanian, agraria dan perubahan iklim. Inilah tugas akademik yang strategis dan utama dari Fakultas Islam Nusanatara UNUSIA.
Gagasan ini sejalan dengan spirit para intelektual dan akademisi yang mulai cemcern terhadap cara-cara spiritual untuk menjawab krisis lingkungan dan perubahan iklim. Sebagaimana disampaikan oleh James Gustavo Speth (Gus Speth) seorang intelektual, pengacara, dan aktifis lingkungan dari AS: “I used to think the top environmental problem were biodiversity loss, ecosystem collapse and climate change. I thought that with 30 years of good science we could address those problems. But I was wrong. The top environmental problems are selfishness, greed and aphaty…. And so deal with those we need a spiritual and cultural transformation…. And we scientists don’t know how to do that”.