Pertambangan adalah salah satu sektor penting yang mendapat perhatian dari banyak pihak karena memiliki segudang manfaat yang besar. Sesuai amanah UUD 1945, maka pertambangan dikuasai dan dikelola negara yang kemudian digunakan untuk menciptakan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemerintah serta pemangku kebijakan lain memiliki peran besar disini.
Pertambangan erat kaitannya dengan lingkungan. Di satu sisi ia memang memiliki manfaat yang begitu besar dan masif, apalagi bagi ekonomi. Ia menyumbang devisa yang besar pada negara. Namun disisi lain pertambangan juga meninggalkan masalah lingkungan yang masih menjadi catatan kelam dan perlu mendapatkan perhatian serius.
Fikih dengan karakternya yang mengatur seluruh seluk beluk kehidupan manusia, sejak lama juga telah membahas pertambangan. Dalam bahasa arab, pertambangan dikenal dengan nama ma’dan (معدن), pada asalnya lafadz ma’dan merupakan isim makan (kata yang bermakna tempat), sehingga bermakna tempat pertambangan. Namun kemudian lazim digunakan untuk menyebut hasil yang keluar dari lahan pertambangan. Definisinya secara fikih;
مَا يُوْجَدُ فِي بَاطِنِ الأَرْضِ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ
” Ma’dan ialah barang yang ditemukan di perut bumi sesuai bentuk aslinya”[1]
Para pakar fikih dari madzhab Syafi’i dan Hambali membagi barang tambang menjadi dua jenis dengan mempertimbangkan cara eksploitasinya / mendapatkannya, al-ma’dan al-dhahir dan al-ma’dan al-bathin.
al-ma’dan al-dhahir adalah barang tambang yang tidak memerlukan biaya serta tenaga yang besar untuk mengeksploitasinya. Seperti belerang, kapur, aspal alam, dll. status barang tambang semacam ini merupakan hak milik bersama, sehingga boleh didapatkan dan dimanfaatkan oleh siapapun. Pemerintah tidak berhak memberikan hak khusus bagi sebagian kalangan untuk mengelolanya[2].
Akan tetapi kalangan Madzhab Hambali menyaratkan pengambilan barang tambang semacam ini hanya sebatas hajat, maka jika ada pihak yang memanfaatkannya dengan berlebihan hingga menghalangi pihak lain untuk memanfaatkannya, pemerintah atau siapapun boleh melarangnya[3].
Meski pemerintah tidak berhak memberikan hak khusus bagi segelintir pihak dalam barang tambang jenis ini, namun menurut mayoritas pakar fikih madzhab Syafi’i, jika tambang jenis ini jumlahnya sedikit, sedangkan banyak pihak yang ingin memanfaatkan serta saling berebut mendapatkannya, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mendahulukan pihak yang benar-benar membutuhkan[4]. Simpelnya, menurut Madzhab Syafi’i kewenangan pemerintah ialah menjamin jenis tambang ini, agar tetap bisa dimanfaatkan oleh semua pihak secara adil.
Sedangkan al-ma’dan al-bathin adalah barang tambang yang tersimpan di perut bumi dan butuh biaya serta tenaga yang besar untuk mengeksploitasinya seperti emas, perak, timah, tembaga, dll.
Berbeda dengan al-ma’dan al-dhahir, karena dalam al-ma’dan al-bathin membutuhkan biaya dan tenaga yang besar untuk mendapatkannya, maka pemerintah boleh memberikan izin atau hak khusus bagi personal maupun korporasi untuk mengelolanya.[5]
Kalangan Malikiyah (pakar fikih dari madzhab Maliki) pengikut sangat berbeda dengan madzhab lainya dalam menjabarkan konsep pertambangan. Menurut mereka, Pertambangan merupakan wilayah kekuasaan imam (pemerintah) secara penuh. kepemilikan serta pengelolaan, kesemuanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah dengan tetap mempertimbangkan maslahat umum.[6]
Oleh karena itu, pemerintah boleh memberikan lahan tambang kepada siapapun, menyewakannya, atau menunjuk beberapa pihak untuk mengelolanya sedangkan profitnya kembali ke kas negara, namun kesemuanya itu harus tetap mempertimbangkan kesejahteraan rakyat, karena kaidah umum kebijakan penguasa harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat. [7]
Yang perlu digaris bawahi, dalam pemanfaatan serta eksploitasi barang tambang yang pada asalnya merupakan hak milik bersama, semua madzhab sepakat memberikan ketentuan tidak boleh sampai menimbulkan bahaya bagi masyarakat dan lingkungan.[8]
Oleh karena itu, secara syariat sudah semestinya aspek lingkungan harus diperhatikan dalam sektor pertambangan baik dalam proses eksplorasi, eksploitasi maupun proses reklamasi pasca tambang.
Di indonesia, peraturan pertambangan tertuang dalam undang-undang nomor 04 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Selanjutnya pemerintah membuat undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan UU. 2009 tersebut.
Secara lengkap, Undang-undang ini telah mengatur wilayah pertambangan, izin pertambangan dan hal-hal lainnya. Yang harus diingat, aspek lingkungan sangat diperhatikan dalam UU tersebut. Namun sayangnya masih banyak ditemukan masalah lingkungan yang disebabkan pertambangan. Seakan aturan ini diacuhkan oleh para pelaku pertambangan.
Pertambangan ilegal juga marak terjadi. Karena ilegal, pengawasan tentunya tidak bisa dilaksanakan. Praktiknya pun jelas sangat tidak memperhatikan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Oleh karena itu, masalah lingkungan seperti pencemaran, berkurangnya kualitas serta rusaknya habitat flora dan fauna jamak terjadi akibat pertambangan ilegal tersebut.
Ancaman hukumannya juga sudah dijelaskan di Pasal 158 UU No. 3 tahun 2020, ” Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”
Karena menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan dan membahayakan masyarakat, maka pertambangan ilegal secara syariat tidak dibenarkan. Apalagi, praktek pertambangan ilegal juga tidak mematuhi aturan pemerintah, padahal ketaatan pada aturan pemimpin merupakan salah satu kewajiban dalam syariat.
[1] Wahbah Azzuhaily, Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, Juz 6. Hal. 434 (Beirut: Dar El-Fikr)
[2] Ibnu Qudamah, Al Mughni Fii Fiqh Al Imam Ahmad ibn Hanbal Assyaibani, Juz 6, Hal. 173 ( Beirut: Dar Al Fikr 1405 H.)
Khatib Assyirbini, Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadzi Al Minhaj, Juz 2, Hal. 372 (Beirut: Dar Al Fikr)
[3] Ibnu Qudamah, Syarh Al-Kabir ‘ala Matn Al-Muqni’, Juz 6 Hal. 172 (Beirut: Dar Al Kitab Al Arabi)
[4] Ahmad bin Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiah Al-Qulyubi ‘ala kanz Al Raghibin, Juz 3 Hal 96, (Beirut: Dar Al-Fikr)
[5] Khatib Assyirbini, Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadzi Al Minhaj, Juz 2, Hal. 373 (Beirut: Dar Al Fikr)
Ibnu Qudamah, Al Mughni Fii Fiqh Al Imam Ahmad ibn Hanbal Assyaibani, Juz 6, Hal. 173 ( Beirut: Dar Al Fikr 1405 H.)
[6] Muhammad bin Muhammad Al Maghrabi, Mawahib Al jalil fii Syarh Mukhtashar syaikh Khalil Juz 6, Hal. 230 (CD. Maktabah Syamilah)
[7] Al-Kharsyi, Syarh ‘ala Mukhtashar Khalil. Juz 2 hal. 208 (CD. Maktabah Syamilah)
[8] Wahbah Azzuhaly, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuh, Juz 6 hal. 445, (Beirut: Dar Al-Fikr)