Salah satu kesulitan yang sering saya hadapi dalam menjelaskan kepada masyarakat, tidak peduli di atas atau di bawah, adalah mengenai sulitnya mendatangkan Gus Dur untuk bisa berpidato atau sekadar hadir di acara, apakah itu peringatan Khaul, hari besar Islam, pengantin, atau bahkan seminar.
Masalah yang mungkin menurut anda sepele ini, kalau tidak di handle dengan baik, bisa benar-benar membuat berabe. Minimum akan menciptakan salah paham, maksimum anda bisa dibilang menghalang-halangi atau berusaha menghalangi datangnya Gus Dur.
Sayangnya, gaya Gus Dur dalam melayani kebutuhan yang satu ini, sama sekali tidak ada pakemnya, apalagi SOP (standar operating procedures) yang jelas. Gus Dur bisa saja tiba-tiba datang di sebuah acara yang baru diberitahukan kepada beliau sejam yang lalu. Tapi bisa juga beliau tidak datang ke acara yang sudah dijadwalkan sebulan atau dua bulan sebelumnya, walaupun waktunya ditetapkan oleh beliau sendiri! Makanya, saya mungkin orang yang paling menghindar kalau diminta membantu mengundang Gus Dur untuk acara apapun.
Dari pada saya kena hujatan panitia (apalagi kalau yang mengundang para Kyai), mendingan saya tidak ikut-ikut. Bahkan saya yakin, orang-orang yang nempel Gus Dur seperti sopir, sekretaris, dan ajudan beliaupun tidak akan berani janji seratus persen bahwa Gus Dur akan datang. Saya menemukan semacam “pegangan” dalam soal memastikan apakah Gus Dur datang atau tidak dalam undangan (ini berlaku juga untuk undangan ke luar negeri, lho).
Pegangan itu adalah “Sebelum Gus Dur ada di samping saya, maka beliau masih harus dianggap belum datang.” Dengan formula seperti ini, hati saya setidaknya bisa rada tenang dan tidak was-was. Menjamin Gus Dur akan hadir di sebuah acara, sama saja dengan menganggap ramalan cuaca seperti ilmu pasti!
Selain soal ketidakpastian bisa hadir itu, faktor yang harus diperhitungkan oleh semua orang yang mengundang beliau adalah waktu. Jangan pernah berpikir bahwa Gus Dur akan datang tepat waktu. Malah, saya punya kebiasaan menebak, kalau Gus Dur datang di suatu acara rada-rada tepat waktu, maka pasti sedang ada masalah atau nanti acaranya bermasalah.
Waktu, bagi Gus Dur adalah sesuatu yang paling elusive, susah dipegang. Dalam berurusan dengan Gus Dur, waktu adalah sesuatu yang tidak lagi menjadi penentu. Manajemen waktu yang dimiliki Gus Dur adalah yang paling fleksibel di seluruh dunia, karena hanya Gus Dur saja yang menentukan kapan beliau harus tunduk. Bukan orang lain. Inilah yang menyebabkan mula-mula banyak aktifis Fordem yang suka disiplin soal waktu jengkel terhadap Gus Dur, tapi akhirnya toh mereka yang harus menyerah. Teman-teman Gus Dur pada akhirnya harus mau mengorbankan “disiplin” ini kalau ingin tetap mau bergaul enak dengan Gus Dur. Bagi mereka yang ngotot ya silahkan kecewa terus.
Saya kira Gus Dur melakukan ini “by design,” bukan karena tak sengaja. Soalnya, seandainya kegiatan Gus Dur diatur secara rapi dan sesuai jadwal, barangkali malah repot dan juga tidak “efektif.” Gus Dur lebih suka tidak dibelenggu oleh aturan dan jadwal, sehingga beliau bisa bermanuver untuk bisa memilih acara mana yang akan beliau datangi (tentu dengan segala resikonya), tanpa membuat orang lain tersinggung atau sakit hati.
Dengan ketidakteraturan beliau soal datang ke acara itu, maka seolah-olah malah “ada aturan” tak tertulis bahwa kalau ada yang mengundang Gus Dur, harus disadari bahwa selalu ada resiko Gus Dur tidak datang. Soal alasan, Gus Dur punya segudang: mulai dari tiba-tiba sakit perut sampai dilarang oleh Presiden untuk tidak meninggalkan Indonesia karena situasi sedang genting!
Saya sudah pernah menyaksikan bagaimana Gus Dur menggunakan semua itu, dan yang bisa saya lakukan hanya dua: tertawa atau diam saja. Ajaibnya, kendati sudah tahu soal resiko semacam ini, orang yang mengundang Gus Dur setiap hari tak pernah berkurang. Jarang sekali saya jumpai ada orang yang kapok mengundang Gus Dur, meskipun beliau baru bisa datang setelah undangan ke sepuluh atau lebih! Yang lebih parah lagi, masyarakat (khususnya masyarakat bawah) malah “menikmati” suspense alias kejutan dan ketegangan dalam menanti Gus Dur hadir atau tidak dan dengan sangat setia!
Ini saya alami sendiri di kampung saat mengundang Gus Dur pertama kali (Gus Dur dua kali ke pesantren saya dalam rangka Khaul al-maghfurlah ayah saya, KH. Abdul Fatah Al-Manshur). Sebelumnya, saya sudah mati-matian menolak untuk mengundang beliau karena khawatir kecewa kalau beliau tidak hadir pada saat acara. Tapi karena desakan masyarakat, sulit ditolak.
Apa boleh buat, saya matur (bilang) kepada Gus Dur bahwa orang kampung saya menginginkan beliau hadir di acara Khaul. Seperti biasa, Gus Dur menjawab bisa, walaupun dalam hati saya sudah siap kecewa. Pada malam acara berlangsung, ternyata sampai jam 23.00 Gus Dur belum juga nongol. Komunikasi melalui telepon selalu mengatakan beliau sedang “on the way”.
Dari Semarang, lewat Grobogan, ke Cepu, Bojonegoro, mampir ziarah di Mbah Sunan Bonang di Tuban, istirahat di rumah Pak Ghofar, dst. Saya pura-pura tidak dengar setiap kali panitia bertanya sudah sampai di mana beliau. Saya bilang, “Inilah resiko kalau mengundang Gur Dur.” Begitulah, kendati acara “diperpanjang” sampai jam 24.00, tetap Gus Dur belum sampai Tuban apalagi di kampung saya, Plumpang, yang masih 17 km dari kota. Akhirnya, acara Khaul selesai, ribuan orang pun pulang tanpa berhasil melihat Gus Dur.
Tiba-tiba jam 2.30 dini hari, Gus Dur pun datang. Hampir semua panitia dan keluarga saya sudah tidur, hanya beberapa saja yang masih belum tidur karena bebenah dan bebersih tempat bekas acara. Gus Dur pun dengan tenang langsung ke kursi di luar rumah dan duduk.. “Wah, maaf ya Kang. Ini tadi harus kesana kemari, ziarah ke Mbah Bonang, Mbah Kerto, dan makan sekalian di rumah Pak Ghofar..”. Kata beliau sambil melepas lelah di kursi.
Entah bagaimana mulanya, orang-orang yang pada tidur satu persatu bangun dan ikutan nimbrung di sekeliling kursi yang diduduki Gus Dur. Panitia yang bebersih pun datang dan akhirnya berkumpullah “hadirin” sekitar 30-an orang “ngombyongi” beliau. Saya jadi tidak enak kalau tidak memberikan kesempatan kepada para “hadirin”, yang walaupun sambil ngantuk, mendengarkan Gus Dur bicara.
Saya langsung menyilahkan Pak Kyai Rofi’ (sesepuh desa dan Kyai ponpes saya) untuk memberi pengantar.
Kata Pak Kyai ” Assalamualaikum warahmatullahu wabarakaatuh. Terimakasih, Gus atas rawuhnya panjenengan. Alhamdulillah ternyata bisa hadir, sehingga kita yang di sini ini memang mendapat barokahnya Gus Dur. Monggo Gus dipersilahkan…”
Gus Dur tentu tidak pidato seperti di podium, tapi ngobrol santai dengan mereka, ngalor ngidul sampai subuh datang. Anehnya, paginya tersiar kabar di kampung saya bahwa Gus Dur memang datang dan berpidato. Dan seisi desa heboh menganggap panitia berlaku tidak fair, karena tidak memberitahu kedatangan Gus Dur tersebut. Walaupun mereka sudah dijelaskan bahwa Gus Dur sampai di pesantren jam 2.30, toh tetap saja mereka menyalahkan panitia yang dianggap mau “memonopoli” Gus Dur!
Saya jadi berfikir setelah beberapa minggu kemudian, seandainya semua hadirin yang ribuan itu dibangunkan dari tidur mereka dan disuruh kembali untuk mendengarkan Gus Dur pidato, jangan-jangan mereka akan datang.
Setelah kejadian itu, saya tidak lagi menolak untuk mengundang Gus Dur yang kedua kalinya. Alhamdulillah, Gus Dur hadir tidak terlalu terlambat pada kali yang kedua itu (sekitar tahun 2003) dan ribuan ummat mengelu-elukannya seperti ditempat lain di Jawa Timur. Gus Dur bukan saja tidak membuat masyarakat kapok mengundang, tapi malah justru makin semangat karena menikmati ketidakpastian yang membawa barakah itu. (RM)
(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)