Jenggot, atau nama lainnya cambang, adalah salah satu sunah Nabi Muhammad SAW. Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan menganjurkan, sebagaimana sudah di-tafsil dalam kitab fikih.
Namun khazanah sastra Arab pernah merekam banyak cerita menarik tentang jenggot. Salah satunya kisah dalam Syarh Maqamat al-Hariri, milik Abu al-‘Abbas al-Syirisyi, seorang kadi dari Xerez Spanyol.
Suatu hari Al-Ma’mun (putra Raja Harun Rasyid) bersama para pengawalnya duduk minum-minum di tepian Sungai Tigris di Bagdad, sebuah kota metropolitan di masanya. Al-Ma’mun berkata bahwa jenggot yang panjang akan mengurangi daya pikir seseorang sesuai dengan kadar panjangnya jenggot tersebut. Semakin panjang jenggot itu, semakin berkurang pula akalnya.
“Aku tidak pernah sekali pun,” ujar al-Ma’mun, “melihat seorang pintar yang jenggotnya panjang.”
Para pengawalnya hanya mengiyakan. Meski demikian mereka berkata bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa ada di antara orang berjenggot yang cerdas dan pintar.
Ketika sedang membahas hal itu, tiba-tiba di ujung jalanan lewat seorang pria berjenggot panjang, perangainya meyakinkan, dan disertai baju cukup mewah. “Bagaimana pendapat kalian tentang orang di sana?”
Semua punggawa al-Ma’mun menoleh ke pria itu. “Pasti dia pria cerdas!” Ujar satu orang. “Tidak ada kemungkinan lain kecuali dia adalah seorang hakim agung!” Timpal yang lain.
Lalu Al-Ma’mun memerintahkan agar pria itu dihadapkan padanya. Tidak lama kemudian pria itu datang. Al-Ma’mun memerintahkan ia duduk. Al-Ma’mun mencoba hormat dengan mengucap salam, ia pun menjawabnya dengan hormat pula. Al-Ma’mun mengajak ia berbincang-bincang, ia pun menjawabnya dengan baik.
“Siapa namamu, Tuan?” tanya al-Ma’mun.
“Alawiyah, wahai Raja,” lelaki berjenggot menjawab.
“Siapa nama kuniah-mu?” tanya al-Ma’mun lagi.
Lelaki itu menjawab dengan percaya diri, “Abu Hamdawaih, Raja.”
Nama kuniah adalah nama yang biasa digunakan orang Arab sebagai nama kedua. Nama ini umumnya disandarkan pada kata ‘abu’ (meskipun secara nahwu kata ibnu (putra) ‘am (paman), binti (putri) bisa menjadi nama kuniah.
Melihat tingkah orang ini yang sedikit lucu, para punggawa al-Ma’mun saling tatap pandang sembari menahan ketawa.
“Apa pekerjaanmu?” tanya al-Ma’mun.
“Aku seorang ahli fikih, saya hebat dalam banyak persoalan,” jawab Alawiyah, lelaki berjenggot, dengan mantap.
“Kalau begitu,” al-Ma’mun meninggikan suara, “Saya ingin bertanya kepadamu, wahai Tuan!”
“Silakan bertanya apa saja,” tuan Alawiyah mempersilahkan.
“Seseorang membeli seekor kambing. Ia membayarnya dan penjual sudah menerima uang itu. Namun,” al-Ma’mun menghadap ke sungai Tigris, “Tiba-tiba kambingnya buang angin dan secara tidak terduga pantatnya melemparkan kotoran kering. Yang menyedihkan adalah kotoran itu membuat mata pembeli buta. Siapa yang wajib membayar diyat untuk mata itu?”
Diyat adalah uang yang harus dibayarkan akibat perilaku kriminal yang berujung melukai fisik. Diyat melukai mata, misalnya, adalah 50 ekor unta.
Tuan Alawiyah menundukkan kepala sambil memainkan jarinya cukup lama. Ia mencoba berpikir siapa yang wajib membayar diyat kepada pembeli. Setelah cukup lama, ia akhirnya mengangkat kepalanya dengan wajah sumringah. Ia sudah menemukan jawabannya.
“Yang wajib membayar diyat adalah,” semua orang menunggu jawabannya, “penjual kambing.”
Lantas al-Ma’mun langsung bertanya tidak sabar menanti alasannya. “Apa alasan yang mendasarimu berkata bahwa diyat-nya dibebankan kepada penjual dan bukan kepada orang lain?” Al-Ma’mun mencondongkan kepalanya penasaran dengan jawaban pria itu.
“Karena pembeli hendak membeli kambing, bukan hendak membeli ketapel atau pelontar peluru (manjaniq),” Tuan Alawiyah menjawab dengan yakin. Manjaniq adalah semacam ketapel besar yang digunakan untuk merobohkan benteng musuh dalam perang antar-kerajaan di masa lalu.
Al-Ma’mun seketika tertawa mendengar kepolosan pria itu. Lalu tak lama al-Ma’mun membunyikan sebuah syair dengan bahar kamil berikut:
ما أحد طالت له لحية # فزادت اللحية في حليته
إلا وما ينقص من عقله # أكثر مما زاد في لحيته
“Tidaklah seseorang yang memanjangkan jenggotnya lalu jenggot itu menambah kewibawaannya,
kecuali kemampuan akalnya juga akan berkurang sesuai panjang jenggotnya.”
Demikianlah banyak orang tertipu dengan penampilan. Banyak orang mengira jenggot adalah simbol keluasan ilmu agama, kesalehan, dan bahkan orang yang memelihara jenggot dianggap sebagai calon penghunisurga. Mereka mengira bahwa agama adalah penampilan yang pertama kali muncul. Padahal, ujar penyair Arab, yang pertama kali muncul adalah fajar kadzib.
Itu hanya pendapat pribadi raja saja menurut saya. Karna nabi di hadisnya tidak menjelaskan makin panjang jenggot makin ini atau itu. Kembali ke manusianya saja niat dia menumbuhkan jenggot. Jika niat menghidupkan sunnah nabi insya allah memperoleh keberkahan
Lalu, yang bayar dhiyatnya siapa jdnya seharusnya??