Sedang Membaca
Tasikmalaya dan Pesantren
Mohammad Hagie
Penulis Kolom

Menyelesaikan studi ilmu sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta. Bekerja paruh waktu di Langgar.co.

Tasikmalaya dan Pesantren

Images (1) (1)

Hampir di semua kawasan Asia, terdapat sebuah padepokan sebagai pusat tatanan tradisi bermula ada dan dikembangkan. Padepokan tersebut fungsi utamanya adalah pendidikan moral. Letaknya bagian integral dengan rumah masyarakat, sehingga padepokan itu menjadi, dimiliki dan dijaga bersama oleh masyarakat. Karena fungsi utamanya sebagai basis moral, maka sejak belia, setiap individu sudah diperkenalkan dan dididik masa bermainnya dalam padepokan tersebut.

Di setiap tradisi dan kebudayaan, meyakini bahwa pendidikan moral adalah hal pertama yang harus ditanamkan pada setiap individu, dan basis moral itu kelak menjadi bekal dasar untuk mengantarkan pada jalan hidup yang akan ditempuh setiap takdir pribadi. Sejak itu pula, seorang individu mulai menyadari kemeng-ada-annya terlahir dan hidup di dunia.

Di kawasan Asian Tenggara, khusunya Indonesia, Padepokan itu kita kenal hari ini bernama pesantren. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, begitupun di Jepang, penamaan padepokan itu, biasanya sekaligus mewakili nama daerah tempat padepokan itu hadir. Kemudian hari, di berbagai belahan wilayah Indonesia, padepokan tersebut menjadi bagian integral dan identitas perekat, beriringan dengan berjalannya tatanan kerajaan. Terhitung ada empat penamaan tatanan kerajaan; ialah Kasultanan, Kasepuhan, Kasunanan , dan Kabuyutan. Kita bisa menelusurinya dari mulai Kasultanan Aceh, Mataram, Galuh, Bima, Banjar, hingga Ternate dan Tidore.

Kabuyutan Galunggung

Di masyarakat Jawa Barat, terdapat salah satu Kabuyutan yang tertulis dalam fragmen Carita Parahyangan, yaitu Kabuyutan Galunggung. Tertulis di dalamnya bahwa di Galunggung terdapat sebuah mandala, tempat para resi guru berada. Selain sebagai tempat penempaan dan transformasi moral masyarakat, padepokan itu sekaligus tempat dididiknya bakal calon raja. Karena kerajaan dan karesian (pesantren) menjadi satuan integral dalam hal moral, maka semua individu menjalankan ngilmu pesantren, hingga mencapai kematangan spiritual dan intelektual.

Baca juga:  Kisah Mufti Syafi’iyyah Makkah dengan Penasihat Kolonial Hindia Belanda: Surat-Surat untuk Snouck Hurgronje

Raja-raja di Nusantara, terpilih atas capaian kecakapan dan kematangan keduanya, yaitu hasil nyantriknya di manda (pesantren). Raja adalah wakil Tuhan yang berporos pada tradisi dan kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan baru. Berbeda dengan raja-raja di Eropa, yang bersifat monarki absolut, dan raja merupakan penjelmaan kekuasaan Tuhan.

Ben Anderson dalam bukunya “Kuasa Kata; Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia” membandingkan kedua konsep tersebut. Di Eropa, kekuasaan dipahami bersifat abstrak. Ia hanya dapat dimengerti lewat hubungan sebab-akibat, heterogen, tidak terbatas, dan tidak perlu berhubungan dengan moral masyarakat. Sementara konsep kuasa dalam kebudayaan Jawa bersifat konkret, homogen, konstan, dan absah.

Salah satu kabuyutan masyhur yang tercatat dalam Carita Parahyangan, terletak di sebuah gunung bernama Galunggung, sehingga nama yang diambil adalah Kabuyutan Galunggung. Dan gunung, dalam khasanah klasik manusia di kepulauan Indonesia, merupakan tempat yang dilindungi dan terjaga. Orang yang melakukan perjalanan dan pendakian gunung disebut salik, yaitu orang yang bersuluk untuk belajar dan menyerap pengetahuan dari perjalanannya hingga mencapai puncak gunung.

Para pejalan yang naik gunung, secara etimologi bisa kita konteks-kan hari ini sebagai para santri atau pelajar, yaitu pejalan yang menuntut ilmu. Satu hal yang menarik dari pola pendidikan tradisional ini, adalah adanya guru sebagai fungsi cermin diri dan stabilitas kehidupan lingkungannya.  Daya-tiru ini dalam tradisi platonian-aristotelian disebut perilaku mimesis, yaitu meniru seseorang yang dianggap sebagai guru.

Baca juga:  Manaqib KH. Syamsul Arifin Jember: “Nyongkel Sekep” dan Kesombongan Teologis di Masa Pandemi

Sukarno adalah contoh yang bisa kita lihat bagaimana ia melakukan mimesis itu. Kita tahu, Sukarno muda dititipkan oleh ayahnya ke rumah padepokan Cokroaminoto di Surabaya. Cokroaminoto selain sebagai sosok sentral dalam padepokan itu, juga merupakan orator ulung di kalangan masyarakat luas. Gaya berorator seorang Cokroaminoto ini, menjadi ilham mimesis Sukarno dalam meniru gurunya. Kerap Sukarno sering mengikuti Cokroaminoto ketika menghadiri undangan dari masyarakat, bahkan jika Cokroaminoto jatuh sakit, maka Sukarno yang menggantikannya.

Kita bisa melihat bagaimana sebuah padepokan yang pada mulanya berfungsi sebagai pendidikan moral sejak dini, berkembang menjadi pusat penyongsong peradaban baru. Tempat diolahnya ide dan gagasan baru yang sedang berkembang. Sehingga, para murid yang menempa diri di padepokan itu, kelak menjadi seorang terpelajar yang tercerahkan.

Tugas seorang seorang terpelajar berikutnya adalah turun gunung, yaitu memasyarakatkan-ulangkan dirinya. Hal ini menjadi sebuah siklus, dan terjadi disemua peradaban. Frasa turun gunung sempat menjadi populer di masa awal revolusi di Bandung, waktu itu para pejuang dan kaum terpelajar menyematkan diri mereka dengan istilah turun gunung di saat mereka pulang pada masyarakatnya sendiri.

Terdapat ungkapan menarik yang berbunyi “Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang”. Kalimat ini merupakan ungkapan masyarakat Sunda yang muncul dari pergaulan hidupnya yang lekat dengan gunung. Ungkapan kalimat tersebut hadir dalam bahasa batin yang mencoba diungkapkan untuk terus menjaga keterhubungan masusia dengan alam.

Baca juga:  Saling Kritik antar Ulama: Ibnu Malik dengan Ahli Nahwu Maliki dan Ibnu Khallikan

Pandangan dan cara hidup penghayatan (esoteris), merupakan ungkapan lelaku-batin manusia dalam mengekspresikan kemanusiaannya. Yaitu nilai hidup yang dicari, dihayati dan dijalankan. Dalam tradisi agama abrahamik, kita mengenal kisah Ibrahim ketika melakukan pencarian diri-Nya. Filsuf asal Denmark bernama Soren Kiekergard, menyebut hal tersebut sebagai pergumulan individu dan kebatiniahan.

Pola hidup kebatiniahan adalah ungkapan naluriah manusia sejak manusia itu mulai ada, yaitu naluri kecenderungan diri ingin berpijak pada dirinya, yang tak terpisahkan dari nilai lokalitasnya. Lokalitas merupakan tempat bermula manusia itu mulai ada (Being), meng-ada (Eksisten), dan membentuk kemen-adaannya (Dasein).

Berdasarkan catatan Danadibrata (2009) disatu kecamatan kawasan Kabupaten Tasikmalaya, jumlah gunung (bukit) mencapai 3.648, termasuk satu diantaranya dengan komplek yang disebut Gunung Sarebu. Dari lanskap ini, kita bisa mempunyai gambaran umum untuk menelisik kembali dan mengembangkan akar identitas kedaulatan diri yang perlu kita telusuri-ulang jejak langkahnya.

Dengan demikian, semua gunung, hamparan sawah, sungai, empang dan balong bisa menjadi wilayah belajar dan modal sosio-kultural. Penerimaan dan kesadaran itu, bisa menjadi pranata kembali potensi apa yang sebenarnya bisa dikembangkan di daerah sendiri. Jika semua sudah terbuka dan mencapai kesadaran itu, kita dapat membangun kembali hidup kita sendiri di masa depan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top