Sedang Membaca
Keajaiban Banten (V): Under Cover Tukang Jagal dan Penjual Daging
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Keajaiban Banten (V): Under Cover Tukang Jagal dan Penjual Daging

8e026ab3 E07d 4787 90a0 Ad534bb79e72

Orang Banten yang merantau ke daerah lain banyak menggeluti profesi sebagai tukang jagal dan penjual daging. Di tempat-tempat pemotongan hewan dan di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Jakarta, misalnya, hampir semuanya berasal dari Pandeglang, Lebak, dan Serang Provinsi Banten.

Banten sedemikian identiknya dengan urusan “jagal” sebab daerah ini dulunya merupakan sentra penghasil hewan ternak. Di kebon-kebon kosong, di pematang sawah, hingga di pinggir jalan sangat mudah ditemui hewan ternak yang digembalakan pemiliknya. Untuk menjaga kualitas daging yang dihasilkan terutama dari sisi kehalalannya di Benten juga ada “Fiqh Juleha (Juru Sembeleh Halal)” berjumlah 3 halaman (halaman 78 sampai 80) ditulis menggunakan bahasa Arab tapi tidak disebutkan penulisnya di dalam Naskah Pontang.

Fiqh Juleha diawali dengan pembahasan cara mengembelih. Apakah yang dimaksud dengan memotong itu dengan cara membacok, menebas (al-qath’) leher hewan, atau dengan menggesekkan (al-harakah) alat sembelih seperti pisau? Dalam Fiqh Juleha asal Banten disebutkan bahwa menyembelih itu dengan menggesekkan alat sembelih ke batang leher hewan yang disembelih dengan sekuat tenaga tanpa memisahkan kepala dari lehernya. Selain itu dalam Fiqh Juleha juga disebutkan bahwa isyra’ atau menggerakkan secara bolak-balik alat sembelih bukan dianggap sebagai “jeda sembelih” yang diharamkan.

Baca juga:  Rayuan Pulau Kelapa

Fiqh Juleha asal Banten juga menjelaskan kebolehan penyembelihan dengan cara menembak jika hewan susah dijinakkan dan kabur-kaburan. Selain itu juga disebutkan masalah “luka menganga” akibat sembelihan yang dikatakan tidak mempengaruhi kehalalan hewan sembelihan. Dengan kata lain hewan yang disembelih sampai menyebabkan putusnya kepala dari lehernya juga masih halal. Itulah diantara pembahasan Fiqh Juleha yang hanya ditulis 3 halaman dalam Naskah Pontang.

Kedudukan Banten sebagai sentra penghasil daging serta tukang-tukang jagal hebat menyebabkan daerah-daerah lain banyak bergantung kebutuhan pasokan daging dari Banten. Pemerintah Belanda sampai “iri” kepada Banten, sehingga dibuatlah aturan karantina Hewan dan mantri hewan, Keur Residentie Banten 12 Mei 1896. Aturan ini berlaku khusus di kota-kota afdeeling yaitu kawasan pemukiman orang Eropa dan bangsa asing di wilayah Banten. Dalam aturan itu, sebelum hewan disembelih harus dikarantinakan terlebih dulu dan selalu diperiksa oleh mantri  hewan (Keurmasteer). Untuk pemeriksaan hewan dikenakan biaya 20 sen/kerbau dan sapi, dan 10 sen/kambing. Tiap-tiap orang yang melanggaran aturan ini didenda 1 s/d 20 rupiah.

Keur Residentie Banten 12 Mei 1896 berlaku sangat ketat melebihi aturan sebelumnya, Javasche courant no. 45 diterbitkan 4 Juni 1880. Hal ini dikarenakan pada beberapa waktu sebelumnya, wilayah Banten dilanda kemarau panjang selama 4 tahun tidak turun hujan. Tanaman mati semua yang menyebabkan hewan-hewan kecil mati, termasuk tikus. Bangkai tikus menularkan virus ke dalam tubuh hewan ternak yang juga mati.

Baca juga:  Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (1): Ibadah Puasa di Tengah Corona

Akibatnya terjangkitlah wabah pes yang menewaskan puluhan ribu warga masyarakat Banten. Peristiwa ini seperti mengulang sejarah –seperti ditulis Claude Gulliot, tahun 1625. Saat itu terjadi wabah pes yang menewaskan 1/3 dari total jumlah penduduk Banten: 800.000 sampai 100.000 orang. Hewan ternak yang mati juga jumlahnya lebih banyak.

Pengalaman itu mendorong diberlakukannya Keur Residentie Banten 12 Mei 1896, yang mengilhami pemerintah Belanda memberlakukan aturan karantina hewa dan dokter hewan secara nasional melalui Staatsblad 1912 tahun 432. Hanya saja Pemerintah Belanda bersikap “mendua”, di satu sisi memberlakukan aturan karantina secara ketat untuk hewan ternak lokal dari Banten akan tetapi di sisi lain mereka mengimpor sapi langsung dari Belanda tanpa aturan yang ketat.

Sekalipun berulangkali terjadi penularan penyakit pes dari hewan ternak akan tetapi Banten berhasil mempertahankan sebagai sentra penghasil daging hewan ternak. Kondisi ini secara langsung melahirkan keahlian tukang jagal di kalangan masyarakat Banten. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top