Sedang Membaca
Masjid Tempat Peradaban: Belajar dari Rasulullah dan Imam Besar Masjid Istiqlal
Fathur Roziqin
Penulis Kolom

Penulis adalah mahasiswa prodi manajemen zakat dan wakaf dan Kader Intellectual Movement Community UIN KHAS Jember.

Masjid Tempat Peradaban: Belajar dari Rasulullah dan Imam Besar Masjid Istiqlal

Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid

Apakah fungsi masjid? Bagaimanakah fungsi masjid di zaman Nabi Muhammad Saw?  Bagaimanakah idealnya pengelolaan masjid di masa depan? Apakah sekitar masjid boleh dijadikan tempat berjualan?

Melalui  buku terbarunya ini, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A. hendak mengingatkan pada umat Muslim bahwa masjid selain sebagai tempat ibadah juga merupakan tempat pemberdayaan sekaligus pembinaan bahkan peradaban umat Islam.

Jika fungsional masjid hanya berkutat pada tempat ritual semata; itu sama halnya mengurangi potensial masjid sebagai tempat peradaban umat Islam. Masjid Rasulullah dahulu merupakan tempat persaksian peradaban umat Islam. Ini terbukti tak kala umat Islam memenangkan pertarungan melawan kaum kafir.

Ini bermula ketika terjadi Perang Badar. Tak kala Perang Badar meletus dan dimenangkan umat Islam, tawanan perang sangat banyak—mulai dari para pemimpin hingga elite kafir Quraisy. Perang Badar yang maha dahsyat itu—yang tiba-tiba terjadi angin puting beliung hingga meluluhlantahkan kemah-kemah elite pasukan musuh—berlangsung ketika bulan suci Ramadhan.

Singkatnya pasukan musuh ditawan dan dirantai di sudut-sudut masjid. Oleh karena tawanan perang ini terlampau banyak dan para sahabat kesulitan mengkoordinir sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan sahabat bagaimana dan tindakan apa sebaiknya dilakukan, Rasulullah Saw kemudian meminta pendapat para sahabat mengenai para tahanan perang tersebut.

Umar ibn Khattab menyarankan agar para tawanan perang itu dibunuh saja atau dijadikan budak sesuai hukum adat yang berlaku. Namun pendapat sahabat satu ini kurang disetujui; sahabat Abu Bakar kemudian mengusulkan agar tawanan perang itu diverifikasi berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Artinya, para tawanan perang itu akan dimanfaatkan kelebihannya.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (34): Mauidlatul Mukminin, Ringkasan Kitab Ihya Ulumuddin

Rasulullah Saw., menyetujui usulan sahabat Abu Bakar dan meminta mengumpulkan 20 masyarakat Madinah agar diberi pelatihan keterampilan oleh para tawanan perang  sebagai syarat pembebasannya.

Tawanan perempuan yang memiliki keterampilan tata rian mengajarkan pelatihan salon kecantikan, sebagian tawanan lainnya, mengajarkan bagaimana cara menyamak kulit, bagi yang ahli bahasa asing, agar mengajarkan pula ilmunya kepada masyarakat Madinah. Adapun bagi tawanan pria yang memiliki kemampuan pembuatan senjata, para tukang batu, tukang besi, dan tukang kayu, juga melakukan hal serupa mengajarkan ketrampilan yang dimilikinya.

Dalam kurun waktu relatif singkat—sekitar kurang dari tiga tahun—masyarakat Madinah tak lagi illiterasi; dan tawanan perang itu akhirnya memeluk agama Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A. menulis: “Mereka diseleksi lalu dimerdekakan dengan syarat memberikan keterampilan berkelanjutan kepada kaum pribumi di Madinah. Satu persatu tawanan perang itu memeluk agama Islam tanpa sedikit pun paksaan. Mereka berterima kasih masih diberi kesempatan hidup.”

Artinya mereka tak dieksekusi mati sebagaimana ketentuan perang. Peristiwa pembebasan tawanan perang itu mengajarkan kita tentang kemanusiaan. Islam memang agama kemanusiaan. Bahkan setelah itu Madinah menjadi kota peradaban.

Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A. lanjut menulis. “Keterampilan yang diajarkan kepada mereka membawa warga penduduk Anshar banyak mengalami kemajuan indeks kualitas hidup bahkan setara dengan komunitas minoritas Yahudi di Madinah.” Kita tahu warga Yahudi di Madinah minoritas dalam hal jumlah tapi mayoritas dan dominan dalam hal kualitas. “Akhirnya, umat Islam berhasil menguasai kejayaan di Madinah hingga saat ini,” simpul Imam besar Masjid Istiqlal itu (hlm, 58).

Baca juga:  Sabilus Salikin (41): Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (2)

Uraian di atas merupakan bab kedua dari buku ini yang berisi materi fungsi-fungsi masjid. Perlu diketahui, kata masjid sendiri terdiri akar kata sajada-yasjidu yang berarti sujud; bentuk kata masjid adalah tempat sujud. Berangkat akar kata masjid ini bisa dipahami bahwa segala  sesuatu yang ditempati sujud untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., dapat disebut masjid. Dasarnya ada pada hadis riwayat al-Baihaqi: “ Bumi ini semunya adalah masjid, kecuali kuburan dan pemandian umum.”

Artinya, jika terdapat perusakan bumi, eksploitasi lingkungan hidup hingga mengakibat bencana alam, itu sama halnya merusak tempat peradaban ini. Yaitu masjid sebagai bumi Allah ini adalah persaksian peradaban umat manusia.

Karena itu, buku ini memberi sumbangsih berharga berupa wawasan kepada masyarakat tentang pemanfaatan masjid; bagaimana masjid kedepan menjadi tantangan sebagai lokus kehidupan, memakmurkan keummatan berbasis masjid.

Hal paling menarik, yang patut jadi renungan kita bersama, kedepan bagaimana masjid sekiranya menjadi tempat peradaban sebagaimana Rasulullah dahulu mencontohkannya. Dalam hal ini Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A. turut mengajak kepada kita semua untuk memikirkan hal tersebut.

“… sudah saatnya kita memikirkan bersama model-model pendayagunaan masjid (ta’mir al-maâjid) yang lebih produktif, efisien, dan efektif. Jika mungkin masjid-masjid Indonesia nantinya akan menjadi penentu kecenderungan masa depan (trend setter) untuk masjid-masjid lain di negara-negara lain,” tulisnya.

Imam besar masjid istiqlal tersebut mencontohkan “model-model pendayagunaan masjid” pada esai lainnya berjudul, Ekonomi Berbasis Masjid dan Jika Setiap Masjid Memiliki Minimarket. Dalam dua esai ini penulis memaparkan berbagai terobosan baru yang layak diimplementasikan di setiap masjid di Indonesia.

Baca juga:  Inilah 36 Karya Sapardi Djoko Damono

Misalnya, menara-menara masjid dapat disewakan sebagai antena provider lebih dari satu penyedia jasa antena; space masjid bisa dijadikan ruang atau etalase memamerkan produk-produk halal; hasil kerajinan tangan warga jamaah masjid dapat pula dipamerkan di aula atau space masjid; dan pengembangan masjid pula bisa menggaet anak muda untuk mengadakan pelatihan skill tertentu bahkan dilingkungan masjid itu pula bisa didirikan minimarket dan sebagainya (hlm, 138-1340).

Alhasil, buku ini layak dibaca setidaknya bagi tiga pembaca. Pertama, sebagai takmir masjid, layak membaca buku ini agar makin sadar akan multifungsional masjid yang cukup potensial jadi peradaban umat. Kedua, remaja masjid sebagai estafet pengelola masjid tentu penting membaca buku ini. Ketiga, masyarakat umum; meski sifatnya masyarakat tak sebegitu penting dibanding dua pembaca sebelumnya, tapi yang pasti penting pula sebagai bahan penunjang wawasan kemasjidan bagi masyarakat umum.

Namun demikian, seperti kita baca lembaran awal hingga akhir, terdapat beberapa pengulangan materi sehingga terkesan buang-buang waktu ketika membaca tuntas keseluruhan buku. Meski demikian buku ini tetap patut dibaca setidaknya tiga pembaca tersebut.

Pada akhirnya akan lebih bagus dan menarik apabila masjid diselerenggarakan dan dimakmurkan berdasarkan fungsi awal masjid: pembinaan dan pemberdayaan umat. Demikian demikian, peradaban dimulai dan dibentuk bermula pengelolaan masjid yang profesional; sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad Saw mencontohkan 14 abad silam.

Judul: Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid

Penulis: Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M. A

Penerbit: PT Gramedia, Cetakan: 1, 2021, Tebal: 145 Halaman

ISBN: 978-602-05-2826-7

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top