Sedang Membaca
Efek Shalawat, dari Surau hingga Youtube
Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Efek Shalawat, dari Surau hingga Youtube

Di Islam, shalawat memiliki dimensi teologis dan spiritual yang mengakar kuat bagi kehidupan seorang muslim. Panjatan doa kesejahteraan bagi kanjeng Nabi telah dititahkan sendiri oleh Allah dalam kalamNya QS. al-Ahzab [33]: 56, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat (mendoakan kesejahteraan) atas Nabi, wahai orang-orang beriman maka bershalawatlah kalian untuk Nabi dan bersalam takdimlah kalian kepadanya.”

Ini artinya pada ranah teologis setiap muslim diperintahkan bershalawat kepada Nabi. Dari perintah inilah kemudian dikenal lema shalawat dalam Islam, yaitu doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk Nabi Muhammad.

Dalam banyak hadis disebutkan akan anjuran bershalawat kepada Nabi Muhammad, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah bershalawat untuk orang tersebut sepuluh kali. Para ulama pun mufakat shalawat merupakan bacaan yang harus dilanggengkan oleh setiap muslim. Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengutip kalam Syeikh Abdul Aziz al-Zamzami dalam Abwab al-Faraj (2007), bershalawat atas Nabi Muhammad adalah amalan yang penting untuk diperhatikan bagi Muslim dalam setiap waktu agar semakin dekat dengan Allah.

Di antara ragam redaksi shalawat yang dikenal di kalangan muslim, shalawat Ibrahimiyah yang paling populer karena selalu dibaca dalam tahiyat ketika salat. Selain itu shalawat inilah yang sigatnya diajarkan langsung oleh Rasulullah melalui hadis. Seiring zaman, redaksi shalawat semakin banyak jumlahnya, apalagi didukung oleh perkembangan kesusastraan. Sekarang ini, kumpulan shalawat seperti Burdah, Barzanji, Habsyi, Dalail dan seterusnya sudah umum dikenal oleh masyarakat muslim di banyak negara. Ada juga shalawat yang disusun dengan redaksi khusus dan pendek seperti Badar, Nariyah, Fatih, Munjiyat dan tak terhitung lainnya. Shalawat-shalawat itu menyebar di kalangan muslim tradisional terutama masyarakat pesantren.

Membudaya

Bagi masyarakat muslim tradisional, shalawat merupakan ritus ibadah yang dipercaya, siapapun yang melantunkannya akan mendapat pahala. Oleh karenanya, intensitas bershalawat hampir sama dengan membaca al-Quran dalam kegiatan setiap muslim baik dibaca perorangan ataupun berjemaah. Shalawat dilantunkan sebagai pujen di surau dan masjid sebelum pelaksanaan salat jamaah. Kasidah Burdah juga dirapal sebelum menyolatkan jenazah di beberapa daerah di Jawa. Di kampung-kampung kegiatan pembacaan shalawat secara kolektif melahirkan perkumpulan-perkumpulan seperti majelis Diba, Barzanji, Habsyi, dan sebagainya.

Baca juga:  Kata Nabi Muhammad Saw: Setiap Bangsa Punya Cara Sendiri Merayakan Idul Fitri

Seiring perkembangan zaman, shalawat juga mengalami perluasan dimensional. Tidak hanya bermakna teologis dan spiritual yang privat, shalawat juga menjadi bagian dari budaya komunal dan komoditi publik. Pada dimensi budaya, infiltrasi shalawat dapat ditemukan pada tradisi maulid yang beragam corak tergantung lokalitas di mana maulid diselenggarakan. Maulid menjadi identitas yang mampu memadukan budaya, seni dan ritual keagamaan untuk memberi penghormatan kepada nabi. Selain tradisi maulid, shalawat juga menjadi pintu masuk terciptanya budaya komunal lain seperti dalam rodat, saman, kasidah dan lainnya. Di acara seperti pernikahan, selametan dan pertemuan formal shalawat juga menjadi bagian yang lekat ditampilkan.

Kemunculan alat-alat musik juga menyebabkan perluasan dimensional shalawat seperti ketika berpadu dengan rebana atau terbang, maka muncul seni hadrah dan banjari. Perpaduan kasidah shalawat dan musik inilah yang kemudian membawa shalawat menjadi komoditi publik yang bernilai seni dan punya daya menghibur. Kemunculan grup-grup kasidah dengan berbagai aliran mulai samrah, rebana, gambus, nasyid hingga yang memasukkan unsur musik modern ke dalamnya merupakan bukti akan pergeseran shalawat dari area religi ke industri hiburan.

Kapitalisasi dan Dakwah

Di tengah arus budaya pop yang menggelobal, shalawat turut mengambil tempat sebagai komoditi di industri musik dunia. Di Indonesia sendiri, shalawat masuk pada genre musik religi islami yang menjadi tren musik alternatif dan terus bertransformasi dari waktu ke waktu. Di era 80an tren musik religi ini mengenalkan grup kasidah rebana Nasida Ria yang populer dan mengimbangi tren musik dangdut dan pop waktu itu. Grup kasidah modern ini didirikan oleh  H. Muhammad Zain di Semarang tahun 1975. Sejak dirintis hingga tahun 2011, grup legendaris ini telah merilis tidak kurang dari 35 album dengan 350 lagu.

Baca juga:  Pengalaman Orang Madura Buka Bersama

Meskipun tidak keseluruhan dari lagu-lagu Nasida Ria adalah shalawat. Namun, album-album awal dari grup ini kebanyakan membawakan kasidah shalawat seperti Ya Nabi Salam, Ya Rabbi Sholli dan seterusnya. Seiring waktu, grup kasidah ini kemudian konsern pada lirik-lirik dakwah dengan bahasa Indonesia. Di antara lagu-lagu yang populer hingga saat ini seperti Perdamaian yang juga dikover oleh Gigi dan beberapa penyanyi di era berikutnya. Setelah Nasida Ria, di era 2000an muncul aliran nasyid seiring populernya grup-grup seperti Snada.

Kepopuleran kasidah shalawat juga menjadi suatu fenomena yang menarik pada dekade ini. Misalnya saja kemunculan sosok Habib Syekh bin Abdul Kadir Assegaf dengan jemaah shalawat Ahbabul Musthofa. Di tangan salah satu keturunan Hadrami di Indonesia yang lahir pada 20 September 1961 ini, shalawat menjadi sarana dakwah yang efektif. Kasidah shalawat kemudian banyak dihapal oleh khalayak umum yang memang sudah akrab dengan shalawat. Majelis shalawat asuhannya yang digelar di banyak tempat hingga di mancanegara mampu menyedot antusiasme publik tidak hanya orang-orang dewasa namun juga kalangan muda, sehingga muncul kelompok yang menamakan diri mereka Syekhermania.

Antara Habib Syekh dan Sabyan yang diulas di awal tulisan ini, keduanya memiliki kesamaan meskipun panggung mereka berbeda. Baik Habib Syekh maupun Sabyan menjadikan shalawat sebagai komodifikasi untuk meraih popularitas bersamaan itu juga mereka sedang berdakwah dengan mempopulerkan shalawatan dan menyuarakan Islam ramah. Jika Habib Syekh menyasar kelompok tradisional, maka Sabyan lebih menargetkan kelompok modern. Menurut Donny Sofyan dalam Sabyan Gambus: Popularity and change (The Jakarta Post, 9 Juli 2018), mengklasifikasi latar popularitas yang diperoleh Sabyan didorong oleh tiga faktor.

Baca juga:  Dalailul Khairat: antara Shalawat Maulid dan Aurad

Pertama, kreativitas. Pada kasus Sabyan, penggunaan media YouTube dan media sosial daring serta kemasan performance yang sesuai dengan tren zaman merupakan kunci kesuksesan mereka. Kreativitas inilah yang menyebabkan kasidah shalawat berhasil menetrasi mal, perkantoran, hotel dan pusat-pusat area publik yang dulu tak tersentuh ketika shalawat hanya disenandungkan di surau dan masjid.

Kedua, anti-mainstream. Sabyan mampu menyuguhkan alternatif bermusik tanpa mengandalkan label rekaman, namun hanya mengandalkan media baru. Selain itu, kemunculan Sabyan adalah narasi balik tentang Islam, ketika di sana-sini wajah agama Muhammad didiskreditkan dengan banalitas melalui isu terorisme. Dengan shalawat Sabyan menyuarakan damai denga shalawat. Sebab tak seorangpun menafikan sisi keindahan dan kedamaian yang terkandung dalam shalawat.

Ketiga, tidak bersensasi. Jika banyak artis mengejar popularitas dengan sensasi, maka Sabyan lebih memilih jalan alamiah dengan menonjolkan daya tarik Nissa yang ramah dan penuh hospitality.

Akhirnya, senandung doa yang selalu dipanjatkan untuk Nabi Muhammad oleh setiap muslim terus bergerak menyongsong zaman yang terus berubah. Jika dulu shalawat hanya terdengar di surau-surau  kini YouTube pun menyebarkannya menembus sekat-sekat modernitas tanpa batas. Sabyan, Habib Syekh, Maher Zein dan musisi lintas zaman lainnya telah membuktikan bahwa shalawat mampu mempopulerkan mereka.

Namun demikian, yang patut diwaspadai ketika shalawat menjadi komoditi industri hiburan jangan sampai kemudian menanggalkan dimensi teologis dan spiritualnya. Penulis berpikir, apa jadinya ketika al-Barzanji, al-Dibai, al-Busyairi, al-Habsyi mementingkan royalti ketika menyusun kasidah-kasidah shalawat mereka, itulah keikhlasan! (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top