(Kiai) Mustain pada masa remaja mampu belanja sepatu baru yang bagus setelah sekeping demi sekeping koin ia tabung di celengan. Meski tumbuh dan besar di lingkungan dusun agraris serta berasal dari keluarga yang sederhana, selera penampilannya keren.
Mustain lahir di Jombang pada Agustus 1931. Pada tahun kedua masa pendudukan Dai Nippon, ia lulus dari madrasah ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) dan tamat dari madrasah tsanawiyah (setingkat SLTP) setahun setelah memasuki masa Kemerdekaan.
Pada 1949 Mustain menyelesikan pendidikan sekolah menengah atas. Akademi Da’watul Mubalighin ia rampungkan pada 1954 di Semarang. Universitas Makau Hongkong menganugerahinya gelar doktor honoris causa di bidang filsafat pada 1977. Ia pendiri Universitas Darul Ulum Jombang pada 1965 dan menjadi rektor pertamanya.
Sang ayah, Kiai Romly, tak senang menyaksikan Mustain remaja membelanjakan uang tabungan untuk belanja sepatu baru karena menimbang atau berempati kepada para tetangga mereka yang hidupnya sedang berkekurangan.
Kiai Romly mendidik anak-anaknya dengan hidup prihatin. Mustain remaja kerap memisahkan kerikil-kerikil dari butiran nasi ketika makan di rumah orangtuanya.
Zikir dan berpuasa adalah disiplin Kiai Romly sehari-hari. Juga tak mengonsumsi makanan hewani dan beristighfar minimal 10.000 kali dalam sehari-semalam.
Kiai Romly merupakan teladan religius dan spiritual yang mengesankan dan membentuk pribadi Mustain sejak belia. Kiai Romly juga dikenal dermawan meski tidak kaya. Saban Jumat pagi, Kiai Romly mengetuk pintu para tetangga untuk memberikan panganan kecil ala kadarnya.
Suatu ketika seorang peminta-minta datang ke rumah Mustain yang kala itu ia telah menjadi kiai, mursyid dan pejabat negara. Kiai Mustain merogoh uang dalam sakunya untuk diberikan kepada peminta-minta itu.
Si peminta-minta menampik uang Kiai Mustain. Ia menginginkan baju branded yang dikenakan Kiai Mustain. Kiai Mustain melepas bajunya dan memberikannya kepada peminta-minta itu.
Sepeninggal Kiai Romly pada 1958, Mustain meneruskan peran kiai dan mursyid sang ayah di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang serta sejak 1975 ia Ketua Umum Tarekat Mu’tabarah wa Naqsyandiyah hingga akhir hayatnya pada Januari 1985.
Kiai Romly adalah muridnya Kiai Hasyim Asyari dari Cukir. Putra pertama Kiai Hasyim, Kiai Wahid, suatu hari bertamu ke rumah Kiai Romly di Peterongan.
Kiai Wahid adalah pejabat negara. Ia menteri agama kala itu. Penampilannya necis. Parlente. Ia berpeci hitam, berpantalon, berkemeja, berjas safari serta berdasi. Juga bersepatu kulit yang berkilat semir. Penampilan yang sangat modern. Kiai Wahid mengimbau santrinya di Cukir membaca koran dan majalah. Bukan hanya kitab kuning.
Kiai Romly menyambut Kiai Wahid di rumahnya penuh takzim dan hormat. Mustain muda diperkenalkan oleh Kiai Romly kepada putra gurunya itu.
Sesaat setelah Kiai Wahid berpamitan, Kiai Romly berkata kepada Mustain muda, “In, koen ora pingin koyok Gus Wahid ta?” (In, kamu tak ingin seperti Gus Wahid?). Kiai Wahid wafat pada 1952.
Potret-potret Kiai Mustain ketika masa kuliah terlihat parlente. Bersama teman-teman kuliahnya, ia berpose seperti orang kota. Bagian bawah kemeja panjangnya dimasukkan ke pinggang pantalonnya. Ada potret setengah badannya berposisi agak miring dengan kostum jas safari dan dasi—seperti penampilan umumnya pejabat negara pada masa itu.
Potret Kiai Mustain di masa-masa kuliahnya juga ada yang ketika ia bertamasya di pantai atau berpose dengan sepeda kayuh. Di buku hariannya, ia menuliskan puisi berbahasa Indonesia serta adagium berbahasa Arab dan Inggris.
Itu semua terjadi pada masa-masa pemerintahan Presiden Soekarno dan sebelumnya. Sejak akhir 1960 Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dan Soekarno lengser.
Pada 1960-an hingga 1970-an, Kiai Mustain adalah ketua delegasi resmi pemerintah RI untuk misi muhibah ke negara-negara Timur Tengah, Eropa Barat dan Amerika Serikat. Ia juga anggota International Assosiations of University Presidents sejak 1981 dan bersama Wakil Presiden RI menghadiri konferensi OKI di Rabat pada 1984.
Kiai Mustain menikahi putrinya Kiai Wahab Hasbullah dari Tambakberas. Mertua Kiai Mustain itu adalah organisatoris dan politisi andal dan kontroversial. Pendiri NU itu adalah “mentor politik” pertama Kiai Mustain.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Kiai Wahab menarik keluar NU dari Masyumi dan beralih mendukung kebijakan politik Nasakom yang menghebohkan pada masanya.
Kiai Wahab dihujat keras oleh sebagian kalangan NU, organisasi yang ia bentuk di Surabaya bersama para kiai terkemuka pada masa Hindia-Belanda. Kiai Wahab wafat pada Desember 1971.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Kiai Mustain bergabung ke dalam gerbong partai politik pemerintah. Golkar. Ketika itu NU berafiliasi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Awal keterlibatan Kiai Mustain di dalam gerbong politik pemerintahan Soeharto sebagai anggota dan juru kampanye Golkar pada dekade 1970. Sebagian kalangan Kiai NU dan pesantren sewot dan menghujatnya. Ia pun “dipecat” dari NU dan Jamaah tarekatnya terbelah sikapnya sejak ia bergabung dengan Golkar.
Tiga tahun sebelum wafat, Kiai Mustain menerima SK Presiden RI sebagai anggota DPR/MPR masa jabatan 1982-1987. Pada dasawarsa yang sama ia anggota Lembaga Perguruan Tinggi Swasta (LPTS) dan Majelis Rektor Universitas dan Institut Seluruh Indonesia.
Kiai Mustain wafat saat masih menjalani perannya sebagai kiai, mursyid, rektor dan anggota parlemen pusat. Ia wafat pada masa puncak kiprahnya yang beragam.
Sebagai amanah dan tugas, kiprah panjang, dan lintas-bidang yang ditempuh dan diperjuangkan oleh Kiai Mustain sepanjang hayatnya tak terasing dari pengaruh, inspirasi dan teladan tokoh-tokoh lain sebelumnya—sebagaimana para figur besar selainnya yang lazim berendah hati belajar kepada yang lain dan menjadikanya sejenis “role model”.