Sedang Membaca
Pengaruh Besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan bagi Nusantara
Hilful Fudhul
Penulis Kolom

Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima

Pengaruh Besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan bagi Nusantara

makkah

Sayid Ahmad Zaini Dahlan ( 1817-1886) dikenal sebagai ulama Makkah pembela ajaran Ahlusunah Waljamaah (Aswaja). Ia merupakan mufti terakhir Mekkah-Madinah di zaman Turki Usmani, keturunan dari al-quthb ar-rabbani Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Jelas, ia keturunan keluarga ahlulbait Rasulullah SAW melalui garis keturunan Sayidina Hasan, cucu Rasulullah.

Di bumi Nusantara ini kita mengenal ulama terkenal seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Kiai Muhammad bin Abdullah as-Suhaimi, Kiai Muhammad Soleh Darat, Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah al-Minangkabawi, Sayid Utsman Bin Yahya al-Batawi, Tuan Hussin Kedah, Syekh Abdul Hamid Kudus, Kiai Muhammad Khalil al-Maduri, Haji Ustman bin Abdullah al-Minangkabawi ( Imam, Khatib, dan kadi Kuala Lumpur Pertama) dan banyak lagi, mereka merupakan dididikan langsung Sayid Ahmad Zaini Dahlan.

Sebagai seorang guru, ia  cukup terkenal sebab menjadi guru bagi ulama besar di masing-masing daerah yang berada di Nusantara, maka nama beliau jelas memiliki tempat di kalangan pesantren.

Selain itu, Sayid Ahmad Zaini Dahlan menjadi panutan serta  argumentasinya dalam membentengi tradisi Aswaja dan membantah kalangan Wahabi yang jelas bertentangan dengan ulama Aswaja. Beliau oleh kalangan pesantren dikenal sebagai garda terdepan membentengi ajaran Aswaja.

Tradisi tawasul, ziarah kubur, yasinan dan tahlilan, 40 harian dan banyak lagi tradisi yang sampai hari ini masih dijaga oleh masyarakat Indonesia. Tradisi serta kebiasaan itu telah menjadi bagian penting dari ekspresi keberislaman orang-orang Indonesia sejak dulu.

Salah satu pandangan pandangan Sayid Ahmad tentang ziarah makam nabi bahwa menziarahi makan nabi adalah sunah, dengan mengambil hadis riwayat Ibnu ‘Adiy, Nabi Muhammad bersabda:

Baranng siapa yang melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak menziarahiku, berarti dia telah berlaku kasar terhadapku” ( HR. Ibnu ‘Adiy)

Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan mengatakan bahwa banyak sekali hadis sahih yang secara terang-terangan menyatakan ziarah makam nabi seperti, “Barang siapa menziarahi makamku, dia pasti akan mendapat syafaatku

Baca juga:  Hak Tuhan dan Hak Manusia: Lebih Didahulukan Mana?

Indonesia sebagai salah satu negara dengan umat muslim terbanyak di dunia serta dengan mayoritas pencinta selawatan, yasinan, tahlilan, ziarah kubur bukan tidak memiliki hambatan, terutama maraknya gerakan organisasi transnasional serta paham kaum Wahabi yang menyerukan berdirinya negara Islam disertai dengan ajakan kembali ke Alquran dan As-Sunnah.

Sebagai bagian dari memudarkan tradisi dan menolak ekspresi keberagamaan masyarakat Indonesia seperti maulidan, haul, zirah kubur karena dianggap bertentangan dengan agama Islam itu sendiri. Ini narasi yang selalu dipakai untuk menghancurkan tradisi keberislaman orang-orang Indonesia.

Hal ini yang selalu ditentang oleh ulama serta para kiai pesantren, sebab Indonesia memiliki kebiasaan unik dalam mengekspresikan kecintaan serta keyakinan dalam beragama. Ulama terdahulu sangat paham bagaiman nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam di Makkah saat itu, dengan modal sopan santun yaitu salah satu gambaran mahluk yang memiliki akhlak yang mulai, cobaan serta cacian orang-orang Quraisy tidak membuat nabi memaksakan kehendak walaupun beliau seorang rasul utusan Allah, dengan akhlaq yang mulia inilah yang membuat banyak orang yang awalnya membenci nabi, kemudian menjadi pengikut setia seperti kisah Umar Bin Khatab.

Dengan pancaran akhlak yang mulia nabi dengan mudah menundukkan kegarangan seorang Umar. Nabi Muhammad selalu menampilkan jalan damai, sopan, santun serta meneduhkan hati. Selain itu, nabi pula memberi contoh untuk selalu mengangkat derajat manusia tanpa melihat status quo seseorang seperti yang dilakukan beliau ketika mengangkat derajat Bilal sang budak.

Baca juga:  Sutopo Purwo Nugroho: Wajah Boyolali Penuh Dedikasi

Dengan contoh di atas, itulah prinsip yang dipegang oleh para pembawa Islam di Nusantara yang kemudian dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Dengan akhlak yang mulia Wali Sanga dengan santun membawa ajaran Islam dengan damai tanpa kekerasan. Sebagaimana Sunan Kudus tidak memperbolehkan kurban Sapi, untuk menjaga perasaan orang-orang Hindu yang sangat mengkultuskan Sapi.

Sunan Giri mengubah kebiasaan orang Nusanatara yang melakukan ritual seks bebas dengan suguhan arak, diubah dengan kebiasaan ritual membaca amalan seperti berdzikir, yasinan, tahlilan serta mengganti arak dengan suguhan minuman teh. Inilah contoh mulia dari pembawa Islam tanpa mengkafirkan dan mencaci maki.

Inilah perlunya kita menjaga ekspresi keberislaman kita yang telah dicontohkan oleh ulama dan para waliyullah di Nusantara, sebagai warisan ulama yang meliki kedalaman agama, kebijaksanaan serta kemuliaan. Bahkan Islam yang dibawa oleh para waliyullah mengangkat derajat orang-orang Nusantara itu sendiri.

Hari ini masih marak kelompok baik secara terbuka maupun diam-diam ingin merusak warisan para ulama terdahulu, orang-orang ini salah satunya kita kenal dengan kaum Wahabi yang jelas-jelas menyalahkan bahkan menuduh kebiasaan yang telah disebutkan di atas sebagai ajaran yang sesat, bidah dan harus dihancurkan.

Pandangan kaum Wahabi yang ingin merusak warisan ulama terdahulu ini jelas-jelas ditentang oleh Sayid Ahmad Bin Zaini Dahlan, seorang guru yang mendidik banyak ulama besar Nusantara, salah satunya adalah Syekh Nawawi al-Bantani.

Sayid Ahmad Bin Zaini adalah ulama yang dalam buah pemikirannya menolak pandangan kaum Wahabi dengan membela ajaran Ahlusunah Waljamaah. Pembelaan atas tradisi yang sering dilakukan oleh orang-orang Nusantara ini dalam karya Sayid Ahmad Bin Zaini yang berjudul ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini, jelas-jelas Sayid Ahmad menolak paham Wahabi.

Baca juga:  Raden Saleh: Dicintai, Dihormati, tapi Dicurigai

Seperti pandangannya yang tertuang dalam karyanya ini:

“…ziarah makam nabi, sah-sah saja dan bahkan sesuatu yang disyariatkan, diperintahkan Alquran dan hadis serta disepakati oleh ulama (ijmak) dengan dalil dalam Qs. An-Nisa ayat 64 , bahwa ziarah makam nabi tidak menjadi masalah dan tidak bertentangan dengan dali-dalil dalam Islam”.

“Meminta ampun kepada Allah disisi beliau (rasul). Dengan begitu, beliau (rasul) akan memohon ampunan kepada Allah, dan ayat yang disebutkan di atas tidak terputus atau terhenti dengan meninggalnya Rasulullah Saw”.

Ziarah makam nabi yang kemudian oleh pemerintah Arab pernah mewacanakan pemindahan atau pembongkaran makan baginda Rasulullah tidak mengagetkan jika ulama Nusantara KH. Wahab Chasbullah menentangnya. Rencana itu pemerintahan Arab saat itu dianggap keliru dengan dalil menghindari syirik.

Ini yang yang sedari awal telah ditentang oleh Sayid Ahmad Bin Zaini Dahlan dalam karyanya tentang paham Wahabi, sebagai ulama yang hidup di masa awal perkembangan paham Wahabi ini, sebagai ulama serta keturunan Rasulullah yang dalam hidupnya selalu membela ajaran Aswaja yang beliau anggap sebagai paham yang mengajarkan Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.

Maka, melihat pandangan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, bahwa kebiasaan ziarah kubur para wali, istigatsah, tawasul, yasinan dan tahlilan tidak sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top