Ketika seseorang ditanya tentang seni Islam, dia mungkin menjawab dengan menunjuk mihrāb Masjid Cordoba di Spanyol (yang awalnya gereja kemudian jadi masjid dan sekarang menjadi gereja kembali). Atau, halaman Masjid Sultān Hassan di Kairo, atau kubah Masjid Hagia Sophia di Turki. Bisa saja, apabila si penanya hanya membaca pesan dari bangunan-bangunan tersebut.
Tentu saja seseorang juga dapat menunjukkan nukilan ayat Al-Quran atau iluminasinya di depan masjid Mamlūk atau Il-Kaniyyah, bukan berbicara tentang teks sucinya itu sendiri. Atau, pada tingkat terdalamnya, seseorang dapat menunjuk ke samā‘ sufi saat manusia berdiri secara langsung di hadapan Allah, sambil memuji keagungan nama-Nya melalui ruh, pikiran, dan tubuhnya.
Seni suci Islam, seperti seluruh seni yang benar-benar sakral, adalah realitas surgawi yang turun ke bumi. Dia merupakan kristalisasi ruh dan bentuk ajaran Islam dalam selubung kesempurnaan yang bukan berasal dari dunia perubahan dan kematian ini.
Dia merupakan gema dari dunia lain (al-ākhirah) dalam metrik eksistensi temporal tempat manusia hidup (al-dunyā).
Dengan demikian, menurut Al-Quran, ‘Sesungguhnya ākhirah itu lebih baik untukmu daripada dunia ini”. Maka, seni sakral lebih bernilai daripada seluruh sebab dan tujuan material maupun sosial yang altarnya telah dan terus dikorbankan serta dihancurkan hingga kini.
Tentu saja banyak yang menyangkal fungsi seni Islam seperti itu, dengan dalih islamisitas secara sederhana, juga penegasan bahwa seni seperti itu, betapapun indah, mudah dipahami, dan harmonis, kenyataannya tidak terlalu terkait dengan ruh atau bentuk ajaran Islam.
Seni Islam tradisional menyampaikan pesan spiritual dan esensial Islam melalui bahasa yang abadi. Justru karena keabadian dan kelugasan simbolismenya itulah, maka menjadi lebih efektif dan kurang problematis dibandingkan kebanyakan penjelasan teologis Islam.
Satu aspek yang paling berkaitan dengan pesan spiritual seni Islam saat ini adalah kemampuannya untuk menyampaikan esensi Islam melalui cara yang lebih langsung dan dapat dipahami dibandingkan penjelasan yang ilmiah semata.
Sebaris kaligrafi tradisional atau arabeska dapat berbicara lebih cakap tentang inteligensi dan kemuliaan yang menjadi karakter pesan Islam, dibandingkan karya apologis para modernis atau para aktivis.
Seni Islam bersifat tenang, mudah dipahami, terstruktur, dan berkarakter spiritual tinggi. Berbeda dengan jenis sastra populer tentang Islam saat ini, yang melukiskannya sebagai kekuatan bengis, irasional, dan fanatik (tentu tidak semuanya).
Karya-karya seni Islam terus mengalirkan barakah. Barakah sebagai karunia atau rahmat Allah yang terus mengalir di pembuluh-pembuluh alam semesta, sebagai akibat hubungan batinnya dengan spiritualitas Islam.
Orang muslim yang termodernkan sekali pun jauh di lubuk hatinya merasa damai dan gembira. Ia merasakan semacam ’ketenangan’ psikologis, ketika duduk di atas karpet tradisional, memandang sebaris kaligrafi, mendengarkan pembacaan sastra Islam klasik, atau sekadar tidak berbicara ketika mendengarkan tilawah Al-Qur’ān.
Rasa tenang juga mengalir saat beribadah di satu karya besar arsitektur Islam, yang menandai dunia Islam mulai dari Pasifik hingga Atlantik.
Meski keburukan dunia modern menyebar semakin luas di lingkungan Islam tradisional, rasa keagungan spiritual obyek-obyek seni Islam tersebut terus terpancar sebagai nilai yang telah menjadi milik masyarakat hanya selama satu atau dua generasi terdahulu.
Seluruh serangan kelompok modernis dan reformis baik secara langsung terhadap seni itu sendiri maupun untuk menghalangi kepentingannya tidaklah mampu menghancurkan makna spiritualnya yang karena berasal dari sumber batin ajaran Islam, maka sama kekalnya dengan kelangsungan ajaran tersebut di dunia ini secara historis.
Seseorang mungkin dapat memahami atau setidak-tidaknya berusaha mengetahui alasan-alasan logis tertentu mengapa sebagian besar ahli sejarah seni dari Barat tetap tidak tertarik pada pesan spiritual seni Islam atau gagal menganalisa makna batin, simbolisme, signifikansi metafisis dan kosmologis, serta hubungan organisnya dengan agama yang telah melahirkannya.
Jauh lebih sulit memahami argumen orang-orang muslim yang mengatasnamakan keadilan sosial untuk meremehkan seni Islam dan menempatkannya pada kategori barang mewah.
Kelompok-kelompok ini lupa bahwa meskipun mereka semua membenci dan memaki Barat namun tanpa disadari mereka mengekspresikan sesuatu yang sangat khas gagasan Barat modern ketika mereka memandang seni dan keindahan sebagai kemewahan.
Mereka lupa bahwa sikap mereka seperti itu tak mempengaruhi ajaran Islam yang memandang keindahan sebagai sifat Allah (salah satu Sifat Allah adalah Al-Jamil, Yang Maha Indah) serta mengajarkan bahwa Allah mencintai keindahan.
Mereka yang dipengaruhi mentalitas modern tersebut, apakah mereka kaum reformis, aktivis, ataukah fundamentalis (berbeda dari orang-orang muslim tradisional), menekankan dimensi syar‘i dari Islam dengan mengorbankan seluruh dimensi lainnya.
Kini, orang-orang Islam yang dapat menentang penekanan atas penerapan syariah tidak lebih banyak dibanding yang dapat menentang tesis bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang mempelajari dan mempraktikkan syariah.
Namun apabila syariah sebagai hukum yang mengatur perbuatan eksternal masyarakat manusia – dan juga ibadah-ibadah yang harus dilaksanakan manusia sebagai bagian dari kewajibannya pada Allah – hanya merupakan salah satu aspek dalam Islam, mengapa terjadi penekanan sepanjang sejarah Islam, bahkan sejak sejarah Islam yang paling awal, seperti pembacaan Al-Quran, pembangunan masjid-masjid indah, dan semua keindahan lain yang berhubungan dengan Allah dan ajaran-Nya?
Mengapa begini banyak usaha dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan masyarakat melalui berbagai cara, mulai dari seni penuturan sejarah dan sastra hingga seni penganyaman, yang kesemuanya berhubungan dengan seni?
Jawabannya cukup jelas. Terkecuali para wali Allah (sufi), yang diri mereka sendiri merupakan karya-karya seni, yang setiap saat dari kehidupannya dipenuhi ingatan kepada Allah dan dapat dikatakan bahwa mereka tidak ‘membutuhkan’ seni.
Karena manusia mempunyai lebih banyak waktu senggang di siang hari daripada waktu untuk menunaikan perintah syariah.
Perintah-perintah tersebut meliputi shalat, puasa, haji dan sebagainya; sedangkan aktivitas lainnya seperti bekerja mencari makan atau mengurus keluarga juga merupakan kewajiban religius selama dikerjakan sesuai dengan syariah.
Namun, sudah menjadi sifat manusia, bahwa manusia cenderung melupakan Allah dalam melakukan berbagai aktivitas mulai dari transaksi ekonomi sampai mengisi ‘waktu senggang’.
Seni Islam adalah sarana yang memungkinkan ruh Islam menembus segala macam dan bentuk aktivitas, merasuk ke seluruh kehidupan manusia untuk mengingatkannya akan kehadiran Allah ke mana pun dia melangkah pergi.
Bagi orang yang senantiasa ingat kepada Allah, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan realitas Allah (Al-haqā’iq).
Oleh karena itu, menghancurkan seni Islam berarti mengosongkan jiwa dan pikiran muslim dari kekayaan kandungan Islam. Kekosongan tersebut kemudian dengan cepat dipenuhi oleh kekacauan, kegaduhan, dan kebiasaan terburuk dari dunia modern sebagaimana yang dialami oleh banyak muslim sekarang.
Sebagai akibat hilangnya satu bagian dari jiwa mereka, mereka bukan saja mengalami kegagalan dan kerugian, namun mereka kehilangan keyakinan diri sama sekali.
Jiwa dan pikiran muslim tradisional dijiwai – dan selalu dijiwai oleh kekayaan khazanah Islam tradisional yang terus tersedia – pertama oleh sikap-sikap yang bersumber dari ayat Al-Quran, dan kedua dari peribahasa dan syair, kesan, dan bentuk-bentuk visual yang aspek-aspek keseluruhannya memantulkan etos Islam yang terdalam.
Ketika seorang muslim tradisional berbicara, maka syair-syair yang keluar dari bibirnya selalu menegaskan nilai-nilai Islam. Apabila dia menulis, maka kaligrafi yang dihasilkannya seringkali sangat indah.
Dia menghargai keindahan sebuah karpet yang bentuk dan warnanya melambangkan kesan Islam tentang surga. Jiwanya bener-benar merasakan pengaruh sejuknya ketenangan sebuah masjid atau rumah pribadi.
Sementara pendengarannya, yang terbiasa dengan keindahan surgawi dari tilāwah Al-Qur’ān, mampu mendengarkan dan membedakan antara musik yang keluar dari pantai eksistensi ’lain’ dan bunyi hiruk-pikuk yang keluar dari bagian-bagian terendah jiwa yang kini disebut musik.
Peradaban dan kebudayaan Islam tradisional seluruhnya benar-benar dijiwai oleh nilai-nilai spiritual Islam yang mengelilingi kaum muslim serta membantunya untuk hidup secara islami.
Pada abad yang lalu, gerakan kaum modernis dan kaum reformis di dunia Islam bekerja-sama – walaupun keduanya jelas bertentangan dalam urusa hukum dan teologi – untuk menghancurkan kebudayaan Islam. Mereka juga menciptakan kegersangan bagi jiwa muslim, sehingga selama beberapa dekade terjadi penyusupan manifestasi dunia industrial modern guna mempermudah penghapusan berbagai warisan artistik Islam.
Misalnya, pencemaran keindahan berbagai kota Islam, termasuk beberapa kota yang disucikan melalui perencanaan arsitektural dan perkotaan serta dekorasi interior yang terasing dari ruh Islam.
Dapat dipastikan hal itu merupakan akibat dari semakin tamaknya manusia dengan mendirikan berbagai perusahaan Barat untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bekerja sama dengan para kaki-tangan muslim mereka yang biasanya menambahkan sedikit sentuhan arsitektural khas Islam berupa lengkungan dan gerbang suatu bangunan supaya tampak Islami.
Namun, kecepatan proses ini – tanpa perlawanan yang berarti sampai sekarang – adalah akibat pengabaian terhadap signifikansi spiritual seni Islam oleh mereka yang berusaha memodernkan dunia Islam menurut model Barat maupun yang ingin ’memperbaharui’ dengan kembali ke Islam ’yang murni’ menurut dugaannya.
Namun, konsepsi Islam ’yang murni’ ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum muslim dan sangat menghancurkan kekuatan yang dapat menentang pengaruh kebudayaan asing yang melemahkan.
Terakhir, bagaimanapun juga, meski usaha menyingkirkan seni dan kebudayaan Islam tampak semakin memburuk di beberapa wilayah Islam, ada keinginan untuk menemukan kembali seni Islam.
Para arsitek muslim muda kini mulai tertarik kembali kepada prinsip-prinsip arsitektur, perencanaan kota, dan seni pertamanan Islam. Di beberapa negeri tertentu pun muncul kembali para pengrajin. Ada usaha yang terlihat jelas dari sekelompok orang untuk melindungi tradisi musik Islami.
Dalam jangka panjang, gerakan dengan sudut pandang keagamaan lebih efektif daripada gerakan politis, sosial, dan ekonomis yang pada awalnya bertujuan muluk namun jarang yang berhasil mewujudkan sesuatu yang otentik Islami karena tidak muncul dari dalam hati dan pikiran muslim yang mukmin.
Perhatian kepada seni Islam tradisional yang terbaharui ini hanya dapat meraih signifikansi utama dari sudut pandang agama Islam sendiri, mengingatkan bahwa seni terikat pada inti pesan Islam, dan tidak mungkin melepaskan diri darinya.
Seni suci Islam adalah pemberian dari langit yang penuh barakah. Seni ini pada hakikatnya merupakan karunia yang berasal dari rahmat Allah, Al-Rahmah.
Selain itu, ada fungsi lain yang kini dapat dimainkan oleh seni Islam tradisional, fungsi yang merupakan anugerah dan barakah yang besar apabila dipahami sepenuhnya. Di dunia yang penuh dengan tipu-muslihat dan kepalsuan, seni justru dapat memainkan peranan, bersama-sama dengan kebenaran doktrinal, untuk menentukan keislaman seluruh hal yang diklaim Islami.
Hal itu dapat dijadikan sebagai kriteria untuk menentukan apakah manifestasi atau gerakan sosial, kultural, bahkan politis, itu otentik islami atau hanya penggunaan simbol serta pesan Islam sebagai slogan/sarana untuk mencapai tujuan lain.
Sepanjang sejarah Islam dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi otentiknya, mulai arsitektur sampai seni busana, unsur keindahan ditekankan, dan tak terpisah.
Apakah mereka yang mengklaim berbicara atas nama Islam saat ini menciptakan bentuk keindahan? Dapatkah mereka melihat kualitas ketenangan, kedamaian, keselarasan, serta keseimbangan yang menjadi ciri khas agama Islam maupun manifestasi artistik dan kulturalnya?
Patut diingat bahwa pasukan tentara dunia Islam tradisional, mulai dari pasukan perang Badar sampai pasukan Saladin atau Janissari, memancarkan keagungan dan keindahan yang terpantul melalui pakaian, persenjataan, dan musik mereka.
Sekarang ini banyak orang membicarakan islamisasi pendidikan, sistem ekonomi, dan masyarakat, serta banyak yang melakukan berbagai usaha dengan gagah berani untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun, berbicara atas nama Islam, sebagaimana atas nama Tuhan bagi agama-agama lainnya, akan menghadapi tanggung jawab yang sangat berat. Apakah mereka yang ingin melaksanakan tugas tersebut telah menyadari sepenuhnya apa yang menentukan keislaman di luar ketentuan star‘i yang sudah jelas tentukan oleh Al-Quran dan Hadits?
Sekali lagi, seni Islam dalam pengertian universal dapat dijadikan kriteria ampuh untuk menilai sifat proses pencapaian tersebut, beserta hasil-hasilnya. Tiada yang otentik islami tanpa memiliki kualitas yang lahir dari spiritualitas Islam, dan menjelmakan dirinya dalam berbagai seni tradisional Islam di berbagai iklim, mulai dari tembikar hingga sastra dan musik.
Seni memberi tempat perlindungan dari prahara dunia modern; ia bertindak sebagai sumber kehidupan untuk menggairahkan kembali tubuh dan jiwa serta sebagai pendukung untuk merenungkan kembali hakikat tertinggi yang menuntun menuju Hakikat Terakhir itu sendiri.
Prinsip-prinsip seni ini, yang ada dalam dimensi batin ajaran Islam dan spiritualitasnya, memang dapat ditemukan kembali dan diterapkan oleh para seniman muslim yang tugasnya membuat dan menciptakan bentuk, obyek, serta manifestasi kontemporer seni Islam.
Sementara itu, seni ini pada hakikatnya merupakan saksi pengejawantahan Yang Mahaesa. Seni Islam memenuhi tujuan dan fungsinya sebagai penopang dan pembantu ajaran Al-Quran itu sendiri dengan bertindak sebagai pendukung untuk mencapai tujuan Islam.
Tujuan itu adalah kesadaran akan Yang Mahaesa melalui keindahan bentuk, warna, dan bunyi yang memikat sebagai teofani yang menjelmakan dirinya secara fisik dalam bentuk yang terbatas, namun intinya menuntun menuju Yang Tak Terhingga dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai Yang Maha Benar (Al-Haqq) lagi Maha Mulia (Al-Jalāl) serta Maha Indah (Al-Jamāl). Wallahu a‘lam. (SI)