Sedang Membaca
Meneladani Dakwah Kiai Mu’in Banyuwangi: Welas Asih dan Tidak Pernah Memungut Biaya
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Meneladani Dakwah Kiai Mu’in Banyuwangi: Welas Asih dan Tidak Pernah Memungut Biaya

Keterangan : Kiai Mu'in ketika mengisi acara di salah satu acara bersama alumni

Setelah viralnya seorang pendakwah Miftah Maulana yang merendahkan seorang penjual es teh pada sebuah acara pengajian di Jawa Tengah. Publik seakan dibuat sadar akan pentingnya mencari seorang penceramah yang muatan kajiannya lebih sarat dengan ilmu agama daripada hiburannya. Apalagi diketahui setelah kejadian, penceramah tersebut mematok tarif yang cukup tinggi untuk mengundangnya.

Dari kasus tersebut, perlulah kita sejenak menengok uswah (keteladanan) para ulama kita terdahulu yang ikhlas mengayomi umat tanpa pamrih. Adalah KH. Syamsul Mu’in Cholid yang memiliki nama asli Abdul Mu’in, merupakan sosok ulama’ dari Banyuwangi yang mendirikan Pondok Pesantren Darul Amien, Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran dan dikenal sebagai sosok ulama’ yang welas asih dan tidak pernah memungut biaya atau iuran kepada jama’ahnya.

Beliau yang kerap disapa Kiai Mu’in dilahirkan di desa Sambirejo, kecamatan Bangorejo, kabupaten Banyuwangi pada tanggal 13 Juni 1931. Beliau terlahir sebagai anak terakhir dari 6 bersaudara pasangan H. Abdul Jalil dan Hj. Ngadinem. Masa kecilnya dihabiskan dengan menimba ilmu agama kepada kedua orang tuanya, namun kebersamaan dengan ayahnya yang berprofesi sebagai petani tidaklah bertahan lama.

Di usianya yang menginjak 8 tahun, ayahnya berpulang ke rahmatullah. Salah seorang tetangganya yang bernama Mbah Abdus Syarif menaruh simpati kepadanya sehingga dalam masa thalabul ilmi, ia dibiayai oleh tetangganya tersebut. Setelah menamatkan Raudhatul Athfal (setara Taman Kanak-kanak), Abdul Mu’in melanjutkan pengembaraannya dengan menimba ilmu di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung dibawah asuhan KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur.

Sebagai salah satu santri generasi pertama, ia ditugasi oleh gurunya sebagai juru azan (muazin), dikarenakan Abdul Mu’in memiliki suara yang merdu. Di Blokagung ia mengkaji beberapa kitab ulama’ salaf yang salah satunya adalah Ihya’ Ulumuddin – nya Hujjatul Islam Imam Ghazali. Masih rampung satu juz, pada tahun 1953 beliau menikahi Nyai Rufiatun / Rofi’atul Bariroh binti  KH. Nur Hamid. Setelah akad nikah dilaksanakan, Abdul Mu’in pun kembali ke Blokagung guna meneruskan kajian kitab Ihya’ – nya.

Baca juga:  Eksploitasi Sumber Daya Alam dalam Perspektif Kiai Muhammad Al-Fayyadl

Di samping itu, Nyai Rufiatun sembari menunggu suaminya selesai nyantri memulai usaha produksi gula merah guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Pada tahun 1955, Abdul Mu’in telah menyelesaikan kajian kitab Ihya’ sebanyak 4 jilid dengan gurunya dan beliau izin pamit boyong. Guna memulai medan dakwahnya, Abdul Mu’in pertama kali membantu mengajar di pesantren milik mertuanya di dusun Mojosari, kecamatan Tegalsari yang kala itu santrinya didominasi berasal dari Tulungagung dan sekitarnya.[1]

Keterangan : Kiai Mu'in (berpeci putih) ketika membaur bersama masyarakat
Kiai Mu’in (berpeci putih) ketika membaur bersama masyarakat

Semangat dakwahnya semakin tertantang ketika masyarakat dari dusun Pekalongan, desa Yosomulyo memintanya agar tinggal dan mengajar ngaji di masjid pada dusun tersebut. Namun Kiai Mu’in beserta keluarganya setelah hijrah kurang senang dan dirundung kegundahan di dusun Pekalongan, dikarenakan bukannya beberapa preman, begal, dan bromocorah yang tinggal di dusun tersebut ikut mengaji bersamanya.[2] Malahan mereka meminta suwuk, azimat, dan ijazah kekebalan kepadanya.

Mendengar kegundahan tersebut, Pak Ma’ruf santri kalong asal dusun Gembolo dan beberapa santri kalong Kiai Mu’in lainnya menawarkan agar beliau hijrah dan mengajar ngaji pada sebuah masjid wakaf milik H. Hasan dan pesantren yang sudah lama mati pamornya di dusun Gembolo seusai kewafatan pengasuhnya (kala itu diasuh oleh Kiai Ilyas). Bersama beberapa santri kalongnya tersebut, akhirnya Kiai Mu’in beserta istri dan ketiga putranya kala itu pada tahun 1964 hijrah ke dusun Gembolo dan menempati kediaman milik pewakaf masjid, yakni H. Hasan beserta bekas kandang kuda yang letaknya tidak jauh dari situ.

Baca juga:  Juni dan Penggubah Puisi (1): Abdul Hadi WM; Penggubah, Penerjemah, Penafsir

Pada tanggal 6 Maret 1964 atau setahun sebelum meletusnya peristiwa G-30 S PKI ditengarai sebagai hari lahirnya pesantren Darul Amien. Dalam misi menyebarkan ajaran dakwahnya, Kiai Mu’in sampai jauh-jauh melanglang buana ke Semarang, Jawa Tengah dan dari kota inilah beliau membawa 20 santri yang hendak beliau gembleng secara keilmuan. Karena disiplin keilmuan yang ditekankan oleh beliau dalam pengajarannya bukanlah ilmu kanuragan melainkan ilmu tasawuf. Ketika beliau merintis pengajian tiap senin malam Selasa Legi bersama masyarakat sekitar, Kiai Mu’in tidak pernah menarik iuran kepada jama’ahnya.

Bahkan beliau sendiri yang lebih banyak mengeluarkan biaya dari uang pribadinya agar para jama’ah senang ikut mengaji bersamanya, sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Jan. Ia menceritakan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Kiai Mu’in menggunakan metode menjemput bola, yakni Pak Jan dengan mobil mikroletnya menjemput para jama’ah yang berasal dari desa sebelah dan sekitarnya sebelum pengajian rutinan senin malam selasa berlangsung dan tak tanggung-tanggung. Seusai acara pengajian selesai, tak lupa Kiai Mu’in menyuguhkan makanan ringan berupa gorengan dan minuman wedang kopi dan teh.[3]

Hal yang senada juga dituturkan oleh Pak Eko, warga desa Tanjungrejo, kecamatan Bangorejo yang dahulu pernah ikut rutinan senin malam selasa, bahwasannya Kiai Mu’in dalam berdakwah kepada masyarakat tidak pernah menarik biaya atau iuran sepeser pun kepada jama’ah[4]. Waba’du, gambaran keteladanan seperti inilah yang harusnya patut dicontoh oleh segelintir para pendakwah yang kiranya belakangan ini mematok tarif tinggi dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat. Agar ilmu yang disampaikan semakin bermanfaat dan berkah.

Baca juga:  Ulama Banjar (97): KH. Abdullah Madjerul

Pada akhirnya, Kiai Mu’in berpulang kehadirat Ilahi Robbi pada tanggal 24 Maret 2011 di usianya yang ke 76. Beliau meninggalkan seorang istri dan kedelapan putra – putrinya yang kini meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Darul Amien. Selain itu, Kiai Mu’in juga meninggalkan warisan jariyah berupa istighosah Dzikrus Syafa’ah hasil susunannya yang selesai di – imla’ – kan pada tanggal 20 Safar 1426 H / 01 April 2005 dari gurunya KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur melalui jalur mimpi. Istighosah tersebut yang rutinannya dilaksanakan secara bergilir tiap Ahad Pahing selalu menggema seantero kabupaten Banyuwangi dan dikenal sebagai istighosah putihan (dikarenakan kebanyakan jama’ah memakai busana serba putih). Wallahu a’lam.

[1] Penuturan KH. Damanhuri Sirojuddin / putra pertama Kiai Mu’in (2023).

[2] Penuturan Mbah Zainuddin, Alumni Sepuh Ponpes Darul Amien asal Semarang (2021).

[3] Penuturan Pak Jan, Supir Yang Senantiasa Berkhidmat Kepada Kiai Mu’in (Desember, 2024)

[4] Penuturan Pak Eko, Warga Desa Tanjungrejo (November, 2024).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
6
Senang
5
Terhibur
1
Terinspirasi
6
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top