Berita duka hari ini, Rabu, 9 September 2020, berseliweran di media sosial dan grup-grup WhatsApp. Tokoh Pendiri Kompas Gramedia yang juga Pemimpin Umum Harian Kompas, Bapak Jakob Oetama, wafat pukul 13:05 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading Jakarta, dalam usia 88 tahun. Pada Kamis, 10 September 2020, almarhum akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Secara pribadi, saya tak mengenal sosok almarhum Pak Jakob Oetama. Tetapi, sejak saya kenal dengan Pamusuk Eneste yang bekerja sebagai redaktur Penerbit Gramedia, saya kerap keluar—masuk Penerbit Gramedia, Grasindo, dan Penerbit Buku Kompas. Sekali-sekala, mampir juga di kantor Harian Kompas untuk mengambil honorarium tulisan. Dan belum pernah jumpa bersemuka dengan Pak Jakob.
Pada tahun 1989, ketika saya mengurus penerbitan kumpulan cerpen Ahmad Tohari, Senyum Karyamin (Gramedia, 1989), saya kerap bolak-balik ke Gedung Kompas-Gramedia di Lantai 6. Seperti lazimnya aturan keamanan memasuki gedung perkantoran, Satpam atau petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk, mengingatkan para tamu untuk mengisi buku tamu: nama, alamat, tujuan atau keperluan, dan siapa yang akan dijumpai, lalu menyerahkan KTP. Satpam akan memberi Kartu Tamu dan barulah tetamu diizinkan masuk litf menuju kantor yang hendak kita datangi. Hal yang tampaknya sepele, tetapi penting untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.
Boleh jadi, karena seringnya saya ke Gedung Kompas Gramedia, beberapa petugas keamanan di sana, mengenal saya atau setidak-tidaknya, saya mengenal beberapa di antara mereka meskipun mereka tidak berseragam satpam. Suatu saat, ketika saya sedang duduk di depan gerbang area parkir kompleks gedung itu, saya melihat sebuah mobil masuk area itu. Ia membuka kaca mobilnya dan menyapa satpam dan petugas parkir dengan takzim. Satpam dan petugas parkir, tidak kalah gesitnya, menjawab tegur-sapa itu sambil membungkuk dan tersenyum.
Peristiwa kecil itu jadi terasa istimewa, ketika mobil itu berhenti di depan pintu masuk gedung. Seseorang keluar. Langkahnya biasa saja. Tetapi, ia tiada pernah lepas mengganguk dan menebarkan senyum kepada orang-orang yang bertatap muka dengannya. Berdasarkan foto yang pernah saya lihat, saya tahu, itu Pak Jakob Oetama. Seketika saya berdiri, mengangguk dan melemparkan senyum kepadanya. Ia pun membalas simbol sapaan hormat itu dengan senyum. Itulah pertama kali saya jumpa secara fisik dengan Pak Jakob Oetama. Ada kesan yang khas tentang keramahtamahan dan pentingnya tegur-sapa kepada siapa pun, meski dalam bentuk senyum.
***
Entah dalam acara apa, saya datang lagi ke kompleks Kompas-Gramedia. Tujuannya ke Bentara Budaya yang ternyata berada di seberangnya. Di sana, saya jumpa lagi dengan satpam yang pernah saya kenal, tetapi –mohon maaf—saya lupa namanya.
“Sudah lama tak ke sini, ya Mas,” katanya. “Iya,” jawab saya, “Kalau ke sini, saya jika ada perlu saja. Perjalanannya melelahkan.”
Karena saya datang lebih awal dari jadwal acara, si Satpam mempersilakan saya duduk di kursi taman. Ia juga menawarkan minuman yang sudah tersedia di tempat acara.
Ketika saya tengah menikmati kopi sambil merokok, si Satpam tadi menghampiri, duduk di kursi di depan saya dan bertanya itu-ini sebagai basa-basi. Kami pun mengobrol tentang banyak hal.
Ternyata, Satpam itu berasal dari Gunung Kidul dan merasa sangat beruntung bekerja di grup Kompas-Gramedia. Kemudian saya bercerita ketika pertama kali jumpa dengan sang big bos. Saya katakan, Pak Jakob terkesan sederhana dan ramah pada karyawan.
“Ya, betul. Beliau orang luar biasa!” katanya. “Di kalangan kami, para satpam, Pak Jakob termasuk orang langka. Beliau sudah jadi mitos!”
“Maksudnya, gimana?” tanya saya.
“Begini,” ujarnya. Lalu, ia pun bercerita.
“Ketika saya jadi komandan keamanan, salah satu tugas saya adalah mendampingi dan membimbing satpam-satpam baru. Karena saya cukup lama bekerja di sini, saya mengenal hampir semua wartawan senior Kompas atau mereka yang bekerja di penerbit Gramedia atau Grasindo,” begitu ia memulai kisahnya.
Suatu hari, ketika saya bertugas di pintu masuk gedung Kompas, saya mendampingi satpam baru, asal Gunung Kidul juga. Siang itu, saya meninggalkan satpam baru itu sendirian, karena saya ada keperluan lain. Pada saat saya hendak kembali, dari kejauhan saya lihat, kawan satpam itu sedang berbincang dengan seseorang. Oh, ternyata Pak Jakob. Kawan Satpam itu menyodorkan buku tamu. Setelah diisi, ia menyerahkan Kartu Tamu dan Pak Jakob menerimanya begitu saja sambil mengucap terima kasih. Saya tak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Maka, setelah Pak Jakob masuk lift, buru-buru saya mendatangi satpam baru itu.
“ … (dia menyebut nama satpam baru itu). Ada apa?” tanya saya penasaran.
“Itu, tadi. Ada tamu. Dia nyelonong saja. Maka, saya minta dia mengisi buku tamu dan saya menyerahkan Kartu Tamu kepadanya.”
Sungguh. Seketika pucat wajah saya. Ingin sekali saya menampar satpam baru itu. Bagaimana mungkin dia sampai tidak tahu Pak Jakob. Maka, saya tanya.
“Kamu tahu, siapa tamu tadi itu?” Dia menggelengkan kepala, lalu katanya, “Emang ada apa?”
“Tobat, kamu ini bagaimana. Itu Pak Jakob Oetama, pemilik gedung ini, dan kita karyawannya! Lalu, kenapa kamu menyerahkan Kartu Tamu?”
“Aduh, saya tak tahu. Soalnya, beliau tidak pakai ID Card. Jadi saya tanya, ‘Bapak mau ke mana’ dia jawab, mau ke kantor Kompas. Saya pikir, dia tamu. Maka, saya minta beliau menyerahkan KTP, mengisi buku tamu dan memakai Kartu Tamu. Kan, begitu aturannya.”
Saya tak dapat berkata-kata lagi. Tapi pikiran sudah diliputi kecemasan. Dan benar saja, tidak lama setelah itu, saya menerima panggilan untuk menghadap Pak Jakob. Saya membayangkan, kiamat kecil akan terjadi. Dengan agak gemetar, saya ke ruang Pak Jakob. Beliau mempersilakan saya duduk. Tetapi saya tetap berdiri tegap dengan hati yang terus bergejolak.
“Kamu Komandan Satpam, ya?” Pak Jakob membuka pembicaraan.
“Siap!” jawab saya.
“Siapa nama teman satpam yang baru itu. Dia asalnya dari mana?”
Saya jawab dengan agak gemetar, sekaligus menjelaskan segala sesuatunya tentang dia.
“Begini,” kata Pak Jakob, “Dia menjalankan tugasnya dengan baik. Siapa pun yang tidak memakai ID Card, wajib diingatkan. Dan setiap tamu, wajib mengisi buku tamu dan memakai Kartu Tamu, supaya jelas, siapa karyawan, siapa tamu.”
Saya diam dan hati mulai terasa lapang.
“Kerja kamu bagus. Bilang kepada satpam baru itu, Pak Jakob menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Kalian sudah menjalankan tugas pengamanan dengan baik. Tolong ambilkan KTP saya.”
Saya terpana mendengar kata-kata Pak Jakob. Dia tak merasa tersinggung, malah mengucapkan terima kasih kepada kami, pegawai kecil.
***
Begitulah cerita Satpam tentang Pak Jakob Oetama. Bagi saya, peristiwa itu seperti kisah fantastik yang berada di antara fakta dan fiksi. Belakangan, ketika saya tanya kepada satpam-satpam yang lain tentang peristiwa itu, mereka menjawab, “Peristiwa itu sudah menjadi mitos, dan kami percaya pada mitos itu. Pak Jakob memang makhluk langka. Tokoh hebat yang rendah hati. Jika berjumpa dengan siapa pun, beliau akan menyapa dan menebarkan senyum, bahwa kita tak perlu kikir memberi senyum.”
Saya tak tahu, apakah peristiwa itu fakta atau fiksi. Tetapi, dari beberapa kali saya jumpa Pak Jakob Oetama dan caranya bertegur-sapa yang selalu mengesankan keakraban dan kesederhanaan, rasanya saya tak salah, jika saya meyakini, bahwa mitos itu adalah fakta!
Selamat jalan tokoh hebat yang sederhana dan rendah hati!
(Tulisan ini berdasarkan cerita seorang Satpam–mohon maaf, saya lupa namanya– yang bekerja di Gedung Kompas-Gramedia. Saya mengolahnya lagi dengan tambahan dialog yang saya bayangkan. Tetapi, peristiwa itu memang menjadi mitos para satpam di sana). Semoga memberi inspirasi tentang kesederhaan tokoh hebat yang rendah hati.