Saya masih ingat sewaktu menjadi maba (mahasiswa baru) di Fakultas Syari’ ah, UIN Imam Bonjol Padang. Pada pertemuan pertama, mata kuliah tarikh tasyri’, dosen yang mengajar, melontarkan sebuah pernyataan, “Shalat itu tidak wajib!” Semua mahasiswa di kelas kebingungan—bagaimana mungkin shalat tidak wajib? Ini UIN loh.
Di tengah kebingungan yang menyergap, sang dosen kembali melontarkan pernyataan yang bernada tanya, “Mana ayat Al-Qur’an yang menyatakan shalat wajib?” Masih tidak ada yang bisa menjawab. Setelah itu baru dia terangkan, bahwa dalam memahami ayat Al-Qur’an—dalam hal ini berkenaan dengan hukum—itu memiliki beberapa kaidah dan memiliki ilmu tersendiri.
Dalam persoalan shalat tadi misalnya. Shalat menjadi wajib bukan lantaran “hanya” karena ada diksi wajib—kataba/wajaba, dan sebagainya—dalam ayat. Perintah wajib juga timbul karena adanya kalimat amr’ (perintah) di dalamnya. Contohnya dalam [Qs. Al-Baqarah (2): 43] “wa aqiimussholata wa aatudzakaata warkau’ ma’arraaki’iin” (Dan laksanakanlah shalat tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk). Kata aqiimu (dirikanlah) di sana merupakan bentuk amr (perintah).
Sehingga dalam ushul, ulama—ushulliyyin sebutannya—terdapat kaedah al ashlu fil amri lil wujub di (pada dasarnya amr (perintah) itu menunjukkan sesuatu yang wajib). Tapi tidak semua amr’ itu menunjukkan kewajiban (perintah) mutlak. Terdapat banyak kaedah amr dalam hukum taklifi. Hal ini dibahasa dalam ilmu ushul fiqih. Al-Quran adalah kitab yang kaya, baik dari segi estetika maupun linguistiknya.
Ada dua pelajaran di sini. Pertama dalam menggali hukum dalam Al-Quran tidak bisa dilakukan secara serampangan. Nasehat indah keluar dari seorang Ustadz sekaligus dosen di UIN sewaktu beliau menjadi penceramah. Katanya “jika kalian turun ke masyarakat awam, jangan bicara soal furu’iyyah (permasalahan “cabang” dalam fiqih) karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Cukuplah perdebatan ini terjadi di kalangan intelektual semata”.
Saya tidak tahu bagaimana pembaca melihat pernyataan ini, tapi bagi saya ini adalah sebuah bentuk hati-hati agar tidak menimbulkan perpecahan. Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk berpikir dan membaca realitas sejauh memenuhi suatu syarat: orangnya kompatibel dalam hal tersebut. Tapi memang benar terdapat rambu-rambu tertentu dalam mendalami Al-Quran.
Anda tidak bisa mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan orang lain hanya karena membaca hadist “kullu bid’atin dhalallah”, tanpa melihat Hadist lain dan tanpa mempunyai ilmu yang cukup. Anda juga tidak bisa mengatakan bahwa Al-Quran melegitimasi superioritas laki-laki atas perempuan hanya karena membaca ayat ar-rijalu qawwamuuna ‘ala an-nisa. [Qs. An-Nisa (4):34]. Dan sama seperti ayat lainnya seperti fankihuu maa thaaba lakum minannisaai mastna wa tsulasa wa ruba’ [Qs. An-Nisa (4): 3] tentang poligami, atau ayat-ayat perang.
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an terbagi-bagi ke dalam beberapa kriteria. Ada ayat mutasyabihat (samar-samar) dan muhkamat (jelas), ada ayat yang bersifat ‘am (umum) dan khas (khusus), ada ayat muqaddam (didahulukan) dan mu’akhar (diakhirkan), ada ayat mujmal (tidak jelas maknanya) dan mubayyan (penjelas), ada ayat muthlaq dan muqayyad, ada ayat manthuq (tersurat) dan mafhum (tersirat), dan lain sebagainya. (Lihat: Imam As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an Jilid III (terjemahan: Muhammad Halabi))
Pelajaran yang kedua adalah hampir dipastikan tidak semua orang mampu memahami dan menggali hukum dalam Al-Qur’an. Ini tidak menunjukkan sifat eksklusif dari Al-Quran. Tapi, maksudnya tidak semua orang “mungkin” bisa memenuhi kriteria untuk itu. Seperti halnya tidak semua orang bisa memenuhi kriteria untuk menjadi seorang guru besar. Belum lagi kita berbicara soal kriteria orang-orang yang diperbolehkan menggali hukum secara langsung. Atau bagaimana pembagian hukum dalam Islam, antara syari’at, fiqih, qanun.
Inilah kenapa ulama membagi mukallaf (individu) ke dalam dua bentuk. Satu mujahid satu lagi muqallid—orang yang bertaqlid lantaran tidak punya ilmu pada suatu persoalan. Kerancuan dan pemaksaan dalam memahami Al-Quran sedangkan tidak punya kemampuan untuk itu hanya akan menimbulkan kekacauan. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang beragama secara ekstrem. (Lihat: Dr. Ali Jumu’ah, Menjawab Dakwah Kaum Salafi (terjemahan: Abdul Ghafur)).
Sedikit komentar: Ada hal unik dari kelompok ini. Yang mereka sasar adalah kelompok-kelompok yang berasal dari kalangan masyarakat awam, yang tidak tahu apa-apa dan mudah dipengaruhi. Atau orang-orang yang tidak pernah belajar agama secara mendalam sama sekali namun memiliki keausan spiritual dan cenderung fanatik.. Orang-orang seperti inilah yang coba mereka pengaruhi. Agama memang menjadi sesuatu yang ampuh dalam mempengaruhi psikologi massa
Pelajaran pentingnya adalah dituntut untuk berhati-hati dalam memahami Al-Quran. Silakan kerjakan dan ambil sesuai porsi masing-masing. Islam adalah ajaran rahmat bagi semesta alam. Jadi, mustahil Islam menyuruh berbuat kepada kerusakan dan perpecahan. Ayat Al-Qur’an sendiri banyak yang memerintahkan kepada berbuat dan menegakkan kebaikan. Kalau ada orang yang membuat kegaduhan dan menimbulkan perpecahan dengan membawa-bawa dalil, bisa jadi pemahamannya terhadap dalil yang bermasalah. Bukan dalil itu sendiri.