Sedang Membaca
Bom di Mesir, Setelah di Gereja, Kini di Masjid
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Bom di Mesir, Setelah di Gereja, Kini di Masjid

Menengok Miqyas al-Nil, Mukjizat Arsitektur Islam di Kairo 2

Mesir mungkin menjadi negara asing pertama yang diperkenalkan almarhun ayah kepada anak sulungnya ini. “Kamu harus ke Mesir, belajar di Al-Azhar!” Begitu kira-kira yang selalu diucapkannya saat saya berusia 5-7 tahun. 

Tapi seiring waktu, anjuran ke Mesir itu tak terdengar lagi, padahal saya menempuh jalur yang ideal untuk menuju ke sana: sekolah di pesantren sejak tingkat SMP hingga kuliah di jurusan Sastra Arab IAIN.
Mesir mulai memukau saat saya studi Sastra Arab. Perkembangan sastra berkembang pesat di negeri piramida ini menghasilkan peraih nobel sekelas Naguib Mahfouz. Bahkan saat dunia Islam dikuasai oleh rezim Ottoman, Sastra Arab dianggap jumud dan tidak lagi masuk peta. Film-film garapan sutradara Mesir juga asyik seperti Destiny garapan Youssef Chahine. Kehidupan sastra yang kuat itu menghasilkan masyarakat Mesir yang dewasa dan kosmopolit. Di kota itulah intelektualitas tokoh Indonesia seperti Gus Dur, Gus Mus, Quraish Shihab, dan banyak cendekiawan Muslim Indonesia lainnya ikut tumbuh dan berkembang. Selain Ummi Kultsum dan Naquib, Mesir juga punya Mohamed Salah, Ahmed Elmohamady, Sam Morsy, para pemain bola berkelas dunia. 

Santri Indonesia datang ke Mesir, seperti ditulis dengan bagus oleh M Nova Burhanuddin, seolah mengunjungi pesantren yang lebih tua tempat kiainya dulu belajar. Atau dalam uraiannya yang lain, “Warga NU belajar ke Al-Azhar itu seperti memperdalam kembali ke-NU-annya.”

Baca juga:  Bagaimana Ulama Terdahulu Menulis Sejarah Islam?

Kini, berita dari Mesir adalah bom. Setelah gereja, kini mesjid pun diserang membabi-buta dan ratusan warga Muslim menjadi korban kehilangan nyawa dan menderita luka. Tak ada lagi cerita sastra dari negeri Cleopatra itu. Duka, duka, dan duka.

Saya sungguh merindukan Mesir seperti yang digambarkan ayahanda saat kecil dulu. Negeri impian setiap santri yang ingin memperdalam ilmu dan mengasah batin, bukan tempat untuk mendangkalkan otak dan membekukan nuraninya. Semoga hanya ilmu-ilmu yang mencerahkan saja yang dibawa para santri asal Indonesia saat kelak kembali ke tanah air.

Mungkin surat dari Khalifah Umar bin Khattab yang legendaris itu perlu dikirimkan lagi agar aliran Sungai Nil  menyegarkan kembali warga Mesir. Dengan peradaban kuna yang begitu kokoh, Mesir adalah monumen pembelajaran hidup dan kehidupan yang tak akan pernah habis dijejaki. 

(Redaksi surat berikut ini hanya salah satu versi dan berbagai versi yang ada)

(من عمر أمير المؤمنين إلى النيل إن كنت تجري من عندك فلا حاجة لنا بك، وإن كنت تجري بفضل الله، فاللهم بارك لنا) 

“Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab untuk Sungai Nil. Jika engkau mengalir karena kemauanmu, maka kami tidak membutuhkanmu. Tetapi bila engkau mengalir karena kekuasaan Allah, maka (aliran airmu) akan Allah jadikan berkah bagi kami.”

Baca juga:  Pentingnya Memahami Peta Budaya: Belajar dari Piala Dunia Qatar

Wahai Nil, segarkankanlah saudara-saudara Mesir kami dengan aliran airmu. Agar mereka kembali bisa bercengkerama sambil minum teh susu dan berbagi puisi.

Bandung, 27 Nov 2017

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top