Sedang Membaca
Gus Dur, Sarwono, dan Laut Kita
Asep Salahudin
Penulis Kolom

Kolumnis, tinggal di Bandung

Gus Dur, Sarwono, dan Laut Kita

Suatu hari Gus Dur, dua tahun setelah terpilih menjadi Ketua Tanfidiyah PBNU,  berkunjung ke kantor Sudharmono dan mampir ke tempat kerja Sarwono Kusumaatmadja yang waktu itu menjabat Sekjen Golkar. Salah satu tema yang dipercakapkan adalah berkaitan dengan persoalan maritim yang diakui sebagai wilayah perairan Negara Kepulauan Republik Indonesia oleh dunia internasional dengan berlakunya UNCLOS (United Nations Convention of The Law of The Sea) pada tahun 1982.

Sarwono heran ternyata seorang kyai dengan latar belakang pesantren memiliki pengetahuan mendalam  tentang peradaban maritim yang disampaikannya secara fasih sejak nusantara klasik, masa kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir, markentilisme Eropa sampai bagaimana seharusnya Bangsa Indonesia memperlakukan laut dalam konteks negara kepulauan untuk penguatan keamanaan, ekonomi nelayan, pariwisita sampai urusan devisa.

Lebih heran lagi bahkan dianggapnya sekadar kelakar ketika diujung pertemuan Gus Dur meramal dirinya akan menjadi presiden dan, kata Gus Dur, “Pak Sarwono  yang akan saya tunjuk jadi menteri buat urus laut kita”. Kata Sarwono, “Saat itu saya sama sekali tak menghiraukan pernyataan Gus Dur”.

Kejadian itu berlangsung delapan belas tahun sebelum reformasi. Ketika Gus Dur menjadi Presiden keempat yang terpilih hanya –istilah Gus Dur– bermodalkan dengkul dan itu pun dengkulnya Amien Rais, Sarwono diangkat menjadi Menteri Eksplorasi Kelautan.  Sarwono pun bergegas menemui Presiden Abdurrahman Wahid. “Gus, saya kan sudah tidak mau jadi menteri. Lagian, saya sudah mau berangkat untuk studi di Amerika Serikat.”  

“Looh, gimana sih Antum. Kan saya sudah kasih tahu di Slipi tahun 1986 bahwa ketika saya jadi presiden, Antum saya jadikan menteri urusan laut,” jawab Gus Dur.  

Akhirnya seorang “sekuler” dipaksa harus percaya pada karamah sosok yang banyak meyakininya sebagai wali yang kebetulan sedang  berprofesi sebagai Presiden. Ketika Sarwono menanyakan bahwa yang dibacakan Megawati (Wakil Presiden RI) itu Kelautan bukan sebagai Kementerian tapi sebuah Badan, dengan enteng Gus Dur menjawab, “Mbak Mega salah baca kali.” Setelah dikonfirmasi kepada Megawati dan apa yang dibacakannya sahih, Gus Dur dengan mudah menjawab, “Kalau gitu pasti salah ketik di bagian Sekneg. Udah Pak Sarwono sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan.” Tatkala ditanyakan kantor dan tugas-tugasnya, jawab Gus Dur, “Kantornya cari sendiri,  tugas-tugasnya pokoknya mengerjakan apa yang tidak dikerjakan kementerian lain. Gitu aja kok repot.” Akhirnya keduanya tertawa dan bersalaman.

Baca juga:  Kekalahan dan Kemenangan Umat Islam Indonesia

Tentu saja hal pertama yang dilakukannya setelah menjadi menteri adalah mencari kantor. Kata Sarwono, “Saya ingat Arifin Panigoro, kawan saya memiliki banyak rumah yang tak terpakai. Saya pinjam saja salah satu rumah Arifin di Kebayoran Baru sebagai kantor Kementerian Eksplorasi Kelautan dan Perikanan. Saya sempat mencari pinjaman kursi lipat dan komputer kepada rekan-rekan saya, untuk keperluan operasional kantor”

Kenang Sarwono, “Suatu saat diplomat Tiongkok berkunjung ke kantor kementerian yang masih sederhana. Ia mengatakan duta besar  (dubes) Tiongkok akan berkunjung ke kantor kementerian kelautan untuk berdiskusi masalah kelautan. Saya bilang ke diplomat itu, silakan datang ke kantor saya asalkan dubes mau duduk di kursi lipat, lantas diplomat itu hanya tersenyum.Tiga hari kemudian datang satu truk dari Kedubes Tiongkok membawa perabotan, sofa dan meja, untuk dipinjamkan kepada kementerian kelautan. Keesokan harinya dubes Tiongkok datang ke kantor kami dan berujar: perasaan saya pernah lihat sofa dan meja ini.”  

Visi Kelautan Gus Dur

Gus Dur membentuk Kementerian Kelautan  agar laut menjadi sumber daya utama Indonesia. Parameter keberhasilan kementerian ini mencakup: satu,  meningkatnya konsumsi ikan per kapita dan;  kedua, meningkatnya volume ekspor produk perikanan. Gus Dur ingin maritim sebagai instrumen tegaknya kedaulatan Indonesia agar dihormati bangsa lain.

Sarwono memetakan tipologi kelautan dan kemaritiman. Kelautan bertemali  dengan sumber daya alam di laut seperti ikan atau lobster yang sekarang banyak dipercakapkan karena harganya yang mahal. Sementara kemaritiman konsepnya terhubung dengan aktivisme  yang ada di atas laut seperti perkapalan dan kegiatan pelabuhan.

Baca juga:  Keindahan Salat Malam Ramadan

Koridor Tengah

Cerita itu saya simak dari Sarwono langsung pada sebuah makan malam di daerah Ledeng bersama  Ipong Witono dan Wawan Gunawan menjelang persiapan kegiatan “Refleksi Akhir Tahun Indonesia Kita: Fenomena Intoleransi dan Radikalisme di Nusantara” yang diselenggarakan di tempatnya  pematung Nyoman Nuarta, Nu Art Gallery, Bandung.

Karena penasaran di rumah saya langsung  membuka buku memoar pemberiannya, “Menapak Koridor Tengah” dan mencari kisah di atas, ternyata hanya dibicarakan selintas saja. Kemungkinan besar karena kitab itu, seperti pengakuan Sarwono sendiri, akan dibikin secara berseri. 

Menurut saya memor itu cukup menarik. Gaya ungkapnya mengalir  dengan alur yang melompat-lompat dan agak susah ditebak ke mana arahnya, kisah-kisah manusia politik diceritakan dengan tidak membosankan dan pikiran-pikiran Sarwono sendiri yang detail tentang  negeri yang dikaguminya yang tak pernah tiba (belum) pada tujuan yang dicanangkannya. Kekaguman Sarwono dipantulkannya lewat kritik yang terukur, rasa ingin tahu yang mendalam dan intensi keterlibatannya pada pemerintahan secara khas. Sarwono cukup mampu menjaga jarak dengan rezim atau dalam frasanya, “menapak koridor tengah.” Istilah NU politik jalan tengah, wasathiyah.

Sarwono sendiri telah malang melintang di jagat politik Indonesia dalam rentang yang panjang. Periode 1971-1988  sebagai anggota DPR-RI dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar (1983-1988). Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), juga pernah menjabat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Periode 1999-2001 sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan pada Kabinet Persatuan Nasional dan terpilih dalam pemilu legislatif 2004 sebagai anggota DPD-RI dari DKI Jakarta. Sempat melamar sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta masa jabatan 2007-2012 melalui PDI Perjuangan. Ia menempati peringkat teratas dibandingkan enam bakal calon gubernur di partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu, tapi, akhirnya PDI Perjuangan menetapkan calon lain.

Baca juga:  Ketika Dakwah di TV Jadi Komoditas

Menurut saya sisi lain Memoar itu menjadi menarik karena tebaran humor cerdas Sarwono bahkan di tengah  rezim despotik Orde Baru. Sarwono seringkali menyelesaikan kebuntuan masalah dengan lelucon bahkan di hadapan orang-orang serius seperti Sudharmono dan LB Moerdani. 

Dalam sebuah rapat Golkar Pak Dhar (Sudharmono) mengatakan,  “Ini ada orang yang saya kenal. Baru dilepas dari Pulau Buru sebagai tahanan politik. Kok dapat kartu anggota Golkar (KAG)?” Sekuritinya gimana?” Hadirian diam karena apa yang diungkapkannya adalah sesuatu yang menyangkut dirinya  yang sedah diguncingkan sebagai “PKI”. Hanya Sarwono yang nyeletuk, “Kan, kenalan Pak Dhar. Ya Pastilah dapat KAG”. Seluruh ruangan diam dan tegang. Tapi Pak Dhar justru tertawa terbahak bahak sambil berkata pada Sarwono, “Nah ini, nyeletuk lagi Si Sarwono ini. Lucu banget”.

Slamet atau AMPI yang Keluar

Sikap humoris Sarwono ternyata tidak menghilangkan ketegasannya. Tatkala Slamet Effendi Yusuf direkrut menjadi anggota Golkar dan dimasukkan dalam Panitia Pengarah Rapimnas Golkar banyak kader  Golkar yag keberatan bahkan DPP AMPI berdemo dan menuntut Slamet dikeluarkan atau dirinya AMPI yang keluar dari Gokar.

Dengan enteng Sarwono menjawab, “Kalau memang ingin keluar dari Golkar, taruh kartu anggota Golkar kalian di meja saya. Gak ada orang yang menangis kalau kalian pergi. Kalau Slamet dikeluarkan, jutaan warga nahdiyyin akan kecewa dan marah sehingga akan banyak kehilangan suara dan potensi dukungan.”

Gus Dur dan Sarwono telah meretas rute menarik dalam politik kita: lautan humor  mencerahkan. Humor menjadi alat yang efektif untuk meneguhkan keyakinan bahwa setiap kekuasaan  selalu potensial disalahgunakan. Lewat lelucon segenap ironi inkonsistensi dan kemunafikan itu ditertawakan  agar kita sadar dan pada akhirnya menginsafi kekeliruan. Sayang di tangan Edhi Prabowo, humor itu ditenggelamkan dan kita sok serius mengurus laut dan ikan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
3
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top