Apa yang dipahami oleh mayoritas umat Islam tidak lain adalah relasi antara Islam dan agama lain, utamanya Kristen, adalah relasi konfrontatif. Tidak ada sisi baik lain yang dipandang dari relasi antara Islam-Kristen. Itu juga mendapat legitimasi dari perang yang melibatkan kedua agama tersebut(baca: perang Salib).
Implikasi logisnya ialah lahirnya pandangan bahwa kedua agama ini sejak dari embrio memang dijadwalkan untuk berkonflik. Sejujurnya, tidak hanya itu saja yang menjadi problematika ketika membincang ihwal dua agama tersebut. Ada berlembar-lembar hal yang kerap menjadi persoalan, mulai dari posisi Yesus dalam kacamata Kristen dan Islam, doktrin Trinitas, dan sebagainya.
Sejarah yang ditulis dan sampai kepada kita memperlihatkan bagaimana watak Islam yang menjadi oposan bagi pihak Kristen, begitu juga sebaliknya. Islam yang lahir belakangan diklaim sebagai agama yang hendak meluruskan(membatalkan?) agama Kristen. Dari relasi yang seperti itu, memang tidak terlihat adanya hubungan yang positif, semua petanda mengarah pada hal yang negatif. Padahal, jika kita cermat dan tekun membaca catatan historis sebagaimana Mun’im, bukan tidak mungkin justru akan mendapati hal yang berbeda. Demikianlah yang dilakukannya di buku ini dengan bertolak dari data-data sejarah.
Sejujurnya, kita—atau saya lebih tepatnya—tidak pernah menduga bahwa nonmuslim punya partisipasi yang besar pada masa pemerintahan Islam awal. Sebagaimana saya sebut di awal, kita mendudukan mereka sebagai musuh yang muhal mempunyai peran di tubuh Islam. Mun’im mencoba melihat data-data sejarah dan kemudian menuangkannya dalam bentuk yang relatif mudah dicerna. Pada masa tiga imperium Islam, utamanya pada masa dinasti Fatimiyah, orang-orang nonmuslim mendapat jumlah kursi yang membengkak. Sebuah porsi di mana tidak pernah ditemukan sebegitu besarnya pada masa sejarah Islam. Orang-orang nonmuslim banyak mendapat jabatan sebagai wazir ketimbang muslim Isma’ili sendiri.
Dengan melihat relasi atara umat muslim dan nonmuslim sebagaimana yang ditampilkan Mun’im, kita potensial lebih terbuka melihat umat agama lain. Cuplikan di atas hanyalah bagian kecil dan introduksi dari relasi antara umat muslim dan nonmuslim, atau kalau mau lebih spesifik antara Islam dan Kristen. Hari ini menjadi terasa aneh jika kita mempersoalkan bagaimana kepemimpinan nonmuslim di Indonesia, selain tidak punya pijakan teks yang kuat, juga ahistoris. Dalam kacamata Mun’im, sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal untuk isu yang satu ini. Terdapat banyak subbahasan yang lebih penting ketika hendak mendamaikan dua kutub yang selama ini dikonsepsikan bertolak belakang. Di mana semua pembahasan nanti mengerucut pada usaha untuk melakukan rekonsiliasi.
Selanjutnya, kita tidak bisa memungkiri bahwa terdapat banyak perbedaaan pandangan antara Islam dan Kristen. Perbedaan pandangan ini juga yang seringkali menyulut debat kusir yang tidak kunjung habis. Kendati demikian, penulis buku ini juga tidak sepakat jika kedua agama tersebut harus disamakan, atau dipaksa untuk sama. Memang benar bahwa di beberapa titik terdapat kesamaan, namun jika dilakukan pembacaan yang jauh akan ditemukan titik diferensial yang begitu subtil.
Akhirnya, langkah yang ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi antara keduanya tidak lain adalah dengan saling mendengar. Keragaman agama adalah hukum alam yang kita tidak punya kuasa untuk menolaknya. Diperlukan sebuah usaha untuk melihat diri sendiri(agama sendiri) dan juga yang lain. Ini hanya mungkin bisa dicapai jika kita mau berinteraksi, atau bahkan belajar dari yang lain(hal.247).
Hemat saya, penulis buku ini menyentuh pembahasan yang sensitif dan mencoba memberi terobosan baru. Umpama seorang yang datang dengan membawa lilin di tengah petang. Salah satu bahasan paling molek yang saya nikmati tidak lain adalah terkait denga doktrin Trinitas. Memang ini adalah salah satu entitas yang rumit dari teologi Kristen dan tidak cukup untuk dijabarkan di sini. Tema ini pula yang sering diserang oleh umat muslim. Mun’im dengan lugas mengatakan bahwa orang-orang Kristen menyembah satu Tuhan, bukan tiga. Ia berkali-kali melakukan klarifikasi bahwa Trinitas berbeda dengan Triteisme. Konsep tiga Tuhan itu Triteisme, bukan Trinitas. Orang-orang Kristen sendiri menghindari perbuatan yang disebut al-Qur’an sebagai syirik, menyembah tiga Tuhan tersebut.
Rujukan yang dipakai oleh penulis juga sangat heterogen. Sebagai akademisi yang memulai karirnya di belahan Timur sebelum akhirnye menyebarang ke Barat, ia mencoba menggali rujukan dari dua tradisi tersebut. Tidak perlu kaget jika kemudian ia banyak menyebut nama-nama yang pasti asing di telinga kita, sebagaimana banyaknya ia menyebut nama yang sudah lazim kita dengar. Hal tersebut membuktikan bahwa pijakan historis dari pandangan-pandangan penulisnya memang kuat. Serta kelihaiannya untuk mengulik sumber tidak hanya dari satu tradisi saja.
Konklusinya, buku ini memang pantas jika disebut sebagai kitab pedoman toleransi beragama. Kendati saya menyebut buku ini sebagai kitab, bukan berarti membentuk semacam imun yang kebal dan bebal dari kritik. Tetap saja buku ini bisa dikritisi, hanya saja dengan cara yang ilmiah juga, bukan dengan praduga dan dakwaan ‘penistaan agama’. Jika pembaca mampu memberikan data dan argumentasi tandingan maka mengkritisi buku ini bukanlah suatu dosa besar.
Satu diktum yang penting direnungi ialah toleransi dan tindakan menghargai agama lain hanya dicapai tatakala kita mempunyai pemahaman yang memadai terhadap agama lain. Kurang dan lebih, Mun’im mengungkapkan bahwa semakin luas pengetahuan seseorang, maka ia tidak akan malu-malu untuk merevisi pandangannya. Maka jangan pernah sungkan untuk merevisi pandangan kita!(**)
Judul Buku : Koeksistensi Islam-Kristen
Penulis : Mun’im Sirry
Penerbit : Suka Press
Tahun : 2022
Tebal : x + 291 hlm.
ISBN : 978-623-7816-66-9