Sedang Membaca
Pembangkit Hidup Tenaga Matahari
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Pembangkit Hidup Tenaga Matahari

Ahad hari keempat Agustus 2019 itu, jelas tak terbayangkan banyak orang akan menjadi penanda sejarah. Betapa tidak. Listrik sedari Banten hingga tengah Jawa, padam. Seorang kawan kami yang telah berusia lima puluh tahun bersaksi, bahwa sepanjang usianya, baru kali itulah kebutuhan akan listrik sedemikian rupa “agungnya”.

Kita abaikan soal sabotase politik tingkat tinggi, berikut pertemuan luarbiasa Presiden Jokowi dengan petinggi Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang anehnya dihadiri Badan Siber Sandi Negara. Apa pun hasil dari perbincangan mereka, tetap akan sulit dijangkau oleh para petani di tegalan sawahnya. Kami hanya ingin menyoroti sebuah perkara sederhana yang sayangnya tak bisa dianggap sepele.

Begini. Bagi saudara sebangsa Tanah Air sekalian yang tak merasakan hebatnya dampak keganjilan PLN, bersiaplah mengalami hidup pada masa purba dalam waktu mendatang. Hari itu, bahkan sampai tulisan ini kami rangkai, masih ada ratusan ribu orang yang sedang tepurbakan seketika adanya.

Akses listrik yang terputus, membuat orang-orang jadi mati gaya. Internet sirna seketika. Kami mendengar dan melihat langsung betapa kebutuhan akan komunikasi via sabak yang terkoneksi jaringan 4G, terasa vital. Mereka gelisah sebab saluran bicara jarak jauhnya terpampat.

Kita belum akan membahas perkara air yang tak bisa disedot dari dalam tanah ikhwal mesin jet pump yang kehilangan daya, dan minyak bumi yang tak lagi bisa mengalir dari nosel di stasiun pengisian bahan bakar. Jenis mineral yang kami sebut belakangan, kini menjadi jawara bagi masyarakat yang mengaku modern—sejak dua abad silam.

Selain ketakutan terselubung terpisah jarak, manusia zaman ini juga dihantui perasaan sepi bila terhempas dari jejaring dunia maya.

Padahal sebelum internet diudarakan, kami masih bisa merasakan nikmat tidak tahu apa-apa tentang kabar dunia. Tidak tahu banyak, tidak sama dengan bodoh bukan? Malah tahu lebih bisa jadi petaka jikalau tak berdampak pada kehidupan.

Sebaliknya, hidup manusia yang konon katanya telah memasuki era kampung dijital global, ternyata tak juga lebih membahagiakan. Banyak orang yang malah jadi keranjingan mengakses sebuah dunia semu yang jelas tak berpengaruh pada pertumbuhan jiwanya. Akal pikiran manusia Abad-21, melulu berisi semburat informasi belaka. Tak lebih.

Anda pasti akan kesulitan menerima cerita tentang kemampuan telepati manusia masa lalu—yang masih diwarisi oleh segelintir dari kita. Mereka sama sekali tak menggunakan, apalagi butuh satelit internet hanya untuk mengirim isyarat komunikasi ke pihak lain. Cukup mengandalkan tiupan angin, dan gelombang elektromagnetik yang diakses tanpa antena pemancar. Maka seseorang nun di sana akan segera tahu berita apa yang baru saja ia terima.

Sebenarnya, di daerah Nusa Tenggara masih ada sekelompok suku yang menggunakan cara nyaris serupa.

Bila hendak bertukar pesan dalam rentang jarak ribuan mil sekali pun, mereka cukup memasukkan secarik berita yang digulung dalam lembaran daun. Dimasukkan ke dalam songsong. Lalu ditiup ke arah di mana penerima pesan sedang berada. Bahkan untuk menentukan koordinat komunikan, mereka sama sekali tak membutuhkan peta dijital. Sementara orang zaman sekarang yang mengaku lebih beradab, sudah berbekal peta pun malah tersasar ke rumah janda. Padahal sudah diingatkan bolak-balik oleh Mbah Google.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Kafirun (Bagian 1)

Satu yang paling kentara secara kasat mata adalah, manusia masih terasa benar takut pada kegelapan. Merujuk ini, kita bisa mafhum kenapa ada ayat yang berbunyi, “minadzulumati ilannur: dari kegelapan menuju cahaya.” (QS Sapi Betina [2]: 257). Jika kita mau mengamati lingkungan hidup sekitar, maka jelaslah betapa seluruh makhluk hidup mendamba cahaya sebegitu rupa, sebagai gizi dan nutrisi bagi jiwa.

Berdasar amatan sekilas yang kami paparkan di atas, disadari atau tidak, ternyata kita sedang mengembangkan peradaban yang seolah maju, padahal malah berjalan mundur jauh ke belakang. Satu kesalahan kecil di PLTU Suralaya, kehidupan zaman purba pun terejawantah. Bayangkan, tanpa listrik, bahan bakar minyak bumi, dan internet, manusia sekarang nyaris tak bisa menggerakkan roda kehidupannya. Tumpul secara elan vital. Bagaimana bisa ini terjadi?

Menilik soal itu dengan lebih serius, kami seketika teringat pada Nikola Tesla. Ilmuwan jenius pada paruh akhir Abad-19.

Anda pernah menonton Lucy (2014)? Film ini bercerita tentang seorang perempuan (diperankan Scarlett Johansson) yang secara tidak sengaja mampu mengoptimalkan otaknya lebih dari kemampuan orang secara umum. Menurut film itu, kebanyakan manusia hanya menggunakan sepuluh persen dari daya otak yang sebenarnya. Kemampuan rata-rata ini terjadi dikarenakan manusia lebih berfokus pada apa yang “harus dimiliki” tinimbang mengaktifkan potensi Manusia Sempurna (Insan Kamil) sebagaimana yang dicanangkan Alquran dan kitab suci yang lain.

Lucy dalam film itu, sama dengan Tesla di kehidupan nyata. Ia adalah seorang jenius sejati yang namanya dikucilkan dari dunia pendidikan, lantaran menentang ketamakan penguasa dunia dan elit kapitalis. Ia merupakan insinyur listrik-mesin, fisikawan sekaligus futuris asal Serbia-Amerika yang lahir di Smiljan, Kroasia (9 Juli 1856).

Temuan Tesla dalam bidang kelistrikan berandil besar pada kehidupan kita sekarang. Teslalah yang sebenarnya pertama kali menemukan lampu (bukan Thomas A. Edison), radio, bahkan wireless yang selama ini menjadi sangat familiar dan memiliki banyak kegunaan.

Semua itu ia dapatkan dengan watak kerja keras yang hobi menganalisis alam. Ia hanya tidur dua jam sehari, dan sangat terbiasa untuk tidak terlelap. Pemikirannya cenderung lebih maju jika dibandingkan dengan zaman di mana ia hidup.

Baca juga:  Membincang Cerpen dari Pesantren

Pada 1893, Tesla mampu membuat transmisi radio. Dua tahun lebih awal dari Guglielmo Marconi (penemu radio yang kita tahu lewat bangku sekolah). 1895, ia telah membuat pembangkit listrik bertenaga air pertama di dunia. 1899, Tesla membuat radio kendali untuk kapal laut. Inilah dasar temuan dari teknologi wireless yang kita pakai sekarang. Radio, ponsel, GPS, wifi, adalah teknologi yang berlandaskan pada temuan Tesla.

1901, Tesla telah menemukan lampu plasma, berbahan lucutan gas (helium, neon, cenon, cypton) yang menggunakan plasma sebagai sumber cahaya. Singkat kata, lampu plasma dapat menyala tanpa kabel listrik atau batere. Ia juga menemukan listrik Alternating Current (AC), yakni aliran listrik dua arah yang kita gunakan lewat perantaraan kabel. Sementara Thomas Edison hanya menemukan listrik Direct Current (DC), yakni listrik satu arah yang digunakan pada aki atau batere.

Tesla mengaku mampu menangkap energi dasar dari bumi dan menyalurkan serta mengubahnya menjadi listrik untuk kehidupan manusia yang bisa disalurkan tanpa kabel. Sehingga ia mengatakan bahwa semua energi itu bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Bagi Tesla, alam adalah sumber energi yang tiada pernah habis.

Maka ia pun bertanya soal minyak bumi yang berasal dari fosil mahluk purbakala. Akibatnya, banyak dokumen Tesla yang disita oleh agen federal Amerika lantaran dianggap dapat mematikan bisnis energi yang telah berjalan hingga kini.

Tesla juga pernah membuat listrik dengan jutaan volt dari udara, dan seratus persen aman bagi manusia. Ia pernah menulis dalam artikel “Talking with Planets” bahwa tiba-tiba indranya berkembang lebih tajam daripada orang lain. Ia bisa merasakan getaran-getaran elektromagnetik bumi dan alam semesta. Itulah yang membuatnya menjadi terus terpicu untuk bereksperimen dalam menciptakan teknologi.

 

Negeri Energi Abadi

Tulisan ini juga kami alamatkan kepada Pemerintah, yang tak jua insyaf mewujudkan UUD Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa “kekayaan bumi Indonesia dikuasai negara & digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat”. Mestinya PLN hanya menjual listrik untuk kepentingan industri, bukan ke rumah rakyat. Sudah sebegitunya pun, ternyata energi yang dibutuhkan tak juga tercukupi.

Anehnya lagi, kita hidup di negeri dengan cadangan energi beragam yang tiada tandingan di belahan dunia lain. Satu yang paling luar biasa adalah energi bertenaga surya. Cahaya matahari yang melimpah ruah di sini, tak pernah sungguh benar digarap untuk kepentingan rakyat Indonesia. Tanpa perlu berdebat pun kita sama mafhum bahwa tubuh manusia membutuhkan pasokan dari Sang Hyang Manon (Surya).

Baca juga:  Renaisans Islam Kosmopolitan

Kita tak perlu membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Tapi pembangkit hidup bertenaga matahari. Secara warisan leluhur, kita mengenal nama Pa Ra Hyang. Kemudian dikenal menjadi parahyangan. Dikerdilkan menjadi semata nama kota, Bandung.

Apa itu Pa Ra Hyang? Menurut aturan bahasa, bisa kita terjemahkan dengan Api Besar yang Sejati. Matahari. Ra. Surya.

Ya, sejak dulu sekali, bangsa kita adalah pemuja (fans berat) matahari. Bukan penyembah. Sama seperti saudara muda kita di Jepang sana, atau Inca di Aztec. Sesuai dengan bentuk dasar ajaran Matahari sebagai  sumber cahaya, maka terdapat lima warna cahaya utama (pancawarna) yang menjadi landasan filosofi kehidupan penganut ajaran Dinasti Surya (Sunda).

Cahaya Putih di timur disebut Purwa,  tempat Hyang Iswara. Cahaya Merah di selatan disebut Daksina, tempat Hyang  Brahma. Cahaya Kuning di barat disebut  Pasima, tempat Hyang Mahadewa. Cahaya Hitam di utara disebut Utara,  tempat Hyang Wisnu. Segala Warna  Cahaya di pusat disebut Madya, tempat  Hyang Siwa.

Lima kualitas Cahaya tersebut  sesungguhnya merupakan nilai waktu dalam hitungan wuku. Masyarakat Jawi mengenal kaidah pawukon (ilmu tentang wuku) ini dalam kalender Pranatamangsa. Raden Ngabehi Yosodipuro (Ronggowarsito) menerangkan nama-nama wuku (zodiak versi astrologi Jawa) tersebut dalam serat Pustoko Rojo Purwo.

Matahari yang berulang kali kita dengar dan bahkan akui sebagai sumber kehidupan itu, rupanya belum juga dilirik sebagai sumber energi adiluhung bagi anak-anak manusia.

Sudah teramat banyak bukti bertebaran terkait bagaimana para leluhur meramu ajaran peradaban matahari yang sejatinya telah kita warisi hingga hari ini dan meresap jauh ke sanubari kita yang terdalam. Saran kami, sering-seringlah berkeliling negeri sendiri. Nanti Anda akan membuktikan apa yang sedang kami babarkan.

Energi matahari nan melimpah tersebut, menembus jauh ke perut bumi dan beralih bentuk menjadi panas (geothermal), lahar gunung api, thorium, plutonium, dan ini yang membingungkan: segoro—yang melingkungi dua per tiga Indonesia. Satu di antaranya, Laut Selatan (Kidul). Penyimpan anomali energi misterius yang belum lagi bisa dikenali alat buatan manusia kiwari. Masih ada beberapa sumber energi lain yang belum bisa kami sebutkan dalam catatan ini.

Akhir kata, jika jiwa manusia terus tumbuh menuju matahari, ia akan menjelma penerang jalan gelap yang kan disusuri manusia selanjutnya.

Pasasi demikian bisa kita amini sendiri manakala seorang manusia bijak bestari kembali pulang ke haribaan Pencipta. Langit bisa seketika bermuram durja. Lantas menangis tersedu sedan. Bumi pertiwi basah oleh hujan cinta semesta. Persis seperti yang terjadi di Makkah pada 6 Agustus 2019, manakala KH Maimoen Zubair undur diri dari panggung sandiwara manusia. (atk)

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top