Suatu ketika Syekh Sahal At-Tustari berjumpa dengan Iblis. Syekh Sahal mengetahui bahwa sosok di depannya adalah Iblis, dan Iblis pun tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan Syekh Sahal yang terkenal dengan keilmuannya. Terjadilah perbincangan dan perdebatan antar keduanya. Mereka saling melempar pertanyaan dan jawaban, hingga keduanya sama-sama dalam diam.
Puncaknya Iblis berkata kepada Syaikh Sahal: “Wahai Sahal, Allah Swt. berfirman:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ [الأعراف: 156]
“… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (QS. Al-A’raf: 156)
Makna yang ditunjukkan oleh ayat ini adalah umum. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa saya adalah termasuk bagian dari ‘segala sesuatu’ yang disebutkan oleh ayat ini, karena lafal kulla mengandung makna mencakup dan umum, sedangkan syai’in adalah bentuk lafal yang cakupan maknanya adalah sangat umum sekali, sehingga saya adalah termasuk yang mendapatkan bagian rahmat Allah Swt.”
Syaikh Sahal dibuat bingung dan diam dengan ucapan dan rangkaian kata Iblis. Pernyataan dan kepahamannya terhadap isi ayat ini sulit dibantahkan. Beliau pun berusaha keras menggali sanggahan atas ucapan Iblis, sehingga kemudian dengan yakin dan merasa lega mengungkapkan tanggapannya: “Wahai Iblis terlaknat! Allah Swt. membatasi rahmat-Nya dengan sifat-sifat tertentu yang akan mengerucutkan makna keumumannya, sehingga Allah Swt. berfirman:
فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ [الأعراف: 156]
“… maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 156)
Mendengar jawaban tersebut, Iblis tersenyum lalu berkata: “Demi Allah Swt. wahai Sahal! Aku tak menduga bahwa kaum sebodoh ini, tidak mengetahui sifat-sifat Allah Swt. Aku tak mengira hanya sampai di sini kamu tidak berkutik. Wahai Sahal! Ketahuilah bahwa terbatas adalah sifatmu, bukan sifat Allah Swt.”
Mendapati pernyataan Iblis yang demikian, Syekh Sahal terdiam dan hanya bisa menelan ludah. Beliau tidak mampu menemukan jawabannya dan tidak bisa mendatangkan pernyataan yang bisa mengalahkan ungkapan Iblis. Akhirnya beliau pun pergi dan meninggalkan Iblis yang juga pergi entah ke mana.
Syekh Sahal berkata: “Demi Allah Swt, saya tak mengetahui apa yang terjadi setelah kejadian itu, sungguh Allah Swt. tidak menjelaskan dan menegaskan dalam nash secara tegas yang menghilangkan kemusykilan ini. Oleh karenanya, menurut kami perkara ini dikembalikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Kami tidak akan membuat suatu ketetapan hukum, kecuali dengan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. pada Dzat-Nya, yang kita wajib meyakininya.”
Syekhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi mengomentari kisah ini dengan mengatakan: “Ketahuilah! Sungguh saya telah banyak meneliti dengan seksama cerita yang berkenaan dengan Iblis, sehingga saya berani mengatakan bahwa saya tidak pernah melihat orang yang lebih tegas argumentasinya dan lebih pandai di antara para ulama dari pada Iblis. Dengan menyaksikan kisah di atas, maka saya menjadi yakin bahwa Iblis adalah sangat berilmu, sehingga Iblis dapat dikatakan sebagai gurunya Syekh Sahal At-Tustari dalam hal ini.”
Kejadian sejenis juga pernah terjadi pada Kanjeng Syekh Abdul Qodir Al-Jilani. Suatu malam, setelah mendirikan ibadah malam seperti biasanya, Kanjeng Syaikh kedatangan sebuah cahaya yang terang. “Aku adalah tuhanmu dan sekarang telah aku halalkan hal-hal yang haram.” seru cahaya itu.
“Saya berlindung kepada Allah Swt. dari setan yang terkutuk. Enyahlah kau wahai makhluk terlaknat.” jawab Kanjeng Syekh.
Mendengar jawaban ini, wujud cahaya terang itu berubah menjadi kepulan asap dan kembali berseru: “Wahai Abdul Qodir. Engkau selamat dari berkat tingginya keilmuanmu terhadap hukum Allah Swt. dan pemahamanmu di dalamnya. Sungguh saya telah berhasil menyesatkan tujuh puluh orang ahli tarekat dengan cara seperti ini.”
Dari penggalan dua kisah di atas setidaknya dapat kita ketahui betapa cerdasnya tipu daya iblis. Bayangkan saja, ada 70 sufi yang telah berhasil dijerumuskannya. Mereka yang intensitas ibadahnya terlampau deras, merasa sudah menjadi ‘orang dekat’ tuhan, sehingga begitu ada bisikan iblis, mereka mau saja menurutinya. ‘Memang sudah sepantasnyalah aku mendapatkannya setelah sekian lama beribadah kepada-Nya’ begitu pikirnya. Iblis bermain sangat halus dalam menjerumuskan manusia.
Perasaan untuk tunduk sebagai makhluk yang butuh kepada Al-Khalik menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Pengetahuan dan keteguhan dalam berpegang pada tali syariat yang kuat menjadi bagian syaratnya. Semoga kita selalu dalam rahmat dan lindungan-Nya, sehingga terselamatkan dari tipu daya iblis yang dilaknat-Nya. Amin
Kisah ini disarikan dari kitab Al-Muntakhabat fi Rabithat Al-Qalbiyah wa Silat Al-Ruhiyah karya KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi, Futuhat Al-Makiyyah karya Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi pada bab seratus sembilan puluh tiga dan Al-Lujain Al-Dani fi Manaqib Al-Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji