Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup (Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 151).
Hukum Islam mencerminkan seperangkat norma Ilahi yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan social, pun juga hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Ciri khas hukum Islam, yakni berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa, menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani, serta memuliakan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.
Peran Ushul Fiqh dan Qawaid al-Fiqh
Berbicara ilmu ushul erat sekali dengan tujuan dan kegunaan dari pada ushul itu sendiri. Sebab tujuan Ushul Fiqh adalah untuk mengetahui dalil-dalil syara, baik yang menyangkut bidang aqidah, ibadah, muamalah, akhlak atau uqubah (hukum yang berkaitan dengan masalah pelanggaran dan kejahatan). Semua itu agar hukum-hukum Allah tersebut dipahami dan diamalkan. Dengan demikian Ushul Fiqh bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah terhadap peristiwa yang perlu penanganan hukum.
Sehingga para ulama ushul mengemukakan kegunaan ilmu Ushul Fiqh secara sistematis. Pertama, Ushul Fiqh memberikan gambaran jalan yang jelas kepada para mujtahid tentang bagaimana cara menggali hukum melalui metode-metode yang tersusun baik.
Kedua, Ushul Fiqh merupakan suatu jalan untuk memelihara agama dari penyalahgunaan dalil, karena dalam kajian Ushul Fiqh dibahas secara jelas dan mendalam bagaimana sesuatu hukum tentang berada dalam pengakuan syara, sekalipun hal tersebut bersifat ijtihadi.
Ketiga, melalui Ushul Fiqh dapat diketahui bagaimana cara imam mujtahid mempergunakan dalil-dalil yang ada dan bagaimana cara mereka menggali hukum Islam dari nash (teks) al-Quran, sunnah atau dalil-dalil lainnya. Hal ini terutama bagi orang-orang yang menganut suatu madzhab. Ushul Fiqh merupakan sesuatu yang penting bagi mereka untuk mengetahui bagaimana cara imam madzhab mereka meng-istinbath-kan hukum.
Keempat, Ushul Fiqh memberikan kepada para peminatnya kemampuan berpikir secara Fiqih dan menunjukan secara benar dalam jalan pikiran Fiqih, sehingga secara benar pula mereka memahami hukum-hukum yang digali dari nash tersebut. Di samping itu, orang yang mendalami Ushul Fiqh akan memiliki kemampuan mengistimbatkan hukum terhadap peristiwa yang dihadapinya.
Kelima, dengan penguasaan Ushul Fiqh persoalan –persoalan baru yang muncul, yakni belum ada ketentuan hukumnya oleh para ulama terdahulu dapat dipecahkan secara bijak, sehingga seluruh persoalan yang dihadapi ditentukan hukumnya sesuai dengan metode ushul yang ada (Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Islam, 147).
Ushul Fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu, di zaman Rasulullah belum dikenal. Sehingga ketika sahabat Rasulullah menjumpai problematika, semua problematika itu dikembalikan kepada Rasulullah (marja’ al-hukm) (Abdul Wahab Khalaf, Khulashah al-Tarikh al Tasri’ al- Islamy, (Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah,1978), 11). Berarti Nabi Muhammad dalam menetapkan hukum langsung merujuk pada nash al-Quran dan menjelaskan melalui sunnahnya. Beliau juga berijtihad, tetapi secara natural, artinya tanpa memerlukan manhaj dan teori-teori yang dijadikan sebagai pedoman dalam istimbath.
Pada era sahabat ilmu Ushul Fiqh juga belum terintrodusir. Baru setelah Rasul wafat, sahabat menduduki posisi sentral dalam bidang keagamaan dan intelektualitas. Di sisi lain, para sahabat juga mengembangkan sayap misi keislamannya hingga melampaui batas-batas geografis dan kawasan. Konsekuensinya Islam harus berdialog dengan peradaban lain dan persoalan-persoalan baru yang secara religi, budaya, etnis yang memiliki setting sosial heterogen. Dalam merespon problem hukum jika secara eksplisit tidak ada nash yang menjelaskan maka mereka melakukan ijtihad (Ahmad Hasan, The Early Development Of Islamic Jurisprudence, Terj. Agah Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1995), 238).
Ushul Fiqh pada masa sahabat memiliki arti penting dalam khazanah pemikiran hukum Islam. Pertama, sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasul dan sebagai saksi sejarah turunya wahyu, sehingga dianggap sebagai generasi yang memiliki otoritas untuk mengetahui maqasid Islam. Kedua, Era sahabat adalah masa berakhirnya tasyri. Sehingga para sahabat menyelesaikan persoalan dengan ijtihad sendiri. Saat inilah dianggap sebagai embrio munculnya ilmu Fiqih. Ketiga, karena sebagai rujukan, maka ide sahabat harus diamalkan kemudian secara evolutif menjadi konsep sunnah (Al-Syatibi, al-Muwafaqat IV, (Beirut: Matba’ah al-Maktabah al-Tijarah, t.th),74).
Dalam perkembangan setiap fatwa sahabat menjadi salah satu sumber hukum Islam–di samping qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah. Keempat, semua sahabat adalah baik (al-sahabat kulluhum udul). Kelima, ikhtilaf sahabat dalam memutuskan persoalan merupakan cermin berharga sebagai pijakan metodelogis bagi generasi berikutnya.
Maka cara-cara yang ditempuh para sahabat dalam menentukan hukum dalam suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dalam al-Quran atau sunnah ini, di zaman tabi’in semakin berkembang dan meluas.
Hal ini sesuai dengan permasalahan yang semakin banyak terjadi. Perkembangan itu dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab di Madinah, al-Qamah bin Waqas al-Laits, Ibrahim an-Nakha’i di Irak, dan Hasan al-Basri di Basra. Bagi mereka cara memandang permasalahan hukum diukur dengan kondisi sosial dan relasi nash, misalnya diukur dengan maslahat, qiyas.
Di samping itu muncul persoalan baru, periode ini muncul dua pendekatan. Pertama, bahwa yang berwenang menetapkan hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur’an adalah ahl al-bait. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk menetapkan dan menafsirkan perintah ilahi. Mereka disebut sebagai ahl as-sunah dan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas dan istihsan.
Kelompok pertama mengunakan dalil naqli dan merasa cukup dengan nash. Sedangkan kelompok kedua lebih banyak memakai rasio. Kedua pendekatan ini melahirkan dua arus pemikiran besar di kalangan sahabat yaitu mazhab Alawi dan Mazhab Umari (Muhammad Subhi Mahmashoni, Falsafah Tarikh al-Islam, Terj Ahmad Sudjono, (Bandung: Ma’arif, 1981), 34-35).
Era sahabat kecil dan tabi’in merupakan momentum terakhir yang mengantarkan munculnya mazhab-mazhab. Masa tabi’in ini muncul tiga kelompok ulama, yaitu madrasah al-Iraq, madrasah al-Qufah, dan madrasah al-Madinah. Penamaan ini menunjukan metode yang digunakan dalam menggali hukum.
Perkembangan yang selanjutnya, madrasah al-Iraq, madrasah al-Qufah dikenal dengan madrasah al-ra’yu, Sementara madrasah al-Madinah terkenal dengan madrasah al-Hadist. Akibatnya muncul polarisasi metodelogis yang disebut ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadits. Kelompok terakhir beranggapan bahwa, al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber otoritatif dan akal tak diberi peluang dalam proses beristimbat.
Sedang kelompok ahl al-ra’yu memandang sepanjang nash tidak menyebutkan secara eksplisif. Maka rasio memainkan peran. Kedua aliran ini memiliki karakter yang berlainan dalam menetapkan hokum (Abdul Wahab Khalaf, al-Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.th), 143-144).
Berdasarkan perangkat aliran-aliran tersebut, maka muncul persaingan tidak sehat, mereka semakin berani mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kelompoknya. Mereka juga menjadikan sesuatu sebagai hujjah padahal tidak memenuhi kualifikasi sebagai hujjah.
Realitas ini mengilhami munculnya gagasan tentang perlunya batasan-batasan mengenai dalil-dalil tersebut. Peraturan atau kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam beristinbath tersebut kemudian dikenal dengan ushul al-Fiqih. Sejak saat itulah Ushul Fiqh menjadi disiplin ilmu independen walaupun dalam bentuk sederhana.
Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah hukum yang wajib diketahui dan diperhatikan oleh setiap orang yang akan menafsirkan nash-nash tasyri’. Kaidah-kaidah itu dihasilkan dari hasil penelitian hukum yang diambil dari nash dan ‘illat-illat hukum itu, dan prinsip-prinsip syari’at yang umum serta jiwa dari syari’ah itu sendiri. Nyata kepada mereka bahwa syara’ bermaksud untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum.
Sebagian nash-nash itu diterapkan untuk melindungi hak-hak perorangan dan sebagian yang lain diterapkan untuk melindungi hak-hak masyarakat serta sebagian yang lain diterapka agar dapat melindungi hak perorangan dan masyarakat.
Ulama fiqh dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang sama nilainya dengan undang-undang internasional, walaupun nama dan istilahnya lain. Kaidah itu semua bertujuan untuk memelihara jiwa Islam dalam menetapkan hukum dan mewujudkan keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan memelihara keadaan darurat (Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 234). Oleh karena pentingnya kaidah-kaidah itu dan besar manfaatnya serta mendalam pengaruhnya dalam memberi petunjuk hukum-hukum furu’ bila kita memerlukan hujjah dan dalil serta mengistimbathkan hukum, maka para fuqaha dari segala mazhab memperhatikan sungguh-sungguh kaidah-kaidah itu. Mereka menyusun berbagai kitab-kitab yang menjadi suatu perbendaharaan berharga untuk kita.
Abdul Wahab Khalaf mengisyaratkan bahwa lapangan hukum begitu luas, Karena mencakup hukum furu’, karena itu perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang pada kaidah hukum, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistimbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Banyak para fuqaha’ berkata:
من رعي الاصول كان حقيقا بالوصول ومن رعي القواعد كان خليقا باءدراك المقاصد
Artinya: “Barangsiapa memelihara ushul, maka ia akan sampai pada maksud, barang siapa memelihara qawa’id selayaknya ia mencapai maksud.” (Asjmuni Abdul Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 17).
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah hukum adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta mencari bagaimana cara menyikapi kedua hal tersebut.
Sedang Al-Qarafi dalam Al-Furu’nya menulis bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah hukum, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah hukum tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya. Karena itu setiap fuqaha’ selalu mempunyai kaidah kulliyah sebagai cerminan dari hasil ijtihad furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.