Sedang Membaca
Memahami Pernyataan Gus Menteri
Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Memahami Pernyataan Gus Menteri

Whatsapp Image 2021 09 21 At 11.01.48

Sebenarnya, yang perlu diatur terkait potensi “kebisingan” suara itu bukan cuma penggunaan pengeras suara di masjid atau musala. Suara sound-system yang menggelegar memuntahkan musik dangdut atau lainnya dari hajatan di perkampungan juga perlu ada regulasinya. Bahkan suara berisik yang ditimbulkannya durasinya lebih lama; nyaris seharian, sejak subuh hingga tengah malam.

Satu lagi perlu diatur juga. Yang ini terkait ketertiban. Yaitu penyelenggaraan hajatan di jalan umum. Pagi-pagi antar anak sekolah lewat perkampungan. Tiba-tiba jalan dipalang, akses tertutup tenda raksasa; hajatan kawinan atau lainnya. Tak ada tulisan permintaan maaf. Mau tak mau balik arah cari akses jalan lain. Sambil menggerutu, waktu tersita, datang ke sekolah terlambat!

Dari ketiganya, yang pertama memang wilayahnya Kemenag. Jadi, secara pembidangan, sudah tepat kalau Kemenag mengaturnya lewat Surat Edaran. Saya tidak tahu kekuatan hukum Surat Edaran dibanding Surat Keputusan, Peraturan Menteri, atau lainnya. Intinya saja: Kemenag merasa perlu mengatur penggunaan pengeras suara di masjid atau musala.

Ada yang tanya bernada menggugat, “Ngapain Kemenag ngurus toa segala? Kayak gak ada hal lebih penting yang harus diurus saja!” Saya bantu jawab: Ketika Kemenag mengatur penggunaan pengeras suara, bukan berarti ia tidak mengatur dan mengurus persoalan-persoalan lain yang bisa jadi lebih penting. Lewat banyak Direktorat Jenderal yang ada di bawahnya, Kemenag banyak pun mengeluarkan regulasi. Jadi, kalau mau mengkritisi SE Menag tentang aturan penggunaan pengeras suara di masjid atau musola, ya fokus saja ke sana. Tidak usah mengait-ngaitkannya dengan kelangkaan minyak goreng, misalnya. Lagi pula, meski urusan minyak goreng penting, jelas itu bukan wilayah Kemenag untuk mengaturnya.

Mengapa penggunaan pengeras suara di masjid atau musala harus diatur? Kita ini, selain bertuhan, juga bertetangga. Menyeru Tuhan bahkan sejatinya tidak butuh pengeras suara. Tapi kita terima saja kenyataan bahwa pengeras suara sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masjid atau musala sekali pun. Lagi pula, nyatanya, pengeras suara lebih berfungsi sebagai pengingat, penyeru, pemanggil ummat untuk mendatangi-Nya di rumah-Nya; masjid atau musala. Hal demikian perlu diatur mengingat dua hal:

Baca juga:  Kita dan Tragedi 65 (7): Sejarah PKI dan Narasi Tunggal Orde Baru

Pertama, tidak semua warga sekitar masjid atau musala beragama Islam. Kedua, dalam hal semua warga sekitar beragama Islam pun, keadaan mereka bisa beragam; ada bayi yang baru lahir, ada yang lagi sakit, ada yang sedang pemulihan, ada yang baru sembuh, rupa-rupa. Dalam hal ini, SE Menag sama sekali tidak melarang memancarkan azan lewat pengeras suara. Ia hanya mengatur, terutama terkait level kekerasan suara yang dipancarkan pengeras suara. Namanya saja pengeras suara. Tentu suara yang dikeluarkannya keras. Nah, kekerasan suara itu yang diatur oleh SE Menag. Jadi, sangat tidak perlu keluar kata-kata serupa ini: “Hanya setan yang kepanasan ketika dengar suara azan.” Atau: “Hanya orang kapir yang gerah mendengar lantunan azan.”

Tapi mengapa urusan pengaturan volume pengeras suara ini menjadi sangat gaduh seperti yang sedang kita amati dan rasakan sekarang ini? Amatan saya, biang kegaduhan ini adalah “framing” yang entah dibikin oleh siapa bahwa Menag menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Kejadiannya begini: kala itu Gus Menag ditanya wartawan tentang SE Menag terkait pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid atau musala. Untuk menegaskan pentingnya pengaturan suara yang dapat menimbulkan kebisingan, Gus Menag membuat ilustrasi: Kita hidup di sebuah perumahan di mana rata-rata warganya memelihara anjing, lalu anjing-anjing itu menggonggong secara bersamaan; bersahutan. Tentu itu akan bising dan mengganggu kita yang tidak memelihara anjing. Hal seperti itu, tegas Gus Menag, harus diatur. Saya yakin, Gus Menag tidak sedang menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Beliau, seperti telah disinggung, sedang menegaskan pentingnya pengaturan suara apa saja yang potensial menimbulkan kebisingan.

Baca juga:  NU dan Konsep Kekuasaan

Runyamnya, urusan tidak berhenti di situ. Banyak dari ummat +62, entah dengar langsung pernyataan Gus Menag saat ditanya wartawan, entah hanya tergiring oleh apa yang saya sebut di atas sebagai “framing”; banyak dari mereka menuding Gus Menag menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Menyamakan azan dengan gonggongan anjing memang sebuah pelecehan, penghinaan atas syiar Islam, atas Islam itu sendiri. Umat mana pun tidak akan terima syiar agamanya disamakan dengan suara binatang, terlebih anjing.

Saya yakin sepenuh keyakinan, Gus Menag tidak berniat menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Seperti telah saya katakan, beliau hendak menegaskan pentingnya pengaturan segala hal yang potensial menimbulkan kebisingan. Kalau pun ada analogi di sana, yang dianalogikan bukan gonggongan dengan azan, tapi potensi kebisingannya. Keduanya, dalam kerangka hidup kewargaan, haruslah diatur. Di wawancara itu, Gus Menag juga menyinggung suara mobil truk. Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa beliau sedang menunjuk beberapa contoh sumber suara yang harus ada regulasinya karena dapat menimbulkan kebisingan yang mengganggu.

Namun begitu, saya mencatat beberapa hal: Pertama, Gus Menag memang tidak menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Tapi kala itu wartawan sedang bertanya kepada beliau tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid atau musala. Dalam hal ini tentu yang paling menonjol adalah suara azan. Kenapa Gus Menag tidak mengambil ilustrasi hal-hal yang berdasar wilayahnya diatur oleh Kemenag. Bahwa gonggongan para anjing di perumahan dan suara truk yang berisik itu perlu diatur, mungkin iya. Tapi itu yang mengatur bukan Kemenag, melainkan Kementerian lain yang relevan.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Alternatif "Kawruh Beja" di Tengah Pagebluk

Kedua, karena “core” pembicaraannya adalah azan yang dispeakerkan, maka agar semua penjelasan lanjutan tidak jauh dari “core” tersebut, kiranya lebih tepat kalau Gus Menag memberi ilustrasi tidak dengan gonggongan anjing atau suara mesin truk, tapi dengan hal-hal yang “sepadan” dengan azan pada agama-agama lain. Sebut saja azan merupakan instrumen Islam. Suara azan yang dikeraskan oleh pengeras suara berpotensi mengganggu umat non-Muslim. Dalam hal ini yang pas, menurut saya, Gus Menag mengilustrasikan kita hidup sebagai minoritas di tengah mayoritas non-Muslim. Agar ilustrasinya sejurus dengan “core” pembicaraan, yakni azan, maka larinya bukan ke gonggongan anjing. Apa? Ya apa saja yang dalam agama lain “setara” dengan azan yang kalau suaranya dikeraskan berpotensi mengganggu kita yang Muslim.

Kini bola sudah menggelinding. SE Menag telah terbit. Sejauh mana ia berlaku atau dilaksanakan, saya termasuk yang sangsi ia dipatuhi oleh ummat Islam. SE tinggal SE. Kebiasaan pun sudah terlanjur menjadi kebiasaan. Kita sudah terbiasa dengan azan, selawatan, dan tarhiman via pengeras suara tanpa pernah peduli berapa desibel volume yang memancar dari pengeras suara. Pun besok saat malam lebaran. Meski SE Menag mengatur bahwa takbiran dengan pengeras suara luar tidak boleh lewat jam 10 malam, saya tak yakin aturan itu dipatuhi warga. Lagi-lagi soal kebiasaan. Kebiasaan yang kemudian melahirkan “pemakluman-pemakluman”. Yang merasa terganggu pun mungkin pada akhirnya tunduk pada kebiasaan yang harus “dimaklumi” itu. Tentu saja seharusnya regulasi “berdiskusi” dengan tradisi, aturan “tukar pendapat” dengan kebiasaan. Hukum hadir dengan wajah bersahabat, adat-kebiasaan menyambut dengan semangat keterbukaan!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top