Sedang Membaca
Indonesia Tanpa Gus Dur
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Indonesia Tanpa Gus Dur

Manakala spirit revival merebak di Eropa pada pertengahan Abad-20 dan merambat ke Timur Tengahlantas menjalar ke Indonesia, pelahan muncul istilah Islam garis keras di negeri ini. Semacam pemahaman anti-tenggang rasa, anti-perbedaan, & cenderung ingin benar sendiri, hingga semua yang bukan mereka, salah total dalam kesesatan yang nyata. Tiba-tiba wajah dunia agama berubah jadi begitu.

Siapa yang meniupkan pemahaman salah kaprah itu? Wahabi takfiri (pengafiran) yang disusupi paham Khawarij, adalah barisan yang kami maksud.

Pelan tapi pasti, para penunggang unta itu menyusup ke negeri kita melalui teknik kawin-mawin. Mereka beranak-pinak begitu cepat bak berudu di musim hujan. Jadi perkara doktrinasi & penanaman adicita (ideologi) politik bukan perkara sulit. Tanpa harus repot membangun pondok pesantren, mereka bisa membuat para istrinya bercadar sampai kemudian menggunakan burqa hitam. Nah, kelanjutan nalar ini bisa Anda teruskan sendiri.

Namun penting untuk dicatat, tak semua perempuan bercadar bisa digolongkan dalam kelompok di atas.

Sistem berpikir kelompok ini lurus sekali, selaik nuklir yang harus meledak. Padahal sebagaimana ghalibnya jalan lurus (di jalan tol Cipali misalnya); bisa memunculkan kebosanan, kelelahan, dan pada akhirnya, abai pada sekitar. Bagi para penyintas jarak, analogi barusan pasti mudah dicerna.

Jalan lurus, kendati lurus, ternyata bisa menjebak siapa pun yang melintasinya. Jalan lurus, meskipun lurus, belum tentu satu-satunya jalan untuk sampai ke tujuan.

Sebelum terlanjur jauh menjadi orang lurus, tak ada salahnya merenung lagi barang sejenak. Kita masih punya pilihan lain. Kami menyebutnya Islam Jalan Kebenaran. Bagi mereka yang senang berpikir genit, pasti akan mengatakan, “Benar menurut kaidah siapa dulu? Benarmu apa benarku? Tahu dari mana kalau Anda berada di jalan yang benar?”

Baca juga:  Gus Dur dan Arswendo Atmowiloto

Maka kami akan menjawab pertanyaan genit itu secara santai saja:

Benar tak mungkin relatif. Benar sudah pasti bukan salah. Benar jelas tak berhubungan dengan kelurusan. Kebenaran tak diukur dari pelakunya, melainkan dari perbuatan yang ia lakukan (al-haqqu yu’rafu bi al-fi’ali la birrijali).

Karena Allah Mahabenar, maka kami lebih senang belajar pada-Nya tinimbang belajar pada orang-orang lurus. Laysal khata’ walakin laysa kadzalik: tidak salah tapi bukan itu.

Pribahasa bangsa Arab termaktub, kiranya bertautan dengan kisah berikut ini. Pada seorang santri alumnus Pondok Pesantren Al-Falah, dan al-Musaddadiyah, Abdul Mughni Shiddiq, Gus Dur membocorkan rahasia hidupnya.

“Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima mereka semua dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakkan hati mereka agar mendatangi saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya.

Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Alquran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Alquran.

Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama denganmu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, ya kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”

Baca juga:  Gus Dur, Ki Ageng Suryomentaram, dan Konsep Hidup Bahagia

Model acuan Gus Dur terkait jalan lurus dalam Islam itu, berjalin kelindan dengan ayat yang berbunyi, “Wa ani’buduni. Hadza shiratum mustaqim (dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS Yasin [36]: 61)

Kami sungguh yakin bahwa Gus Dur memang manusia pilihan Tuhan yang hanya dilahirkan seratus tahun sekali. Setiap zaman ada masanya. Setiap masa ada waktunya. Di antara zaman dan waktu itu, ada sosok manusia tertentu yang tampil sebagai pengampu.

Duh, Gus Dur, betapa tanpamu, kini bangsa Indonesia jadi bertambah repot selalu.

Enam puluh sembilan tahun masa bakti jabatan Gus Dur sebagai manusia, berlangsung indah. Rekam jejaknya tercatat dengan tinta emas. Gus Dur berhasil menjadi manusia Indonesia paripurna. Sempurna pikir, laku, dan sikap.

Gus Dur yang tak jemu membawa Merah Putih Indonesia dalam dadanya, termasuk orang yang paling gemar merepotkan diri wara-wiri mengurusi perkara umat yang sedang diayominya, bahkan sampai ke mancanegara.

Maka dari itu, wajar jika kemudian Gus Dur menjadi milik siapa saja. Ia dicintai semua umat beragama, termasuk yang enggan ber-Tuhan sekali pun. Gus Dur tak hanya menjelma menjadi Indonesia. Ia malah telah mengajari kita bagaimana caranya merahmati alam semesta dan seisinya.

Baca juga:  Ngaji kepada Gus Baha: Logika Nubuwwah

Hingga haul kesembilan Gus Dur pada Desember kali ini, bolehlah kiranya jika kami menyatakan bahwa beliau masih hidup. Ya, ini soal daya hidup dan daya mati Gus Dur. Hidup dan matinya dialamatkan demi memberkahi manusia lain. Seperti Bung Karno, Gus Dur yang lahir dari rahim Nahdliyin, kemudian naik ke pundak garuda, lalu terbang tinggi, tak kembali lagi.

Cara Gus Dur memerankan lakon hidupnya selama di dunia, adalah sinaran indah dari dampak monotheisme (tauhid) dalam beragamayang tak sumir jadi bendera, apatah lagi gegap gempita reuni para politisi jangkrik.

Tuhan yang kita sembah bukanlah sepenuhnya Dia. Sebab betapa pun, yang kita sembah bukanlah tuhan sebagaimana Dia mengetahui Diri-Nya, melainkan hanyalah imaji tentang Tuhan yang ada dalam pikiran kita, sehingga salah satu penggambaran mutlak tentang tuhan ialah bahwa Dia pada hakikat-Nya mustahil diketahui secara utuh.

Jadi untuk apa terus berbalahan bahkan berbunuhan untuk sesuatu yang takkan bisa didedahbahkan sampai ruang-waktu tak lagi ada. Hanya Tuhan yang berhak mengundang kita agar bisa menghampiri-Nya. Persis seperti yang dialami Kanjeng Nabi Muhammad Saw: munggah ke puncak Langit Tertinggi. []

Jember, 3 Desember 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top