Muhammad Ramli
Penulis Kolom

Ustaz di Pesantren AL-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Masjid dan Tiga Hal Kehilangan

Beberapa waktu lalu di negeri ini, terutama di kalangan Nahdliyin beredar joke (lelucon). Begini: “Jika Anda masuk ke sebuah masjid, kemudian keluar sandal Anda hilang, maka kemungkinan besar masjid itu  masjid NU.

Tetapi, kalau Anda masuk masjid, sandal tidak hilang, tetapi qunut yang hilang, dapat dipastikan itu adalah masjidnya Muhammadiyah. Namun jika Anda keluar, tiba-tiba masjidnya yang hilang, maka Anda harus berhati-hati.”

Masalah sandal ini, di pesantren merupakan permasalahan pelik, khususnya bagi santri baru, bayangkan saja, dalam sebulan seorang santri bisa kehilangan sandal hampir sepuluh kali. Banyaknya sandal yang hilang, bermacam pula kejadian yang melatar belakanginya. Mulai dari tertukar pada sesama teman, hanyut dibawa air hujan, hingga raib sebelah, terpelanting entah kemana.

Berbagai macam cara sudah dilakukan agar sandal tidak melayang saat pulang dari masjid. Mulai memberi tanda-tanda tertentu pada sandal; seperti memberi nama, memasang pita berwarna, memotong bagian belakang atau bagian depannya hingga membalik bagian atasnya ke bawah. Namun sendal tetap saja raib entah ke mana.

Santri baru tidak seperti santri yang sudah lama memondok, segi ketahanannya. Banyak di antara mereka yang pusing tujuh keliling, hingga menagis berderai air mata karena masalah sandal ini.

Bayangkan saja, gara-gara permasalahan sandal ini saja orang sudah tidak kerasan tinggal di pesantren dan sudah cukup alasan untuk berhenti. Itu baru satu permasalahan lho. Belum lagi masalah-malah yang lainnya. Seperti masalah peraturan, kedisiplinan, kegiatan yang padat, mengantri ketika mau mengambil makan hingga ketika mau buang air di WC dan, banyak lagi deh.

Baca juga:  Masjid Mantingan, Warisan Pejuangan Perempuan

Beberapa santri yang sudah lama memondok punya trik tersendiri untuk mengamankan sandal mereka. Sandal tidak diletakkan di dekat pasangannya ketika mau masuk ke masjid. Tetapi dipisahkan di tempat yang berbeda dan berjauhan. Setelah keluar dari masjid tinggal mengingat posisi sandal diletakkan sebelumnya, dan terbukti aman.

Adalah seorang santri di sebuah pesantren sedang dalam keadaan stres berat. Ketika penghuni pesantren sedang berkumpul di dalam masjid melaksanakan kegiatan hariannya, tanpa disadari, sang santri tadi merapikan dan menyusun semua sandal seluruh santri yang berada di dalam masjid.

Ketika bubar kegiatan, betapa terkejutnya mereka semua, melihat sandal-sandal itu disusun tidak berdasarkan pasangannya, tetapi sebelah-sebelah. Celakanya lagi sandal-sandal itu tidak disusun berdasarkan nomornya, tetapi bedasarkan warna yang sama.

Adapun perihal qunut yang hilang, mungkin lebih mudah solusinya daripada sandal yang hilang. Santri tinggal sujud sahwi, permasalah selesai. Lalu bagaimana jika yang hilang itu masjid. Wah, ini sepertinya lebih berat daripada kehilangan sandal. Ini masalah serius. Lalu siapa yang mau mencuri masjid, kalau mau dicuri mau diapakan juga. Mau dibikin rumah? Atau mau dibikin mal? Tak peduli mau dijadikan apa.

Tapi, katanya, mereka yang mau mencuri masjid itu adalah kelompok yang intoleran dan radikal. Mereka ini sudah mulai mengalih-fungsikan masjid menjadi markas mereka. Mereka mulai menularkan paham-paham radikal dan membelakangi sikap toleransi. Masjid yang merupakan rumah Allah dan rumah bersama umat Islam, mau diubah menjadi milik mereka.

Padahal, sejatinya masjid adalah rumah Allah, tidak ada yang boleh mengklaim bahwa masjid sepenuhnya hanya milik golongannya saja.

Alih-alih memakmurkan masjid, mereka sebenarnya tengah mengedepankan ego kelompok mereka saja. Tidak tanggung-tanggung, dari 100 masjid yang di survei dilingkungan kantor pemerintahan, 41 masjid telah terpapar radikalisme.

Baca juga:  Khutbah Jumat: Perilaku Korupsi dan Bahan Bakar Api Neraka

Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) merilis penelitian tentang 41 masjid yang terpapar radikalisme tersebut. Topik konten radikal ini yang paling banyak adalah menyangkut ujaran kebencian, yakni mencapai 73,6 persen. Setidaknya ada enam topik radikal yang paling populer yang ada di masjid-masjid tersebut.

Selain ujaran kebencian, topik-topik itu adalah sikap positif terhadap khilafah, sikap negatif terhadap minoritas, sikap negatif terhadap agama lain, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan. Sikap negatif terhadap agama lain menjadi konten radikal tertinggi nomor dua dengan persentase 21,17 persen. Adapun topik lain seperti sikap positif terhadap khilafah di angka 18,15 persen, sikap negatif terhadap minoritas 7,6 persen, kebencian pada minoritas 2,1 persen, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan 1,1.

Kalau sudah begini, kaum santri tidak hanya akan kehilangan sandal atau qunut saja. Tetapi juga terancam kehilangan masjid. Jangan sampai deh, bisa repot nanti.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top