Krisis kebudayaan telah lama melanda kehidupan bangsa Indonesia. Tanda-tanda tampak dalam merosotnya nilai dan pemujaan terhadap segala hal yang bersifat jasmani dan kebendaan. Oleh karena itu, kebudayaan harus dikembalikan pada tempatnya.
Itulah kata kunci dari pidato kebudayaan bertajuk “75 Tahun Abdul Hadi W.M: Mengeja Kembali Kebudayaan Indonesia”, Kamis (24/06/2021) oleh Prof Abdul Hadi W.M, budayawan sekaligus sastrawan sufistik.
Bagi penikmat sastra, nama Abdul Hadi W.M tentu sudah tidak asing lagi. Sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat ini dikenal dengan karya-karyanya yang bercirikan sastra sufistik.
Pada peringatan ulang tahunnya yang ke-75, Abdul Hadi memaparkan banyak hal tentang kebudayaan, kekuasaan, dan krisis. Pemilihan topik ini dilandaskan fakta terjadinya krisis budaya yang telah lama terjadi di Indonesia.
Di bagian pembuka pidato kebudayaan yang berlangsung selama sekitar dua jam tersebut, Abdul Hadi mengingatkan kembali konsep kebudayaan. Manusia berhubungan erat dengan kebudayaan, dan kebudayaan berhubungan pula dengan manusia itu sendiri. Kebudayaan tidak akan pernah ada tanpa adanya kelompok kehidupan manusia dalam suasana komunikatif.
Krisis kebudayaan telah lama melanda kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sepatutnya permasalahan ini dijadikan pekerjaan rumah untuk kita bahas dan dipecahkan bersama-sama.
Memang, persoalan kebudayaan tampak kurang menarik dan aktual jika dibanding persoalan politik dan ekonomi. Tetapi krisis-krisis yang muncul dalam persoalan kebudayaan sangat terkait dengan dengan krisis persoalan sosial, ekonomi, politik.
Dalam membahas krisis yang menyangkut dengan kebudayaan, terdapat beberapa kesukaran. Pertama, bekaitan dengan definisi kebudayaan yang aneka ragam, dan tidak sedikit pula berdasarkan definisi tersebut yang saling bertentangan.
Kedua, banyak masyarakat yang mendefinisikan kebudayaan dalam arti yang sempit, misalnya kebudayaan hanya sebatas seni dan adat tradisi.
Ketiga, kebiasaan untuk menyebut kelaziman apa saja yang berkembang dalam masyarakat sebagai ‘budaya’ walaupun kebiasaan tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebudayaan dan nilai-nilai yang ingin dikembangkan oleh suatu kebudayaan. Misalnya kebiasaan tersebut menyebut budaya kekerasan, budaya korupsi.
Umumnya masyarakat berpadangan bahwa budaya atau kebudayaan adalah sesuatu hal yang bersifat positif, bukan negatif. Budaya umumnya menjunjung tinggi nilai moralitas, spiritual, dan estetika.
Jika berbicara dalam konteks negara kita, persoalan kebudayaan jauh lebih rumit. Berbagai persoalan bisa timbul akibat persoalan kebudayaan jika kita biarkan tanpa pemecahan.
Sampai sekarang kita masih saja membuat polarisasi pembagian dua kelompok yang saling bertentangan, misalnya antara kebudayaan nasional dan daerah, kebudayaan moderen dan tradisional, kosmopolitanisme dan primordialisme, Islam dan nasionalis, bahkan antar etnisitas.
Pendekatan-pendekatan Kebudayaan
Kini bagaimana sepatutnya kita memberikan definisi terhadap kebudayaan? Pendekatan apa yang harus digunakan? Bagaimana hubungan budaya dalam hubungannya dengan negara dan kekuasaan.
Bila kita menggunakan pendekatan historis, filosofis, dan ideologis, kita dapat menentukan setidak-tidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan jika kita membicarakan hubungan kebudayaan dengan kekuasaan.
Pertama, kebudayaan tidak bisa tercipta secara orang perorangan, kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, misalnya golongan politik, suatu organisasi atau komunitas tertentu, dan komunitas agama tertentu. Kebudayaan harus berkaitan dengan masyarakat yang lebih luas. Konsep ini terkait dengan bangsa atau civil society.
Kedua, kebudayaan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengangkat martabat bangsa dengan menjunjung tinggi nilai kecerdasan, kebajikan, dan kreativitasnya. Kebudayaan bukanlah suatu hal atau kegiatan yang bisa dikomersialkan.
Kegiatan yang dikomersialkan dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya sedangkan kebudayaan dimaksud untuk meningkatkan martabat dan identitas suatu bangsa, meingkatkan nilai moralitas, spiritual, dan estetika kemanusiaanya.
Ketiga, kebudayaan mengumpamakan adanya keberakaran. Keberakaran ini menunjuk pada segala sesuatu yang berkaitan dengan pola dan gaya hidup, serta perilaku masyarakat yang berakar dalam pandangan hidup, yang telah berkembang lama dalam masyarakat bersangkutan dan telah menyatu dalam jiwa masyarakat tersebut.
Konsep ini, kebudayaan sama dengan tradisi, tetapi tradisi di sini bukanlah sebuah tradisi yang harus dipertentangkan dengan modernitas.
Abdul Hadi menjelaskan, kebudayaan merupakan jiwa peradaban. Jiwa suatu bangsa tidak dapat ditransfer begitu saja kepada bangsa lain, sebab budaya merupakan lanjutan dari proses histori yang telah ditanamkan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan. Tingkatan suatu kebudayaan dan peradaban dapat dilihat pada kecerdasan dan moralitas suatu bangsa.
Bangsa Indonesia selama ini belum bisa memecahklan permasalahan budaya, baik antara tradisi dan modern, nasional dengan daerah, nasionalis dengan Islam serta antar etnisitas, sebab Indonesia sampai saai ini masih terjadi kontradiktif akibat adanya primordial.
Selain itu, perlu adanya perhatian khusus dalam kebudayaan Indonesia terhadap budaya Asing yang berpengauh. Kita tidak bisa menerima begitu saja budaya dari luar tanpa adanya penyaringan baik buruk budaya itu.