Sedang Membaca
Seorang Tahanan Politik di Markas Komando

Peminat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta

Seorang Tahanan Politik di Markas Komando

Fb Img 1632811729196

Mako merupakan akronim dari Markas Komando, yaitu, markas para komandan dan petinggi Instalasi Rehabilitasi/Tempat Pemanfaatan (Inrehab/Tefaat) Buru sepanjang tahun 1969-1979. Akan tetapi ketika proyek “kemanusiaan” tersebut berakhir, dan berganti dengan proyek lain bernama transmigrasi, Mako tetap tinggal sebagai nama tempat paling ramai di antero lembah Waeapo.

Di sinilah tinggal seorang mantan tapol yang menolak dipulangkan ke Jawa, Dasipin namanya, umur 70-an tahun. Umumnya, para tapol yang menolak dipulangkan, memilih tinggal di Unit IV Savanajaya, sebagai unit khusus bagi mantan tapol yang berkeluarga.

Pak Dasipin tetap menetap di Mako, tepatnya di kawasan Pasar Mako, dan lebih tepat lagi di bekas markas komando yang pernah sangat berkuasa menentukan jalan hidupnya dan nasib ribuan tapol lainnya. Meski bangunan yang dulu berdiri kokoh dan ditakuti—kini sudah roboh, tiada sisa lagi.

Saya berkenalan dengan Pak Dasipin setelah diantar Pak Ahmad, guru Fisika di SMA 3 Waeapo. Pak Ahmad berasal dari Pangandaran, Jawa Barat, dibawa bertransmigrasi bersama tiga orang saudaranya oleh orang tua dan pamannya ketika berumur 6 tahun.

Pak Ahmad tampak sudah cukup akrab dengan Pak Dasipin. Di Waeapo, keluarga mantan tapol dan keluarga transmigrasi berbaur dengan baik.

Bagian depan rumah Pak Dasipin disewakan kepada penjual kartu telepon seluler. Tempat tinggalnya di rumah yang lebih besar—tapi masih terbengkalai—di bagian belakang. Begitu Pak Ahmad mengucap salam, terdengar suara lelaki dengan nada besar menyambut salam. Berbarengan dengan itu, pemilik suara muncul di ambang pintu dengan rambut ubanan berkilau ditimpa cahaya lampu. Pundaknya yang juga tersepuh cahaya, tampak kukuh.

“Ada tamu dari Jawa, Pak Ipin,” Pak Ahmad memperkenalkan saya.

Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri lebih lanjut.

Pak Dasipin tertawa dan mengangguk-angguk. Ia seperti sudah maklum maksud kedatangan saya sebab ia terbilang sering didatangi orang dengan tujuan sama: mendengar ia bercerita. Tentu bukan cerita sembarang cerita, tapi cerita yang sekaligus memuat kesaksian tentang apa yang sebenarnya terjadi dimasa lampau.

Ia mempersilahkan kami duduk di resbang, menghadap meja tua. Ia pun duduk sumringah di kursi di depan kami.

“Tadi saya mau pergi ke tempat anak di Jikumerasa, tapi batal. Ada kedutan di pelupuk mata saya pertanda ada tamu, eh, ternyata sampean,” katanya. Terdengar riang, seolah tak ada lagi beban yang tersisa.

Beban masa lalu itu mungkin tak sepenuhnya hilang, tapi dengan menyebut anak-anaknya, beban itu jadi jauh berkurang. Ia menyebutkan anak tertuanya tinggal di Jikumerasa, Namlea, sebagai pegawai negeri sipil. Anak lainnya ada yang bekerja di pertambangan dan bertani. Ia punya empat anak dengan perempuan asli Buru yang ia nikahi setelah memastikan istrinya di Jawa telah menikah lagi.

Dasipin berasal dari Batang, Jawa Tengah. Ia seorang petani dan simpatisan Pemuda Rakyat yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang terjadi di Jakarta hanya samar-samar ia dengar. Tahu-tahu pada awal Desember tahun yang sama, pada pukul 13.00 siang, ia ditangkap tentara dan digelandang ke Koramil Batang. Ia ditanya macam-macam yang tak bisa ia jawab sebab memang tidak tahu.

Akhirnya ia dikirim ke penjara Batang, mendekam sampai satu tahun. Tahun berikutnya ia dipindah ke Nusakambangan.

Pada 16 Agustus 1969—sehari sebelum HUT ke-24 RI— bersama 800 orang tahanan lain ia digiring ke Pelabuhan Sodong, Wijayapura, Nusa Kambangan. Lambung kapal ADRI XV sudah menunggu dan membawa mereka ke Pulau Buru.

Pramoedya yang termasuk dalam rombongan pertama itu, menulis dengan satir,“Kami berangkat….sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia.”

Ketika kalimat Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu itu saya kutipkan, Pak Dasipin tersenyum kecut.

“Ya, begitu. Hadiah kemerdekaan,” ulangnya ironis. “Dua kali kapal mati mesin entah di laut mana,” Pak Dasipin kemudian mengenang.

“Untung ada di antara kami yang ahli mesin. Mereka bahu-membahu membantu teknisi kapal. Eh, sampai di Laut Banda kapalnya malah rusak parah. Setelah sebelas hari berlayar dalam ketidakpastian, barulah kami sampai di Teluk Kayeli.”

Baca juga:  Nur Khalik Ridwan dari Banyuwangi, Setia di Dakwah Literasi

Suasana di Teluk Kayeli, digambarkan Pram dengan mencekam….

“Suling kapal menjerit-jerit tapi tak juga mencari dermaga untuk bersandar, kapal ini terlalu besar. Dua buah LC (landing craft) datang menjemput….Dari LC beberapa perwira naik ke kapal. Beberapa belas orang yang nampak kokoh diperintahkan turun lebih dahulu menyiapkan dapur.
Perwira tertinggi pun datang pula menjemput. Dengan satu LC tapol pilihan mempelopori mendarat di pulau ‘Hidup Baru’, dengan segerobak perlengkapan dapur.”

Bagi Pak Dasipin semua itu adalah sejarah, tidak saja bagi dirinya pribadi, para tapol, juga bangsa Indonesia. Akan tetapi apakah ini akan dianggap sebagai sejarah bagi bangsa ini, tanpa bermaksud berkecil hati, Dasipin sangsi. Ia merujuk hal-hal kecil yang ia saksikan dan alami sendiri di Waeapo.

Ia menyebut banyak nama unit di Waeapo yang sudah lama hilang atau diganti, sehingga generasi sekarang tidak lagi mengetahuinya. Misalnya, lokasi Mako tempat Pak Dasipin tinggal namanya adalah Unit I/Wanapura. Inilah unit pertama yang dibuka. Karena itu namanya terdiri dari dua kata: wana (hutan) dan pura (gerbang). Nama-nama unit memang banyak memakai awalan kata “wana” dalam bahasa Jawa kuno, mencerminkan lokasi babat alas. Sedangkan orang Buru mengawali nama tempat dengan kata “way” atau “wae”, sebab kehidupan mereka dekat dengan sungai.

Tapi kesejarahan itu tak selalu terbaca dewasa ini. “Makanya orang tak tahu Mako itu sebenarnya terletak di Wanapura. Padahal lebih dulu baraknya ada daripada markas komando. Tapi markas tetap lebih dikenal ketimbang barak; sejarah tetap milik komandan daripada tapol jelata,” Pak Dasipin membuat amsal.

Begitu pula Unit II/Wanareja, tempat Pramoedya Ananta Toer mula-mula ditempatkan, kini tidak lagi dikenal.

“Bahkan di mana lokasi Wanareja orang tak tahu,” kata Pak Dasipin yang mengaku kenal baik dengan Pram. Mereka sama-sama rombongan pertama, hanya beda unit. Pram di Unit II, dia di Unit I. Tapi waktu Pram diizinkan tinggal di Mako untuk menulis, ia punya kesempatan lagi bertemu Pram karena Mako terletak di Unit I.

“Begitu pula nama-nama jalan yang dulu diberi berdasar kesepakatan tapol, kini banyak hilang atau berganti,” Pak Dasipin mulai lagi.

Jl. Ahmad Yani, Brawijaya dan Jalan Ir. Tasi, kata dia, sudah tidak ada. Yang masih bertahan itu Jl. Flamboyan dan Jl. Gatot Soebroto.

Ketika saya tanya kenapa nama Ahmad Yani diberikan padahal Sang Jendral disebut tewas diculik orang komunis, Pak Dasipin terdiam sebentar. “Itu tidak benar!” katanya kemudian.

“Ada banyak versi dan kontroversi seputar peristiwa itu. Jika pun PKI dituduh sebagai dalang, apakah semua anggota dan simpatisannya terlibat? Tentu tidak. Yang bermain hanya orang atau kelompok tertentu, selebihnya tidak tahu. Nah, karena itu, kami ada dendam apa dengan Pak Yani? Kami tak suka bagaimana dengan Pak Gatot?”

“Tapi ada nama bunga yang romantis juga, ya, Pak?” saya sedikit mengalihkan.

“Iya, Flamboyan!” Ia tertawa. “Dulu ada juga nama mawar dan kembang sepatu untuk jalan lebih kecil…Itu perlu untuk mengurangi beban hidup. Kami biasa menamai kambing atau sapi dengan nama gadis-gadis cantik, sekedar hiburan. Juga bikin istilah yang lucu-lucu, padahal resikonya berat.

Misalnya Kordem, artinya Korps Demit, atau Corvee Demit. Corvee itu artinya tugas khusus atau mendesak. Pelaksananya ya, korps, orang-orang yang diberi tugas. Misalnya membawa kayu ke Namlea. Kerja tengah malam, diam-diam seperti demit, sebab itu mainan gelap Dan Tefaat…”

Dalam bukunya, Mars Noersmono ada menyinggung soal corvee ini lengkap dengan ilustrasi yang ia buat sendiri. Begitu pula Shindunata, dalam bukunya Dari Pulau Buru ke Venesia (2006), menyebut corvee tindak-lanjut dari “RDG” alias radiogram. RDG biasanya berupa “perintah yang harus cepat-cepat dijalankan.”

Radiogram untuk corvee, tulis Shindu, sering tak masuk akal. Misalnya, pernah Unit III diminta setor 999 kubik papan dan 80 ton padi untuk komandan unitnya. Unit XVIII pernah dikerahkan membangun semacam “Bina Ria”, taman dengan kolam dan wisma. Anggota Unit III pernah diminta corvee membangun dua gereja dalam waktu sehari semalam.

Baca juga:  Ke(tak)sederhanaan Kiai Husein

Dalam situasi sulit itu, para tapol punya cara menghibur diri. Untuk dua gereja yang selesai dibangun “seharlam” (istilah Pram untuk waktu 24 jam), mereka sepakat merasa sakti persis Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam semalam. Sedangkan untuk “Bina Ria” yang dinikmati para komandan, mereka namai “Hotel Krusek”. Dalam bahasa Jawa artinya lebih kurang tempat esek-esek.

“Siapa lagi yang bilang kami sakti kalau tidak kami sendiri?” sambut Pak Dasipin terpingkal, ketika saya kutipkan liputan Shindunata yang terbit di Kompas tahun 1978 itu.

“Bayangkan, bagaimana tidak sakti,” ia mulai lagi. “Di penjara bertahun-tahun dan dipaksa mengaku ini-itu, kami tetap kuat. Dikirim dalam lambung kapal bocor kami tetap tiba selamat. Dipaksa kerja tanpa alat memadai, bisa buka sawah dan membangun jalan.”

Menurut Pak Dasipin, awal membuka hutan menjadi lahan pertanian, para tapol hanya mengandalkan sabit dan pacul yang karat. Selebihnya menggunakan tangan. Mencabut lalang, mematahkan ranting pohon, membongkar akar-akar. Toh dengan semangat kebersamaan mereka berhasil membuka jalan penghubung antar unit atau dikenal dengan jalan Transkop. Termasuk membuka jalan raya Mako-Namlea sepanjang lebih 40 km.

Ketika panen mulai berhasil, para tapol sengaja menjual beras secara murah kepada penduduk lokal. Itu bentuk kepedulian dan keinginan tapol untuk hidup bermasyarakat. Bahkan banyak di antara penduduk yang semula hanya mengandalkan sagu dan hasil ladang, minta diajari bercocok tanam, khususnya padi.

Para tapol juga tidak menisbikan tradisi dan tata cara masyarakat Buru. Misalnya, masyarakat Buru banyak menganut kepercayaan Pamali. Mereka sangat menghormati alam karena dianggap berhubungan dengan roh nenek moyang. Mereka memiliki batu dan kayu pemujaan dalam sebuah bangunan kecil yang disebut “Rumah Pamali”. Bangunan ini dibuat di halaman depan rumah, atau tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti tepian sungai. Selain tempat ritual, bangunan tersebut juga berfungsi sebagai tempat menyimpan pusaka dan barang-barang leluhur.
Para tapol menghormati benda-benda dan prosesi ritual di rumah pamali.

Pernah kata Dasipin, kawasan Unit II dan sebagian Unit I dilanda banjir besar karena luapan Sungai Waeapo. Masyarakat lokal dan tapol kemudian mengadakan ritual tolak bala. Mereka berdoa bersama-sama di rumah pamali. Setelah itu mereka membuat rumah pamali yang cukup besar di tepi sungai, dihiasi perahu-perahu yang digantung, dan sampai sekarang bangunan itu tetap lestari.

Terkait sejarah kecil (petite historis), Pak Dasipin kembali merujuk nama-nama yang hilang atau terlupa. Ia mengatakan bahwa banyak orang tidak tahu kenapa nama tiga unit terakhir menggunakan huruf, bukan angka. Unit yang dia maksud adalah Unit R, S dan T.

“Itu ada kepanjangan dan artinya. Yakni, Ronggolawe, Sawunggaling dan Trunojoyo,” kata Pak Dasipin.”Masing-masing merujuk asal kesatuan petugas yang mengawal unit. Dalam sejarah, nama-nama itu juga berasal dari sosok pahlawan tapi sering dianggap sebaliknya.”

Ya, kita tentu tahu kisah Ronggolawe yang ikut mendirikan Majapahit, tapi lalu dianggap membangkang kepada kerajaan. Sawunggaling sering dianggap “Pitung”-nya Surabaya. Sedangkan Trunojoyo seorang pangeran Madura yang berperang melawan Amangkurat dari Kraton Mataram, tempat dulu ia pernah diasuh tinggal. Bagi sebagian orang ia pahlawan, sebagian menganggapnya pecundang. Intinya, sosok ketiga tokoh tersebut tidak gampang dinilai secara hitam putih.

Setelah mengingat kisah-kisah tersebut, saya mencoba membuat analogi,“Apakah bisa berarti dengan nama-nama itu, Komandan Tefaat mulai menyadari siapa tapol sebenarnya, Pak?”

Pak Dasipin manggut-manggut. “Bisa jadi, mengingat unit-unit bertanda huruf itu dibangun terakhir, ketika padi sudah panen dan jalan sudah terbuka. Bisa pula kebetulan. Tapi saya percaya itu skenario Tuhan.”

Bagaimanapun sederhananya, hal-hal yang dikemukakan Pak Dasipin ini penting untuk diketahui masyarakat luas. Supaya masyarakat Buru khususnya dan Indonesia umumnya mendapat informasi dan sejarah yang berimbang. Saat ini ada ketimpangan pengetahuan orang tentang Waeapo. Bagi orang Indonesia umumnya, Waeapo identik dengan para tapol. Sementara bagi orang Buru sendiri, Waeapo identik dengan orang-orang trans. Padahal keduanya saling bersinergi.

Baca juga:  Pujian Gus Dur untuk Gus Sholah

“Tapi kenapa orang di luar Buru tidak mempelajari juga Waeapo dari sisi transmigrasi? Kenapa Buru hanya dipromosikan secara tunggal dari sisi tapol?” ia menatap saya. “Dan kita di Buru kenapa tidak mempelajari Waeapo dari sisi tapol juga?” tanya Pak Dasipin, seolah ditujukan kepada Pak Ahmad.

”Kita seolah melupakan sejarah Waeapo yang dibuka para tapol. Orang kita cenderung merujuk transmigrasi sebagai ikon Waeapo yang dianggap manusiawi dan berorientasi pembangunan. Sedangkan Inrehab dengan penghuni para tapol dianggap sebagai tempat buangan, dan terkait ideologi terlarang. Kenapa tidak dipelajari juga, ya, Pak Ahmad?” Dan benar, Pak Dasipin bertanya kepada guru muda lulusan sebuah universitas di Makassar itu.

“Seharusnya dipelajari, Pak Ipin. Tapi bahkan generasi saya saja hanya samar-samar tahu cerita tentang tapol, apalagi generasi sekarang,” aku Pak Ahmad jujur.

Sebagai tetua di Mako, Pak Dasipin juga menyayangkan dirinya tak pernah dilibatkan oleh desa untuk berbagai hal. Padahal ia mengetahui banyak sejarah tempat itu, termasuk tentang pasar dan masjid Raya Assalamah. Dia termasuk dulu yang mengusulkan mendirikan pasar Mako di lahan yang ikut ia buka. Bahkan nama masjid besar di Mako sekarang dialah yang memberi.

Itulah sebabnya, ketika suatu hari ada petugas agraria mengukur tanah masjid untuk membaginya bagi keperluan lain, Dasipin langsung mencegat petugas yang sedang mengukur lahan.

“Tidak bisa! Dari sejak kami membuka hutan di sini, tanah seluas ini semuanya diperuntukkan buat masjid,” Dasipin menirukan penolakannya. Petugas desa dan kecamatan yang memerintahkan petugas agraria tersebut akhirnya membatalkan rencana.

“Meskipun saya jarang ke masjid, tapi saya selalu bersyukur melihat masjid kian hari kian ramai dan bangunannya makin bagus. Dan satu lagi, meskipun saya tak dilibatkan dalam kegiatan desa, saya sudah cukup senang karena nama Assalamah yang saya berikan masih dipertahankan hingga kini.”

Di tengah cerita yang terus mengalir, datanglah seteko teh panas beserta pisang goreng. Anak perempuan Pak Dasipin menghidangkannya untuk kami, diikuti pandangan sang ibu yang berdiri di gawang pintu. Saya tersenyum kepada ibu yang wajahnya tak kalah tegar itu.

Pak Dasipin menuangkan teh ke dalam gelas. Tangannya masih terlihat kuat.

“Tak ada poci di sini, tapi teko ini bisa menggantikan,” tiba-tiba ia teringat kampung halaman, Batang, tak jauh dari Tegal, yang tradisi minum teh pocinya sangat kental.

Sejak ia ditahan dan kemudian menetap di Waepo, ia sempat pulang ke Batang pada tahun 1981 dan 1986. Ketika ditangkap Pak Dasipin meninggalkan dua orang anak, satu di antaranya masih berumur 40 hari. Ia meminta maaf kepada anak-anaknya, dan mereka memahami apa yang terjadi.

“Bapak ditangkap karena politik, dan bapak tidak tahu politik,” katanya menirukan sang anak.

Pak Dasipin menikah lagi dengan perempuan asli Buru beranak empat. Bersama Pak Dasipin lahir tiga orang anak. Anak-anak mereka, baik yang tinggal di Batang maupun Buru, hidup rukun sampai sekarang. “Anak-anak di Batang dan Mako biasa kontak-kontakkan lewat telepon,” katanya. Bahkan anaknya di Batang pernah datang ke Mako.

Di Unit I Wanapura, selain Pak Dasipin terdapat Pak Slamet dan Pak Tukiman asal Yogyakarta, Pak Sukiman dan Pak Suto Mahmud dari Solo dan Pak Saidan dari Tegal. Mereka ditangkap dan dibawa ke Buru dengan cara yang hampir sama: tidak banyak tahu persoalan, dan tak pernah diadili.

Yang unik adalah Pak Kamto, tapol paling muda di antara mereka. Pak Kamto datang bersama ibunya ke Buru mencari ayahnya yang merupakan seorang tentara. Setelah sang ayah dibebaskan, Kamto dan ibunya memilih menetap di Waeapo, sementara ayahnya malah pulang ke Yogya.

Sampai di situ cerita saya dengan Pak Dasipin hari itu, dan kami berjanji akan melanjutkan pada kesempatan lain. Malam hampir larut, di langit terpacak satu-dua bintang, nyaris tak nampak karena sebagian langit masih kelabu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top