Kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) dari Pondok Pesantren Al Falah Ploso-Kediri, Abdurrahman Kautsar, mengutarakan bahwa Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar-Jombang adalah suatu rumah atau tempat yang memberikan kenyamanan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi dirinya.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi narasumber sarasenan ‘fiqih kebangsaan’ dalam rangka memperingati haul KH Bisri Syansuri ke-43, Nyai Hj Noor Chodijah ke-73, dan harlah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Dennayar Jombang ke-107 Sabtu (29/01/2022).
“Saya ini hanya cucu santri dari Denanyar, itu sudah menjadikan saya sangat bangga,” ungkapnya saat mengawali pembicaraan.
Oleh karena itu kiai muda yang akrab dipanggil Gus Kautsar ini tidak heran ketika beberapa waktu lalu mendengar cerita bahwa ada beberapa cucu asli dari KH. Bisri Syansuri merasa sudah mewakili Denanyar, “Saya langsung faham. Lha saya saja yang cuma keluar-masuk Denanyar sudah merasa bagian dari Denanyar. Apalagi yang asli cucu-cucu beliau,” terangya
Gus Kautsar menyatakan kurang nyaman saat menjadi narasumber dalam acara ini. Karena ia sudah terbiasa ke Denanyar tanpa pekerjaan. Hanya tawasul ke kiai Bisri kemudian rea-reo, ngopi dan sebagainya.
“Saya itu kalau sama Gus Salam manut sekali. Ini saya sebenarnya sakit pinggang karena habis main bulu tangkis. Semua undangan tidak saya hadiri termasuk undangan dari bupati. Saya takut diadukan Gus Salam ke kakeknya,” terangnya.
Masuk dalam paparan materi, Gus Kautsar menjelaskan definisi politik dari beberapa ulama. Ibnu Katsir yang mendefinisikan politik adalah mencoba menata suatu tatanan untuk menjadi lebih baik. Sedangkan menurut Ali Ibnu Aqil, politik adalah langkah-langkah yang harus diambil ketika ada potensi kemaslahatan untuk masyarakat banyak dan menghindarkan mereka dari hal-hal yang buruk
Dijelaskan bahwa sebenarnya politik itu baik dan memang penting. Bahkan dalam kitab-kitab yang populer, dalil mengambil langkah politik itu harus kita ambil dan itu semua berdalil syar’i, bukan aqli. Jadi tidak boleh ada santri yang acuh atau abai dengan yang namanya politik.
“Santri pekok itu bilang, aku kan santri, aku cukup ngaji dan ibadah saja. Tidak usah ikut berpolitik-berpolitikan. Ooo ngaji maneh cung,” ungkap Gus Kautsar disambut tawa hadirin.
Gus Kautsar lantas menceritakan apa yang ia dengar dari abahnya. Sewaktu NU dijadikan partai politik tahun 1955 ada kiai besar dari Pasuruan silaturrahmi ke KH. Wahab Hasbullah untuk berpamitan tidak lagi bisa berkhidmad di NU karena NU telah menjadi partai.
“Jawaban kiai Wahab saat itu adalah. Njenengan (anda) ini salah kiai, njenengan bisa ngaji itu hasil ikhtiar saya di Jakarta. Kalau aturan negara melarang ngaji maka pesantren-pesantren akan tutup dari dulu,” pungkasnya.
Sementara itu KH Afifuddin Dimyati yang juga menjadi pemateri menguraikan prinsip politik dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa Ayat 58-59. Pertama adalah memegang amanah. Kedua menetapkan hukum dengan adil. Ketiga adalah ketaatan. Yang keempat kembali kepada petunjuk Allah dan Rasulullah. “Sengaja tidak saya sebut kembali kepada al-Qur’an dan hadist. Nanti seperti mereka (wahabi),” terangnya
Kelima adalah tegas terhadap penghianatan. Seorang pemimpin harus tegas, seperti Nabi Muhammad Saw pernah mengusir seorang Yahudi karena membantu kaum musyrik Mekkah.
“Kenapa Yahudi membela Mekkah? Jadi Yahudi itu di Madinah tetapi membela Mekkah. Karena kaum musyrik Mekkah membantu ekonomi kaum Yahudi,” ungkapnya.
Kalau Mekkah hancur, maka secara otimatis ekonomi Yahudi akan terganggu. Sehingga saat itu Yahudi mempunyai kepentingan untuk memenangkan Mekkah, supaya ekonomi mereka yang menguasai Hijaz tidak terganggu oleh umat Islam.
“Nabi melihat ini adalah sebuah penghianatan. Karena sudah ada piagam Madinah yang menyebutkan saling menjaga di kota Madinah. Artinya apa disini? Jadi Yahudi menginginkan menjadi elite global,” jelas Gus Awis.
“Dan pemimpin yang baik harus berani melawan penghianatan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw,”pungkasnya.
Kemudian yang keenam adalah mengalah untuk menang. Ketujuh mengutamakan diskusi daripada konfrontasi.