Setelah beberapa waktu lalu cadar jadi bahan pembicaraan di UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, kini polemik itu muncul lagi. Tidak tanggung-tanggung, pemicunya adalah pernyataan Menteri Agama langsung, Fachrul Razi, pekan lalu.
Dia mengatakan kementerian sedang mematangkan aturan agar pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, tidak diperbolehkan mengenakan cadar. Alasannya dari mulai mengganggu layanan hingga cadar tidak terkait agama.
Merespon polemik itu, Afifuddin Muhajir, ulama dari Jawa Timur dan anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengatakan dengan jelas tentang aurat dalam pandangan hukum Islam.
Dia menerangkan bahwa soal aurat ulai sejak dulu sampai sekarang, para ulama, baik fuqaha, mufassir, dan muhaddist terbelah menjadi dua kelompok tentang persoalan aurat perempuan. Ada yang mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Ada sebagian yang mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Akan tetapi, kelompok mayoritas (jumhur) ulama kebanyakan adalah pendapat yang pertama. Artinya, para ulama mayoritas mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, karena bukan aurat maka tidak wajib ditutupi. Tidak wajib ditutupi tidak bermakna tidak boleh ditutupi.
“Sampai sekarang misalnya, mayoritas ulama al-Azhar di Mesir, ulama al-Zaituna di Tunisia, ulama al-Qarawain di Maroko, mereka berpandangan seperti itu (wajah dan kedua aurat bukan telapak tangan) sehingga mereka tidak punya kewajiban untuk menutupi. Tapi masih ada sebagian yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat sehingga wajib ditutupi. Salah satu dari mereka adalah Syaikh Muhammad Said Ramadan al-Buthi,” jelasnya, seperti dikutip maahadaly-situbondo.ac.id
Berhubung ulama terbelah menjadi dua pendapat, kata Afifi, umat Islam terpecah menjadi dua kelompok tentang penggunaan cadar. Pertama menyebut bahwa cadar dan menutup wajah tidak wajib. Kedua, cadar dan menutup wajah adalah kewajiban.
Sebenarnya ada ulama ketiga yang meyakini bahwa menutup wajah tidak wajib namun mereka tetap memerintahkan untuk menggunakam cadar dalam rangka ihtiyath (hati-hati) dengan dasar al-Khuruj min al-Khilaf Mustahabbun, keluar dari perbedaan ulama adalah sunah.
“Menurut saya, mereka dibiarkan menurut keyakinan masing-masing. Artinya, yang menganggap wajah adalah aurat tidak perlu dipaksa untuk membuka wajahnya. Demikian pula mereka yang punya keyakinan wajah bukan aurat, tidak boleh dipaksa untuk menutup wajahnya. Idealnya seperti itu,” saran dosen senior di Ma’had Aly Pesantren Asembagus Situbondo, Jawa Timur ini.