Sedang Membaca
Antropologi Keharaman Babi Bagi Kaum Muslim dan Yahudi
M. Fakhru Riza
Penulis Kolom

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan aktif di Gusdurian Jogja. Bisa disapa lewat ig: @fakhru.riza dan twitter: @fakhruriza_.

Antropologi Keharaman Babi Bagi Kaum Muslim dan Yahudi

Kenapa daging babi diharamkan bagi umat Islam dan Yahudi? Atau jangan-jangan pertanyaan demikian itu bagi kita (umat beragama) tidak terlalu penting untuk dipertanyakan. Sebab, alasan teologis ataupun pendasaran ajaran Islam sudah cukup bagi kita untuk mematuhi larangan untuk mengonsumsi daging babi tersebut.

Dalam ajaran Islam ada standarisasi bahwa makanan yang layak untuk dikonsumsi adalah makan yang halal. Begitu pula bagi umat Yahudi, ternyata ada standarisasi yang mirip dengan standarisasi halal sebagaimana dalam Islam. Pada kaum Yahudi, istilah standarisasi kehalalan sebuah makanan disebut dengan “koshr”. Sebagaimana dalam Islam, bagi kaum Yahudi babi juga dihukumi “haram”, tidak koshr, tidak halal.

Namun demikian, bagi kaum akademisi, intelektual, ataupun peneliti, alasan-alasan teologis/keimanan bahwa mengonsumsi daging babi berhukum haram tidak cukup. Perlu ada penjelasan lain dengan pendasaran-pendasaran penelitian ilmiah. Demikian itulah yang dilakukan oleh seorang antropolog bernama Marvin Harris dalam bukunya Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir (2019) dalam satu babnya membahas tentang teka-teki kenapa daging babi diharamkan bagi kaum muslim dan Yahudi.

Dalam proses penelusuran antropolog Harris (2019) tentang teka-teki keharaman babi bagi umat Islam dan Yahudi adalah adanya alasan yang berkembang dalam masyarakat bahwa babi itu hewan yang jorok, kotor, berkubang dalam air kencingnya sendiri dan pemakan kotoran manusia. Tetapi, penjelasan seperti itu tak cukup bagi Harris.

Baca juga:  KH. Mas Mansur, Sapu Kawat dari Jawa Timur

Penelusurannya menemukan bahwa klaim demikian itu sangat tidak konsisten sebagai sebuah penjelasan ilmiah. Sebab apa, karena penelusurannya menemukan bahwa hewan sapi pun akan berlaku sama seperti babi ketika ditempatkan dalam kandang yang kurang terawat, ia akan berkubang dalam bekas air kencingnya sendiri dan juga sapi yang kelaparan akan memakan kotoran manusia sebagaimana babi.

Upaya lanjutan penelusuran antropologis Harris (2019) tentang teka-teki babi bertemu dengan penjelasan Moses Maimonides (Musa bin Maryam), seorang dokter istana Salahudin pada abad ke-12 M di Kairo, Mesir. Maimonides memberikan penjelasan naturalis/medis tentang kenapa babi diharamkan. Menurutnya babi diharamkan karena mengandung penyakit yang berbahaya jika dikonsumsi oleh masyarakat.

Kemudian, alasan Maimonides tersebut diperkuat oleh penemuan ilmiah pada abad ke-19 M bahwa dalam daging babi terdapat cacing pita yang dapat membahayakan jika dimasak kurang matang. Namun, penelusuran Harris selanjutnya menemukan bahwa penjelasan babi diharamkan hanya semata karena ada cacing pita masih menemui kontradiksi ilmiahnya.

Sebab apa? Daging sapi, kambing, dan domba yang oleh umat Islam dan Yahudi berhukum halal sebenarnya juga mengandung penyakit yang sama-sama berbahaya bagi masyarakat. Daging kambing dan domba mengandung bakteri Brucellosis melitensis yang berbahaya. Sapi lebih berbahaya, penyakit Antraks pada sapi juga merupakan salah satu penyakit menular yang paling berbahaya dalam sejarah umat manusia.

Baca juga:  Mengucapkan Salam Lintas Agama

Dalam kebuntuan penelusuran ilmiah tersebut, sang antropolog memberikan jawaban yang menarik. Menurutnya larangan ilahiah atas babi tersebut merupakan sebuah strategi ekologis yang berasalan. Sebab apa, jika ditelusuri kondisi alam tempat kaum muslim dan yahudi hidup adalah tanah padang pasir yang gersang dan dekat dengan lembah sungai.

Kaum muslim dan yahudi adalah keturunan dari orang Ibrani prohistoris (anak-anak Nabi Ibrahim pada pertengahan abad ke-2 M). Mereka hidup di wilayah yang gersang, kasar, dengan sedikit penduduk di antara lembah sungai Mesopotamia dan Mesir. Pada awalnya anak cucu Ibrahim adalah peternak nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam kehidupan peternakan nomaden pada wilayah yang demikian itu, hewan yang paling bisa diandalkan untuk mudah berpindah-pindah adalah sapi, kambing, dan domba. 

Selain babi sulit untuk dibawa berpindah tempat, babi juga memiliki kesulitan dalam hal makanannya. Walaupun babi adalah hewan omnivora, pemakan tumbuh-tumbuhan sebagaimana sapi, kambing dan domba. Akan tetapi, kebutuhan gizi babi didapat dari umbi-umbian, kacang-kacangan, dan buah-buahan, sama seperti yang dimakan manusia. Dalam kondisi tanah yang tandus tersebut, tentu sangat tidak efisien memelihara hewan yang memakan makanan yang juga dimakan manusia.

Alasan selanjutnya adalah bahwa babi adalah tipe hewan yang sulit untuk beradaptasi tinggal dalam wilayah yang panas dan gersang seperti di Timur Tengah. Menurut penelitian L.E. Mount dari Agricultural Council Institute of Animal Psychology di Cambridge menemukan bahwa babi dewasa akan mati jika terpapar sinar matahari langsung, dan suhu udara di atas 37ο C. Dan benar, di Timur Tengah, dimana tempat kaum muslim dan yahudi awal tinggal bersuhu 43ο C sepanjang tahun. Suhu setinggi itu akan cepat membunuh babi.

Baca juga:  Membayangkan Agama di Era New Normal

Pada akhirnya, penelusuran Marvin Harris tersebut menemukan bahwa pelarangan ilahiah atas daging babi bagi kaum muslim dan yahudi adalah sebuah strategi ekologis, supaya kelangsungan siklus mata rantai makanan masyarakat gurun yang gersang dan panas tersebut tetap seimbang. Informasi baru tersebut menarik bagi kita bahwa ternyata dibalik sebuah larangan teologis agama memiliki landasan-landasan ekologis yang rasional, demi kelangsungan umat manusia itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
5
Terkejut
4
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top