“Rabbi zidni ‘ilman” adalah doa yang Tuhan ajarkan kepada Nabi Musa atas kecongkakannya. Dan hari ini, sepertinya menjadi doa yang jarang diselami makna dan hikmahnya.
Sebelas tahun yang lalu dan dua tahun berikutnya adalah masa silam dalam catatan intelektual yang pernah saya lalui. Sebagai seorang yang masih belia dan duduk di bangku kelas satu MA, dengan semangat dan keingintahuan yang masih menyala-nyala, mulai mencari tahu mana yang benar dan yang kurang tepat. Saya dan beberapa teman yang satu prinsip, kala itu mulai dikucilkan dari lingkungan sekolah, juga sosial.
Hidup di lingkungan yang sekuler dalam beragama. Sekalipun demikian, lingkungan dan tempat saya mencari wawasan keislaman dikenal sebagai kampung ulama. Hanya saja, beberapa orang yang belajar dari ulama dan merasa punya wawasan yang luas, sangat tidak mencerminkan sikap keulamaan. Iya, ulama di sana itu adalah orang baik, yang tidak baik adalah murid-muridnya dengan sikapnya yang berbangga diri.
Manusia cenderung memusuhi kebiasaan yang baru. Selepas belajar di pondok, Para santri biasanya akan pergi ngaji nahwu dan shorof ke beberapa ustadz hingga menjelang magrib. Sementara saya dan beberapa teman malah pergi ngaji pemikiran yang masih terbilang sangat baru di tempat itu, sebab hanya ada satu guru yang mengajarkannya, itupun bukan seorang ustadz, kami memanggilnya dengan kakanda. Di sana juga, kami mulai mengenal seputar logika, filsafat dan teologi.
Teman-teman santri yang belajar menghafal, kami yang mulai belajar berfikir rasional, biasanya akan berakhir dengan perdebatan dalam forum diskusi. Tapi tetap saja, kami yang akan memenanginya dengan argumen-argumen yang sedikit masuk akal. Tidak berhenti di situ, ustadz-ustadz yang masuk mengajar di kelas kami juga tidak luput dari pertanyaan kritis, sehingga sebab-sebab untuk dibenci pun kian menjadi lengkap. Lingkungan pergaulan jadi semakin kecil, karena ada label baru yang mereka lekatkan ke pundak kami, orang-orang sesat.
Padahal, kalau kami benar-benar sesat, setidaknya mereka harus berusaha memberi kami petunjuk. Bukan malah menunjuk kami sebagai orang yang sesat. Bukannya memberi solusi, mereka hanya memperkeruh suasana dan membuatnya jadi runyam.
Lambat laun, berita ini sampai ke telinga keluarga. Beberapa teman yang belajar bersama kami tidak lagi ikut bergabung. Kami yang dulu belajar lebih dari sepuluh orang, hanya tersisa lima biji. Pihak keluarga saya yang terkenal agamis, kala itu juga termakan isu kesesatan, sesuatu sangat disayangkan. Mereka juga ikut menunjuk, tidak memberi petunjuk. Saya tidak lagi diajak ke tempat yasinan, padahal saya termasuk remaja mesjid yang sangat aktif kala itu. Tapi karena berita yang menyebar, dan mereka juga takut ditulari kesesatan dengan dalih menjaga keyakinan, maka mau tidak mau, keberadaan kami harus dianggap layaknya virus.
Untungnya, saat itu ayah dan ibu adalah rumah. Mereka tidak melarang untuk tetap ngaji pemikiran, tidak seperti orang tua lain yang melakukan penetrasi keinginan pada anak-anaknya. Saya masih ingat dengan jelas pesan ibu kala itu “lagi pula soal benar dan salah kamu sudah tahu. Lakukan saja selama hal itu masih benar menurutmu , nak.” Sepertinya, Ibu lebih faham perihal agama sebagai petunjuk, dibanding mereka yang katanya faham agama, tapi menarona di ujung jari telunjuk.
Adakalanya pengetahuan tidak lagi menjadi sebuah petunjuk, melainkan jadi hijab yang begitu tebal. Saya pun agak sedikit heran, mengapa mereka bisa jadi segeram itu. Padahal, konon Imam Syafi’i saja dalam kisahnya akan menangis takkala mendapatkan ilmu baru. Sebab dengan cara seperti itu, beliau semakin tahu, bahwa dirinya hanya sedikit tahu sesuatu.
Lalu, mengapa sampai hari ini masih saja banyak orang yang suka menghakimi dan menilai seseorang dengan pemahamannya yang sederhana? Dari sini mungkin ada sebuah pelajaran, bahwa ketika seseorang beragama, tidak lantas mereka juga akan sadar diri.
Apa susahnya menerima bahwa kita ini hanya mengetahui sedikit sesuatu? Bukankah akan sangat memalukan mengaku tahu padahal aslinya tidak tahu? Mengapa tidak mencoba mencari ketidaktahuan dalam benak yang selama ini menyamar menjadi pengetahuan? seperti yang dikatakan Socrates.
Tapi, sudahlah, nasi sudah jadi bubur. Lagi pula saya juga yang salah, sebab kala itu tidak bersikap bijak. Saya juga lupa dan khilaf terhadap satu hal, bahwa memperjelas ketidaktahuan orang lain adalah hal yang tabu dalam masyarakat. Harusnya saya hanya diam saja, tidak perlu ikut banyak bicara. Tapi mungkin Socrates akan memarahiku, atau Nabi juga akan mencibirku, sebab tidak menyampaikan benarnya ketidaktahuan mereka dan diriku, sekalipun itu terasa pahit. Atau mungkin karena kami bukan siapa-siapa dan hanya berusaha belajar, belajar dan belajar terus belajar, hingga mereka dengan leluasa mencibir.