Teheran, 1978. Saat itu Marji masih menjadi bocah kecil penyuka kentang goreng dengan saus kecap dan sangat menggemari Bruce Lee. Dia selalu memikirkan dua cita-cita yang menggelayuti kepalanya, yaitu mencukur kaki dan menjadi nabi terakhir (pemimpin) di muka bumi.
Obsesi terakhir Marji bukan tanpa sebab. Marji lahir dan tumbuh dalam keluarga revolusioner yang menentang rezim, sehingga dia punya cukup modal untuk muak dengan kediktatoran pemimpinnya saat itu: Sang Shah. Di samping itu, ia juga rutin “berdialog” dengan Tuhan setiap malam di kamarnya, kadang dengan Karl Marx, bahkan bersamaan dengan keduanya.
Imaji Marji yang liar tapi tetap lugu itu adalah balutan humor segar dalam film Persepolis. Kehidupan Marji kecil di Iran menjadi awal mula cerita dalam film ini dibangun. Selebihnya adalah kisah sedih, pedih, bahagia, dan lucu yang menyelimuti Marji hingga tumbuh dewasa dalam lingkungan perang, sampai pada saat kepindahannya ke Prancis.
Persepolis adalah film animasi dewasa yang dirilis pada 2007, berdasarkan novel grafis otobiografi Marjane Satrapi: penulis, feminis, dan seniman Prancis kelahiran Iran. Ya, Marji adalah panggilan Satrapi oleh keluarganya saat di kampung halaman. Film ini diangkat dari buku dengan judul yang sama.
Satrapi menuliskan Persepolis (2000) sebagai jawaban untuk pertanyaan tiada henti pada dirinya tentang apa artinya menjadi orang Iran.
Buku ini terbit pertama kali di Prancis, setelah sekian lama Satrapi hidup di “pengasingan” itu dan memutuskan untuk melabuhkan kewarganegaraannya. Saya sendiri sempat membaca edisi aslinya, meski tak banyak. Tetralogi novel grafis yang dibundel menjadi satu dalam bahasa Prancis itu membuat saya menyerah pada puluhan halaman pertama. Versi bahasa Indonesia buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka.
Latar dari Persepolis dimulai pada 1978 dan berakhir 1992. Saat itu Iran sedang dilanda krisis kepercayaan rakyat terhadap Shah. Jalan-jalan di Teheran sering dipenuhi demonstrasi. Pemerintah tak tinggal diam. Mereka menurunkan militer dan mengerahkan tank untuk menghalau massa yang protes. Kekerasan jangan ditanya lagi, bahkan kematian bisa menghampiri para sipil yang menghendaki revolusi.
Revolusi pun benar terjadi. Tapi keluarga Marji tak bisa langsung puas. Dalam pemilihan secara demokratis, 99,99% rakyat menghendaki republik Islam sebagai gantinya. Keluarga Marji yang berhaluan kiri itu tetap tak mendapat ruang yang dikehendaki.
“Ini normal. Setiap revolusi memiliki masa transisi. Setengah negara ini buta huruf. Hanya nasionalisme dan aturan agama yang menjadi sumber belajar seseorang,” kata Anoosh, paman Marji yang mengharap suatu saat kaum proletar mengambil alih kepemimpinan.
Satu tahun setelah revolusi, Irak menyerang Iran. Marji melihat Saddam Hussein mengambil keuntungan dari negara yang lemah dengan menyerangnya. Di tengah kondisi perang, pemerintah baru didirikan lengkap dengan undang-undang represif lebih dari sebelumnya. Dalam waktu dua tahun, kehidupan sehari-hari di sana pun berubah.
Film ini memberi gambaran tentang pergantian rezim dalam sebuah negara yang tak selalu berjalan menuju perbaikan signifikan. Revolusi Islam dan revolusi kebudayaan yang terjadi sangat ketat di Iran menjadi tantangan baru dalam menjalani hidup bagi rakyat yang enggan tunduk.
Pada 1982, saat Marji menjadi seorang remaja, ia dan teman-temannya harus bergerilya untuk mendapatkan kaset Bee Gees dan Iron Maiden di pasar gelap, atau bahkan sekadar untuk membeli lipstik. Negara yang sangat fundamentalis dalam agama dan begitu antipati terhadap kebudayaan Barat mengencangkan ikatannya kepada kebebasan berekspresi dan hak-hak perempuan.
Di sini, premis-premis yang dimasukkan Satrapi dalam Persepolis mulai bekerja. Dia menciptakan banyak antitesis untuk membuat film ini sangat hidup melalui sikap-sikap memberontak dirinya pada saat muda. Marji suka melepas kerudung, mendengarkan musik rock, mengenakan jaket jeans, memakai sepatu Nike, hingga mendebat guru agamanya yang berbohong tentang korban perang.
Tak hanya berkutat di Iran, film ini juga mengajak kita untuk melihat perjalanan Marji saat ia pindah sekolah ke Wina, Austria. Di sinilah ia merasakan rasanya didiskriminasi karena identitasnya sebagai orang Iran.
Di sini pula ia banyak mempelajari pemikiran-pemikiran besar dan bergaul dengan banyak orang, mulai dari gerombolan punk sampai kelompok hippies di tengah hutan.
Pada karyanya ini, Satrapi tak menggunakan satire untuk mengungkapkan sikap kritis sekaligus sakit hatinya pada sejarah, seperti yang sering dilakukan seniman Prancis. Dengan percaya diri ia memakai sarkasme untuk membungkus Persepolis. Kritiknya pada kediktatoran dan kesewenangan sangat tajam dan jelas.
“Saya ingin menunjukkan bahwa semua kediktatoran, tidak peduli apakah itu Chili, apakah itu revolusi kebudayaan di Tiongkok atau komunis Polandia, ini adalah skema yang sama,” kata Satrapi.
“Di sini, di Barat, kita menghakimi mereka karena kita sudah terbiasa dengan demokrasi. Percaya bahwa jika kita memiliki sesuatu, itu karena kita pantas mendapatkannya, karena kita memilihnya. Perubahan politik mengubah hidup Anda sepenuhnya terbalik, bukan karena Anda gila, tetapi karena Anda tidak punya jalan keluar,” lanjutnya.
Dalam filmnya, ia mengambil peran menjadi sutradara bersama Vincent Parannaud, rekannya pembuat komik yang juga telah membuat beberapa film pendek. Persepolis diproduksi dan dikerjakan bersama oleh beberapa perusahaan film Prancis dan Iran.
Saat penayangan perdananya di Festival Film Cannes, film ini memenangkan penghargaan dari para juri (Prix du Jury). Selain itu, Persepolis juga masuk nominasi Oscars untuk kategori Best Animated Feature. Tapi para kru harus berlapang dada setelah film progresif mereka kalah dengan animasi tentang segerombolan tikus di film Ratatouille (2007).
Jangan diikira film ini lolos dari kontroversi. Sebelum pemutaran perdananya di Cannes, pemerintah Iran mengeluhkan penayangannya di festival tersebut. Meski akhirnya otoritas kebudayaan Iran mengalah. Pada 2008, Iran mengizinkan pemutaran film terbatas di Teheran, dengan syarat ada enam adegan yang harus disensor karena mengandung konten seksual.
Di tahun rilisnya, di Thailand film ini dibatalkan penayangannya di Festival Film Bangkok, mengingat keberatan dari Kedutaan Iran terhadap direktur festival saat itu. Persepolis juga sempat dilarang di Lebanon oleh beberapa ulama karena dianggap ofensif terhadap Iran dan Islam. Tapi larangan itu kemudian dicabut setelah protes dari kalangan intelektual dan para politisi Lebanon.