Sedang Membaca
Kitab dan Buku
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Kitab dan Buku

“Al-kitabu khairu anisin”, buku adalah teman bercengkerama yang paling baik, demikian kata pujangga besar dari era awal Islam yang hidup sezaman dengan Imam Bukhari bernama Imam Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr al-Jahidz (w. 255 AH/869 AD). Dia lebih dikenal dengan sebutan al-Jahidz.

Saat teman-teman menghilang entah ke mana, saat orang-orang terdekat sedang absen, bukulah teman terbaik bagi kita. Dia menemani tanpa tuntutan apapun. Dialah teman duduk yang akan siap menemani kita “nongkrong” berjam-jam tanpa minta traktiran apapun. Juga tidak akan minta “udud” alias rokok.

Tentang buku ini, saya lalu ingat kakek saya, Kiai Muhammadun dari desa Pondowan, Pati. Ia meninggal pada 1982. Ialah sosok pertama yang mengenalkan kepada saya kecintaan yang mendalam pada buku.

Saat kecil di kampung dulu, saya kerap melihat pemandangan yang menakjubkan: kakek saya berdiri di samping jendela, berjam-jam, sambil memegang kitab, membacanya dengan penuh khusyuk, tenggelam dalam samudera teks yang membuatnya seperti melayang-layang di “alam amsal”-nya Plato.

Saat lelah, kakek saya itu kemudian akan duduk atau jongkok di samping “bale” atau dipan besar. Di atasnya, bertebaran kitab dari pelbagai disiplin, beberapa di antaranya ditandai dengan “marker” atau penanda yang menandai bagian-bagian yang dianggap penting.

Saat waktu salat tiba, kakek saya kemudian akan menepuk tangan, mengingatkan kepada para santri yang berada di seberang rumah untuk segera menabuh “kenthongan” dan azan. Sejurus kemudian kakek saya akan berangkat menuju musala dan “ngimami” salat.

Baca juga:  Hadiah Paling Indah untuk Anak

Kakek saya bukanlah seorang yang kaya, tetapi koleksi kitabnya sungguh menakjubkan. Pada tahun 60-an dan 70an, yaitu tahun-tahun saat kakek saya melewatkan karirnya sebagai seorang kiai kampung di daerah Tayu, kitab adalah barang mewah, mahal, dan tak mudah didapatkan. Kitab-kitab penting yang biasanya berjilid-jilid itu harus diimpor dari Singapura, Beirut atau Mesir. Harganya sudah pasti mahal.

Koleksi kitab kakek saya sangat menakjubkan, apalagi untuk ukuran seorang kiai yang tinggal di pedalaman. Dia mengoleksi kitab-kita penting dalam mazhab Syafii, misalnya: Tuhfat al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haitami (w. 973 AH/1566 AD), hasyiyah (super-komentar) atas kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Abdul Hamid al-Syarwani (w. 1301 AH/1884 AD), al-Majmu’ ‘ala-Muhazzab karya Imam Nawawi (w. 676 AH/1277 AD), dan lain-lain.

Kakek saya juga mengoleksi dua kitab yang saya kira sangat jarang ada dalam perpustakaan para kiai pada tahun-tahun itu: yaitu al-Futuhat al-Makkiyyah karya sufi besar Ibn Arabi (w.638 AH/1240 AD) dan Muqaddimah Ibn Khaldun karya seorang ulama yang oleh Prof. Muhsin Mahdi dari Harvard University pernah dianggap sebagai peletak dasar ilmu sosiologi modern, yaitu Ibn Khaldun (w. 808 AH/1406 AD).

Tetapi yang lebih menarik lagi adalah bahwa kakek saya juga mengoleksi sejumlah kitab karya seorang ulama yang sangat tidak disukai di kalangan warga Nahdliyyin, apalagi pada tahun-tahun itu, yaitu Ibn Taimiyyah (w. 728 AH/1328 AD) dan Muhammad ibn Abdul Wahhab (w. 1206 AH /1792 AD). Yang terakhir ini, kita tahu, adalah pendiri gerakan Wahabisme –gerakan yang secara teologis bsrlawanan secara kontras dengan keyakinan warga NU.

Baca juga:  Masalah Kemerdekaan Pangan, dari Era Soekarno hingga Joko Widodo

Bagi saya, sungguh mengherankan bahwa kakek saya mengoleksi kitab-kitab yang menjadi rujukan di kalangan kaum salafi/wahabi. Tetapi, belakangan, saya baru mengetahui, bahwa pada masa mudanya, kakek saya kerap terlibat dalam perdebatan dengan kaum “pembaharu” yang saat itu membawa gagasan-gagasan para tokoh seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, Ibn Taymiyyah dan Ibn Abdul Wahhab. Untuk menghadapi mereka, kakek saya perlu membaca dengan baik sumber-sumber yang menjadi rujukan gerakan ini.

Saat kakek saya sudah meninggal, saya pernah membongkar koleksi kitab dalam perpustakaan pribadinya. Di sana, saya menjumpai kitab karya Muhammad ibn Abdul Wahhab yang terkenal itu: Kitab al-Tauhid. Yang menarik, pada sampul kitab itu, tertera keterangan dalam bahasa Arab yang artinya: HARAM BAGI ANAK-CUCU SAYA MEMBACA KITAB INI.

Saya terkaget-kaget membaca “kolofon” atau keterangan ini. Mengingat catatan kakek saya itu sekarang, saya justru merasa agak geli. Sebab, belakangan, saat kuliah di LIPIA (perguruan tinggi Saudi di Jakarta yang tentu saja mengajarkan akidah wahabisme), saya, sebagai cucu Kiai Muhammadun kakek saya itu, malah belajar kitab karya Ibn Abdul Wahhab tersebut sampai khatam, meski saya tidak menjadi wahabi dan tak terpengaruh oleh kitab itu.

Kekayaan koleksi kitab kakek saya ini menandakan satu hal: kecintaannya yang luar biasa pada buku dan kitab. Kecintaan ini kemudian ditularkan kepada ayah sendiri, Kiai Abdullah Rifa’i, yang dulu pernah “nyantri” lama pada Kiai Muhammadun, hingga akhirnya diambil sebagai menantu.

Baca juga:  Menyandingkan Perpustakaan dengan Pasar: Sebuah Refleksi Peringatan Hari Buku Nasional

Pada saat saya kecil, saya sering melihat ayah saya menghabiskan waktu berjam-jam di kamar pribadinya, membaca kitab, membuat catatan (taqrirat) di bagian pinggir kitab, kadang-kadang diselingi dengan kegiatan membuka kamus al-Munjid yang sudah lusuh (warisan keluarga dari pihak ayah saya yang tinggal di Bugel, Jepara), untuk mengecek arti satu-dua kata yang ia tak pahami.

Saya sungguh beruntung tumbuh dalam keluarga yang mencintai kitab dan buku. Kakek dan ayah saya tidak pernah menyuruh saya membaca, tetapi melihat mereka “bertungkus-lumus” membaca selama berjam-jam, tak pelak membuat saya akhirnya tertular kecintaan membaca juga.

Seeing is more telling than saying do and don’t. Melihat jauh lebih “cespleng” (dalam memberikan pengajaran) ketimbang “menyuruh-nyuruh”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top