Beredar paper berjudul “Unusual Features of the SARS-CoV-2 Genome Suggesting Sophisticated Laboratory Modification Rather Than Natural Evolution and Delineation of Its Probable Synthetic Route” milik Yan cs yang kabarnya dipublikasikan sejak awal September ini.
Setidaknya dalam dua jam terakhir ini versi PDF paper ini dengan judul “The Yan Report” mampir ke dua grup WA yang saya ikuti (kedua-duanya berisi mayoritas masyarakat awam bidang ini sebagaimana saya).
Setelah membaca dua halaman pertama, segera saya pahami mengapa paper ini memantik kontroversi. Poin-poin yang saya ajukan berikut ini tentu bukan dari tinjauan ilmu pengetahuan kevirusan yang menjadi konten utamanya (sebab saya tak berwenang dalam bidang tersebut), melainkan dari teknik publikasinya.
Mohon dipahami bila pembahasan ini hanya bermodal bacaan dua halaman pertama saja dari paper tersebut (setelah itu saya putuskan berhenti membacanya), pun dibaca oleh saya yang bukan orang medis, biologi, epidemiologi, virologi, atau bidang terkait lainnya.
Pertama: hingga saat ini, pre-print paper ini belum dipublikasikan melalui publisher paper/jurnal saintifik/medis manapun. Baik yang levelnya sangat kredibel seperti Nature atau publisher lain dengan impact factor di bawahnya. Biasanya publisher terpercaya memiliki proses peer review yang ketat.
Padahal paper milik Yan ini berseberangan secara head-to-head dengan paper Andersen yang dipublikasikan 17 Maret lalu via Nature; Andersen cs mengklaim bila SARS-CoV-2 muncul secara natural, sedangkan Yan cs mengklaim bila ia produk rekayasa lab.
Tidak juga dipublikasikan melalui open access repository seperti arXiv milik Cornell Univ yang meski tanpa peer review masih punya proses moderasi. Saya tidak tahu mengapa yang dipilih adalah open access repository Zenodo milik CERN atau ResearchGate yang tidak sepopuler arXiv (setidaknya dalam bidang yang saya pelajari).
Kedua: penulis pertamanya, sebagaimana diklaim Universitas Hong Kong (HKU, tempatnya meneliti), belum pernah sekalipun melakukan penelitian transmisi virus Covid-19 dari manusia ke manusia. Hanya saja ia pernah melakukan dan mempublikasikan penelitian transmisi virus itu pada hamster dan tentang “shedding patterns” virus terkait pada manusia penderita Covid-19 (bukan proses transmisinya).
Ketiga: afiliasi para penulis seluruhnya adalah Rule of Law Society yang belum pernah sekalipun mempublikasikan paper/jurnal dalam bidang saintifik/kesehatan. Ditambah, alamat e-mail berdomain G-Mail, bukan domain afiliasinya. Selebihnya, paper Yan ini lebih banyak dibahas oleh media (yang secara saintifik tentu levelnya jauh dibawah publisher jurnal/paper akademik yang kredibel).
Keempat: belasan referensi yang dikatakan penulis “berseberangan pendapat” dengan paper Andersen tersebut (referensi 5-15) belum bisa dikatakan menyaingi kualitas saintifik paper Andersen, misalnya dari impact factor publisher terkait atau jumlah sitasi.
Belum lagi ditambah dengan klaim paper Yan ini tentang “conflict of interest” paper Andersen (referensi 16-17) yang “hanya” mencantumkan artikel sebuah portal berita berisi penghargaan dari Xi Jinping untuk W. Ian Lipkin pada tahun 2016 dan CV dari Edward C. Holmes yang menunjukkan salah satu afiliasinya sejak 2019 sebagai visiting profesor di Fudan University, Shanghai. Meski Lipkin dan Holmes adalah co-author dari paper Andersen.
Kelima: beberapa ahli evolusi biologi dan penyakit menular menekankan bila paper milik Yan ini tidak memberikan satupun informasi baru, malahan mengandung beberapa klaim yang tidak berdasar sehingga diragukan keilmiahannya. Komentar yang lebih “kasar” datang dari seorang ahli lainnya, mengatakan bila paper ini sebagian isinya adalah fiksi.
Selebihnya silahkan baca profil Li-Meng Yan, penulis pertamanya, di Wikipedia yang tampak baru saja di-update beberapa jam lalu, https://en.wikipedia.org/wiki/Li-Meng_Yan.
Secara pribadi saya masih kesulitan untuk percaya klaim paper milik Yan ini; untuk mengatakan bila saya lebih percaya kepada klaim paper milik Andersen. Meski demikian, masih terbuka kemungkinan bila klaim Yan benar adanya!
Kalau level diskusinya masih sekitar kepercayaan, boleh saja Anda percaya bila SARS-CoV-2 itu biological weapon, meski saya tidak. Toh yang penting kita masih sepakat bila Covid-19 itu nyata adanya dan berbahaya. Lain lagi ceritanya bila ada yang mengatakan Covid-19 itu bohongan/tidak ada (untuk yang semacam ini saya tak tahu bagaimana bersikap).
Tentu saja level diskusi bisa dinaikkan kepada pertanyaan semacam apakah kepercayaan itu didukung oleh berbagai hard facts (sebagaimana umumnya ditemukan dalam dunia sains/teknologi), yang mungkin mirip dengan konsep “evidence-based” dalam dunia medis.
Sayang sekali saya belum melihat ini dalam dua halaman pertama paper milik Yan atau dari argumen para forwarder paper tersebut dalam WA grup tadi sehingga saya berhenti membacanya.
Memang mengasyikkan bila ini dijadikan basis teori konspirasi. Tapi rasa-rasanya kepercayaan yang manapun yang kita anut mengenai asal-muasal SARS-CoV-2 itu tidak lebih penting ketimbang tetap menjalankan protokol kesehatan sebaik mungkin dimanapun dan apapun kondisi kita: untuk melindungi diri, sanak saudara, dan juga orang lain.
Sederhana saja alasannya: setiap orang bisa menjalankan protokol tersebut selama ada kemauan, tapi tidak setiap orang bisa berdiskusi secara ilmiah mengenai asal-muasal SARS-CoV-2.
Dan satu lagi alasan yang lebih penting: dari 35 kandidat vaksin SARS-CoV-2, masih belum ada yang tuntas menyelesaikan fase ketiga uji klinis, pun 145 kandidat vaksin lainnya malah baru menjalani tahap uji pra-klinis: https://www.who.int/publications/m/item/draft-landscape-of-covid-19-candidate-vaccines.