Sedang Membaca
Pendidikan Agama Perlu Dihapus atau Hanya Butuh Pembaharuan?
Listia Suprobo
Penulis Kolom

Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga dan UGM. Pengiat pendidikan di Perkumpulan Pendidikan Interreligius/Pappirus. Tinggal di Jogjakarta.

Pendidikan Agama Perlu Dihapus atau Hanya Butuh Pembaharuan?

Pendapat rektor President University Setyono Djumadi Darmono tentang penghapusan pendidikan agama di sekolah untuk diserahkan pada keluarga-keluarga, menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Apa alasan dia mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah?

Daryono beralasan, pendidikan agama hanya menciptakan eksklusivitas yang tidak sehat bagi relasi sosial. Keprihatinan ini satu sisi dapat dipahami, karena jauh-jauh hari, menteri Pendidikan yang Pertama RI Ki Hadjar Dewantara juga pernah memberi catatan,

“..agama di dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan akan terus menerus menjadi persoalan yang sulit, karena ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk, yaitu ‘pengajaran agama’ yang mana hakikat syariat agama diberi bentuk pasti dan tertentu” (1977: 198).

Tetapi apakah pendapat Daryono berangkat dari suatu pengkajian yang komperhensif, teliti dan berorientasi menyelesaikan masalah, atau hanya untuk menghangatkan perbincangan saja? Ada beberapa hal yang perlu diperksa.

Untuk melihat relevan atau tidaknya pendapat tentang penghapusan pendidikan agama ini, perlu dicermati terlebih dahulu dari mana asal eksklusif ini biasanya muncul. Sikap eksklusif ternyata tidak hanya terjadi dalam konteks kehidupan keagamaan. Sikap eksklusif dalam penghayatan keagaman tampak dalam ekspresi merasa kelompoknya paling baik, paling benar dan paling selamat, ketidakpedulian yang berdampak pada ketidakpekaan pada kepentingan liyan, hingga bersikap diksriminatif.

Tapi kita juga mudah menemukan ekspresi karakter eksklusif dalam relasi-relasi antarkelompok sosial yang berbeda, misalnya perbedaan karena faktor ekonomi, keturunan atau kapabelitas tertentu sehingga merasa superior atas yang lain. Karakter ini tidak mendukung hubungan-hubungan sosial berkeadilan dalam masyarakat yang majemuk, namun mudah juga ditemukan dalam masyarakat yang sekuler, di luar soal keagamaan. Diskriminasi pada kalangan difable, ras minoritas dan anak miskin adalah salah satu contoh.

Bila dicermati, secara umum ada beberapa kemungkinan mengapa berkembang sikap eksklusif dalam diri perorangan maupun kelompok:

Pertama, masalah kepribadian yang egosentris yang tumbuh karena pola asuh dalam keluarga dan lingkungan, (yang kemudian bisa jadi berpengaruh dalam ekspresi sosial maupun keagamaan). Eksklusivitas karena pola asuh keluarga dan lingkungan seperti ini dapat muncul pula pada masyarakat yang tidak mengenal pendidikan agama.

Kedua, pengaruh situasi kultural tertentu yang menyebabkan tumbuh sikap eksklusif, misalnya karena pergaulan yang selalu homogen sehingga wawasan dan empati terhadap liyan tidak ada atau kurang berkembang.

Baca juga:  Ali al-Wardi dan Apologia Sofisme

Ketiga, faktor ajaran agama yang secara intens menanamkan eksklusifitas, ini dapat kita temukan dalam komunitas-komunitas keagamaan yang karena pahamnya membatasi pergaulan dengan kelompok yang berpaham berbeda atau tidak menghalangi hubungan dengan liyan, tetapi selalu menanamkan bahwa selain kelompoknya sesat atau kafir. Ada pula eksklusivitas karena campuran tiga faktor tadi. Dari beberapa akar kemunculan sikap eksklusif, pendidikan agama  adalah salah satu penyebab.

Seberapa besar kemungkinannya pendidikan agama di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan dapat memunculkan eksklusivitas?

Secara garis besar (sebagaimana pada pendidikan umumnya) dalam pendidikan agama ada empat komponen; materi pembelajaran, metode pembelajaran, karakter guru dan pembiasaan yang berlaku dalam suatu kultur lembaga pendidikan. Dalam konteks pendidikan agama yang masuk dalam sistem pendidikan nasional, materi-materi pendidikan agama yang diberikan pada peserta didik dapat dikatakan memiliki kesamaan sesuai level pendidikan. Materi yang diajarkan dapat dikatakan adalah materi-materi yang ‘sudah menjadi tradisi’ dan memang sedikit sekali menyinggung adanya keragaman agama dan bagaimana menyikapinya dalam masyarakat yang majemuk.

Mengapa ada kelompok yang menjadi eksklusif dan ada yang tetap toleran meski materi pembelajarannya sama?

Ini perlu ditelaah pada komponen selanjutnya, yaitu gurunya. Beberapa hal yang perlu dilihat dari komponen guru adalah dalam hal komitmen sebagai pendidik, kompetensi (dalam membawakan materi dan proses pembelajaran sehingga proses belajar menjadi menyenangkan), kreatif (menciptakan atau membawakan metode pembelajaran), inspiratif dan elaboratif, (sehingga mendorong minat belajar lebh lanjut). Sulit dipungkiri bahwa ini adalah PR dunia pendidikan kita; secara umum kita masih kekurangan guru-guru dengan komitemen dan kemampuan yang dibutuhkan generasi saat ini, yang tanggap pada semua tantangan yang ada.

Dalam pembelajaran agama, kematangan guru sangat dibutuhkan, yaitu memiliki wawasan keagamaan yang luas sehingga mampu membedakan apa yang menjadi tujuan dan apa yang merupakan sarana mencapai tujuan dalam beragama, mampu membawakan metode yang menyentuh ruhani peserta didiknya dan dapat mencontohkan penghayatan akan nilai-nilai spiritual dalam menebar rahmat dalam kehidupan sehari.

Kematangan dan kebijaksanaan akan terdistribusi di kelas. Bila guru agama tidak dapat menyentuh dan menarik hati peserta didiknya, sangat mungkin dalam situasi saat ini peserta didik akan mencari mentor atau teman belajar yang lebih memenuhi kebutuhan batinnya, termasuk masuk pada kelompok-kelompok yang mengembangkan paha intoleran. Berkaitan dengan faktor guru ini, ada pepatah Arab yang familiar bagi para mahasiswa calon guru:

Al mudarris ahammu min al-thariqah ( faktor guru lebih penting dari pada pendekatan dan metode pembelajaran) dan ruh al-mudarris ahammu min kulli syai (spirit guru lebih penting dari hal lain).  

Akhir-akhir ini semakin banyak anggota masyarakat yang memiliki kebutuhan yang sangat besar pada identitas kelompok, khususnya identitas keagamaan. Barangkali kebutuhan pada identitas keagamaan dengan semua simbolnya ada hubungannya dengan perubahan sosial yang mengegser nilai-nilai lama, mengganti dengan nilai-nilai baru dan makin banyak sisi ketidakpastian dalam hidup.

Baca juga:  Mabuk Cinta dalam Kacamata Ushul Fiqh

Makin banyak pula anggota masyarakat yang memiliki konsep diri yang rentan karena peran pendidikan keluarga yang makin lemah. Semestinya lembaga-lemabaga agama (yang mengembangkan pendidikan agama yang toleran yang berupaya merumuskan cara menebar rahmat bagi semesta), lebih responsif terhadap perubahan dan kebutuhan ini, agar masyarakat yang tengah haus dengan agama tidak diasuh oleh kelompok yang mengembangkan cara beragama yang eksklusif dan intoleran.

Kembali pada pendapat Daryono, bila ruang pendidikan agama di sekolah ditiadakan, apakah semua keluarga siap menjalankan fungsi pendidikan? Apakah semua lembaga keagamaan telah terkoneksi dengan jamaah yang juga murid sekolah, atau justru membuat mereka akan dibina oleh kelompok–kelompok yang ekskluif, anti keberagaman?

Perlu dipertimbangkan juga bahwa ada kondisi sosiologi keberagamaan yang berbeda pada masing-masing agama. Misal pada agama Kristen Protestan dan Katolik ada sistem kependetaan, yang mana para imam atau pastor atau pendeta menjadi penanggung jawab semua urusan keagamaan dan dalam hidup keagamaan. Hanya kalangan yang memang terpanggil untuk menjadi imam atau pendeta yang akan mempelajari agama secara dan intens, berbeda dengan umat yang dalam urusan keagamaan dapat bergantung pada para pimpinan agama ini.

Sementara dalam Islam, semua muslim harus bertanggung jawab atas kehidupan keberagamaannya sendiri, sehingga individu muslim jadi memiliki kebutuhan akan pendidikan agama yang berbeda dengan umat Kristiani. Ada keragaman kebutuhan dalam hal pendidikan agama. Hal-hal ini tampaknya tida dikaji.

Pendapat Daryono juga tidak mempertimbangkan banyaknya jumlah guru dan fakultas-fakultas keguruan terkait yang jumlahnya sangat banyak. Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, usulan untuk menghapuskan pendidikan agama dari sekolah tampaknya tidak relevan dan beresiko.

Suatu pendapat yang berorientasi menjawab masalah makin berkembangnya eksklusivitas beragama, adalah dengan melakukan pembaharuan pendidikan agama di sekolah. Untuk itu perlu diperlihatkan sisi yang kurang dan memberi alternatif cara untuk mencegah suatu keburukan dapat terjadi dari kekurangan ini. Hal-hal apa yang perlu diperbaharui, yang paling utama dari uraian di atas adalah meningkatkan kualitas pendidik. Perlu ada penekanan pentingnya metode pembelajaran agama yang terhubung dengan kehidupan konkret di mana ada banyak masalah kemanusiaan, ada perubahan sosial dan keragaman dalam agama dan budaya yang harus disikapi dengan bijaksana dan welas asih.

Baca juga:  237 Ilmuwan Mendesak WHO Agar Memasukkan Aerosol sebagai Medium Penyebaran Covid-19

Sudah saatnya dalam pendidikan agama saat ini juga dibuka ruang-ruang dialog antarkomponen masyarakat yang berbeda, sehingga peserta didik dapat melihat perbedaan perbedaan secara optimis dan positif, serta dapat menemukan titik temu diantara perbedaan berupa nilai-nilai kebaikan hidup bersama yang ada dalam semua agama dan ajaran budaya, sebagaimana tercantum dalam nilai-nila Pancasila. Kebiasaan pembelajaran yang hanya menekankan aspek kognisi, perlu dikembangkan dengan metode-metode pendalaman penghayatan ajaran dengan refleksi dan perenungan tentang ajaran dan realitas kehidupan, khususnya terkait nilai-nilai.

Dengan demikian peserta didik tidak hanya tahu tentang ajaran agama, tetapi mendapat inspirasi untuk menerapkan ajaran dalam kehidupan, dapat menjadi pribadi yang religius, dapat menjadikan ilmu tersebut sebagai bekal untuk hidup bersama orang lain yang beragam dan diharapkan di mana depan para peserta didik dapat melakukan transformasi diri bersama masyarakat lingkungannya.

Evaluasi hasil belajar untuk pendidikan agama juga perlu diperbaharui agar tidak memadai hanya menggunakan nilai angka, tetapi cara lain yang lebih naratif untuk mengapresiasi proses perkembangan yang dilalui peserta didik. Bila kekuarangan-kekuarangan dalam praktik pendidikan agama dapat diperbaiki melalui berbagai upya pembaharuan, pendidikan agama juga dapat berkontribusi dalam proses pendewasaan berbangsa dan bernegara, selain proses pendewasaan iman para peserta didik. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top