Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Nida dan Jilbabnya

Anak perempuan saya, Nida Khafiyya, mulai masuk SD tahun ini. Banyak hal yang harus dipersiapkan agar urusan masuk sekolah ini berjalan mulus. Dan urusan paling bikin sibuk adalah memastikan bahwa dia diterima di sekolah yang ideal, baik dari segi lingkungan sosial, kurikulum, maupun lokasinya dari rumah.

Diterapkannya mekanisme zonasi dalam penerimaan siswa baru tak terlalu memusingkan bagi kami (saya dan istri saya) sebab target kami memang memasukkan Nida ke SD negeri yang dekat-dekat rumah saja.

Kedua kakaknya dulu pergi ke sekolah swasta dari SD hingga SMP, karena beberapa pertimbangan, antara lain karena saat itu (10an tahun yang lalu), SD negeri belum semenyenangkan sekarang.

Tapi sekarang beda. Adanya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) membuat sekolah-sekolah negeri pun bisa sama bagusnya dengan sekolah swasta. Dan ada kelebihan lain: lingkungan sosial di sekolah negeri menurut saya lebih “asli” dibandingkan lingkungan sosial di sekolah swasta. Di sekolah swasta, lingkungan sosialnya rada artifisial.

Mari kita bahas soal ini lain kali. Sekarang saya ingin membahas soal persiapan si Nida masuk SD. Salah satu persoalan yang saya bahas sejak jauh-jauh hari adalah jilbab. Waktu pre-school di Madrasah Afkaaruna, Nida berjilbab ke sekolah, sebab aturan seragamnya memang begitu. Tapi di SD negeri tak ada aturan sekolah yang mengharuskan murid perempuan berjilbab.

Karena itulah saya mengajak dia bicara beberapa waktu sebelum masuk SD. Saya menjajagi pilihannya, mau berjilbab atau tidak kalau sudah mulai sekolah. Sehari setelah pengumuman penerimaan siswa baru SD, saya ajak dia bicara.

Baca juga:  Jaran Goyang dalam Tiga Variasi

Nduk, when you are already at SD, will you wear jilbab?”

“No. Jilbab makes me sweaty.”

“O, ya sudah.” Sudah, memang begitu saja.

“Is that ok?” Eh, dia malah nanya balik.

“Yes it’s ok. You’re still a child.”

“When I’m a grown-up, do I have to wear jilbab?”

Some say that grown-up women have to wear jilbab, some say they don’t have to. Kalau Nida sudah grown-up, putuskan sendiri mau meyakini yang mana.”

“Will you be with me?”

Saya tak yakin betul apa yang dia maksud dengan ‘will you be with me’ itu. Tapi saya duga yang dia maksud adalah apakah saya akan mendukung apapun keputusannya soal jilbab kelak.

Dengan asumsi begitu, maka jawabanku tak sedikit pun menyisakan ragu: “Yes, I will always be with you.”

Baiklah. Kesimpulannya, Nida memilih tidak berjilbab ke sekolah, karena menurut dia gerah. Saya pun mendukung pilihan itu. Sejak dia lahir pun saya sudah bersepakat dengan istri saya bahwa perihal busana itu ada yang pokok dan ada yang pinggiran.

Yang pokok itu terkait dengan kesehatan dan kesopanan umum. Kalau tentang hal pokok ini, kami harus memastikan terpenuhi. Busana yang dipakai Nida harus membuat kesehatannya terjaga. Di iklim tropis seperti ini, busana harus memungkinkan sirkulasi udara segar agar kulitnya tidak lembab dan rentan terhadap jamur. Busana yang dia pakai juga harus tampak layak dilihat dari standard kesopanan umum yang berlalu dalam suatu lingkup pergaulan. Begitu lah pokoknya.

Baca juga:  Syekh Ramadan, Mencari Ilmu dengan Jalan Spiritual

Tapi untuk urusan yang rada “pinggiran” dalam busana, kami sepenuhnya serahkan pada pilihan si Nida sendiri kelak kalau dia sudah bisa memutuskan. Kami sepakati untuk tak ada intervensi berlebihan.

Misalnya, tentang anting. Soal pakai anting itu biarlah jadi keputusan Nida di masa depan. Jadi telinganya mau ditindik atau tidak, bukan kami yang memutuskan, melainkan dia sendiri kelak. Sampai sekarang telinganya masih utuh, tak ada tindikan.

Begitu juga soal jilbab. Kami paham bahwa ada berbagai ragam pandangan ulama tentang wajib atau tidaknya jilbab itu. Yang meyakini bahwa jilbab wajib pun sepakat bahwa wajibnya adalah bagi perempuan dewasa. Bagi anak-anak, itu edukatif saja sifatnya.

Karena itu, urusan jilbab ini pun kami serahkan pada keputusan Nida sendiri, apakah akan mengikuti pendapat yang mewajibkan, atau mengikuti pendapat yang tak mewajibkan. Apapun pilihan dia kelak, saya akan mendukungnya. Saya ingin jilbab (kalau dia pakai kelak) adalah hasil pencarian batin, bukan hasil tekanan sosial.

Itulah sebabnya, kami iyakan saja pilihan dia untuk tidak berjilbab ke sekolah SD ini. Di kelasnya, Nida adalah satu-satunya murid perempuan yang tak berjilbab. Di seluruh sekolah dia nampaknya adalah minoritas, karena mayoritas murid perempuan berjilbab.

Jujur saja, saya agak sedikit kuatir dia akan memperoleh tekanan dari sekitar karena keputusan tidak mengenankan jilbab itu. Saya agak harap-harap cemas dengan kemungkinan dia sedikit sedih karena pertanyaan kanan-kiri soal jilbab. Saya pun bersiap-siap andai harus mendukungnya mengatasi tekanan sosial. Akan saya bantu dia merumuskan jawaban kalau ada yang bertanya, “kok kamu tidak berjilbab?”

Baca juga:  Literasi Konten Youtube (3): Islam Mengajarkan Keras Mendidik Anak?

Tapi ternyata itu tidak terjadi, minimal hingga saat tulisan ini dibuat. Setelah beberapa minggu sekolah SD, Nida nampak ceria-ceria saja. Dia berteman dengan semua teman-teman sekelasnya, serta beberapa kakak kelas. Salah satu teman baiknya adalah anak kelas 5, yang pernah dia ajak main ke rumah.

Tak ada cerita sama sekali dari Nida tentang pertanyaan soal jilbab. Tak ada yang mempersoalkan pilihan cara berbusananya. Guru-guru tak ada yang menanyakan hal itu. Para ortu yang mengantar anak mereka sekolah juga tak menbahasnya.

Pulang sekolah, cerita Nida berkisar tenyang dia belajar apa, main apa dengan siapa, dan saling berbagi makanan apa dengan teman-temannya. Tak ada cerita tentang pertanyaan atas pilihannya tak berjilbab saat ini.

Jadi ya menurut saya, dengan melihat perkembangan sejauh ini, lingkungan sekolah Nida memang asik-asik saja dan bisa menghargai pilihan orang lain.

Bahkan mungkin juga, masyarakat kita dan kehidupan kita ini sebenarnya memang jauh lebih asik daripada yang kita duga. Mungkin yang reseh-reseh mempermasalahkan urusan pinggiran itu cuma kelompok minoritas saja dalam masyarakat. Mayoritas sih asik-asik saja.

Menyenangkan bukan?

Atau menurut Anda kurang dramatis?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Saya memiliki seorang anak perempuan, semata wayang. Sewaktu masih dalam kandungan dan pertama kalinya saya mengetahui jenis kelaminnya, entah kenapa ada perasaan sedih, ia harus jadi wanita, dimana perempuan di masyarakat begitu penuh dengan stigma, bahkan pakaiannya pun diatur oleh orang lain… Semoga anakku bisa jadi perempuan yang merdeka, jangan seperti ibunya ini yang penakut.

Komentari

Scroll To Top