
Sarung, kain berbentuk persegi panjang yang ditangkup dan dijahit itu, bukan kain biasa. Ia bukan sekadar penutup tubuh atau simbol religius yang tampil setiap Jumatan. Sarung adalah teks budaya yang menyimpan sejarah, memuat kuasa, dan menampung identitas, ideologi hingga teknologi dan politik.
Dalam sejarah Nusantara, sarung merupakan evolusi dari kain (dalam perkembangannya menjadi pakaian) yang pada fungsi pertamanya digunakan untuk melindungi tubuh dari perubahan cuaca dan serangan hewan lainnya. Pada masa kolonial, sejarah pakaian adalah penanda kolonisasi tubuh pribumi, (dan berikutnya) ‘totokisasi’ masyarakat Hindia Belanda.
Pada zaman Hindu Budha, orang-orang menggunakan kain panjang tanpa jahitan untuk menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Kain tanpa potongan dianggap suci dan sakral bagi masyarakat Jawa.
Ketika Islam datang, pakaian disempurnakan sesuai norma-norma keislaman. Kain panjang yang tadinya dililitkan di sekitar pinggang, kemudian diangkat lebih tinggi untuk menutupi dada. Hal ini tampak di kota-kota pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian, menjadi penanda bagi orang miskin, budak, anak-anak dan golongan non-muslim (Taylor, 2005: 131). Sementara bagi golongan muslim, kain panjang itu ditautkan menjadi sarung, yang kemudian menjadi elemen penting sebagai penanda identitas dalam konteks religiusitas.
Representasi Sistem Nilai
Dalam kacamata antropologi, pakaian bukan hanya pelindung tubuh, melainkan representasi dari sistem nilai yang hidup. Sarung di Indonesia telah lama hidup dalam ruang-ruang itu: dari mushala desa hingga ruang tamu rakyat, dari ladang-ladang pertanian sampai panggung-panggung politik.
Ia bergerak lintas kelas, lintas sejarah, dan lintas ideologi. Ia dikenakan oleh petani dan presiden. Tapi anehnya, tetap saja yang bersarung kerap dianggap “kampungan”.
Logika itulah yang mencerminkan kontradiksi laten dalam politik kebudayaan kita hari ini. Di satu sisi, pemerintah bicara “kebangkitan budaya lokal”, mengusung pariwisata berbasis desa dan tradisi. Di sisi lain, simbol-simbol kebudayaan lokal seperti sarung kerap dicampakkan dari representasi formal: rapat pemerintahan, forum intelektual, hingga panggung televisi nasional.
Ketika modernitas diklaim lewat setelan jas dan dasi, sarung justru tampil sebagai jejak kultural yang (dianggap) “mengganggu” narasi kemajuan—karena ia membawa tubuh kembali pada asalnya: ke tanah, ke masyarakat, ke kesahajaan.
Modernitas telah dikonstruksi sebagai citra steril, rapi, dan—jangan lupa—bersepatu pantofel. Sarung dianggap tak layak masuk frame peradaban elite.
Resistensi
Padahal, seperti yang ditulis antropolog Peter Burke (2009), pakaian tradisional sering menjadi locus dari resistensi identitas terhadap hegemoni budaya dominan. Sarung adalah simbol “kaum sarungan”, istilah yang dulu dipakai secara peyoratif untuk menyebut masyarakat pesantren, masyarakat desa, dan kaum santri tradisional yang tidak terdigitalisasi dan tidak mengikuti arus kapitalisme global. Tapi justru dari situlah maknanya lahir: sebagai semacam “politik tubuh” yang menolak dikomodifikasi.
Goenawan Mohamad (1984) pernah menulis bahwa sarung adalah teknologi tepat guna. Ia multifungsi, bisa menjadi selimut, pembungkus barang, hingga masker improvisasi. Tapi lebih dari itu, sarung adalah media ekspresi tubuh rakyat.
Tidak seperti celana atau jas yang rigid, sarung memberi ruang gerak yang longgar—seperti halnya semangat masyarakat akar rumput yang lentur, namun bertahan. Sarung adalah tubuh yang tak terjajah, yang tak bisa dipasangkan dasi, tak bisa dijerat kancing formalitas.
Persoalannya, kita kini hidup dalam rezim estetika yang dikendalikan oleh logika visual urban. Semua hal harus “instagramable”, rapi, dan bisa dijual. Dalam dunia seperti itu, sarung tak laku. Ia dianggap tak punya nilai estetis atau nilai kapital.
Padahal, justru itulah nilai subversif sarung: ia tak bisa ditundukkan. Ia tampil dengan kesahajaan, bukan sebagai pakaian konsumsi, tetapi sebagai ingatan tubuh akan ruang, waktu, dan relasi sosial yang lebih purba.
Negosiasi Makna
Abdul Jabar (2009) menuliskan Gus Dur, ketika menjadi Presiden, kerap disebut sebagai presiden kaum sarungan. Julukan kepada Gus Dur tersebut tidak berlebihan karena harus diakui, beliaulah yang membuat Istana Presiden lebih terbuka untuk masyarakat, termasuk kaum sarungan.
Di era Sukarno, penggunaan sarung di istana juga diizinkan bagi para ulama. Dalam sebuah forum, Megawati Soekarno Putri pernah bercerita, ayahnya menerima para ulama di Istana yang mengenakan sarung dan sandal. Mereka diizinkan memakai pakaian khusus karena punya peran dalam perjuangan kemerdekaan.
Sampai-sampai, dalam sebuah kisah yang telah beredar luas diceritakan, KH Abdul Wahab Chasbullah datang memakai sarung, alih-alih celana panjang dan jas, ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara. Hingga di era Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga kerap bersarung dalam acara-acara resmi.
Namun, sarung pernah berpusar di medan makna. Itu terjadi ketika Presiden Joko Widodo (kala itu) mengenakan sarung berwarna merah di Muktamar NU ke 33 tahun 2020 lalu. Dengannya, publik terbelah antara melihat itu sebagai gestur simbolik atau kalkulasi politis.
Di satu sisi, sarung merah menyiratkan kedekatan Jokowi dengan basis NU. Di sisi lain, warna merah itu juga menandai afiliasi PDI Perjuangan. Sarung menjadi tidak netral—ia adalah arena negosiasi makna, sebagaimana dikemukakan oleh Stuart Hall dalam Cultural Representations and Signifying Practices (1997). Pakaian tidak pernah polos; ia selalu politis.
Sarung terlibat dalam “drama” politik di Indonesia, yang selalu melibatkan estetika penampilan. Pramutomo (2011) merujuk pada pemikiran Clfford Geertz dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980), ini menjadikannya “negara teater”—di mana kuasa bukan sekadar dijalankan lewat kebijakan, tetapi lewat simbol dan pertunjukan.
Maka, sarung dalam konteks kekuasaan, bukan sekadar kain, tapi skrip politik. Ia menjadi tanda bahwa kekuasaan juga butuh kedekatan dengan rakyat, meski seringkali hanya sebatas “kostum panggung” dalam acara seremonial.
Kontinuitas Peradaban
Namun yang lebih penting dari itu: bagaimana masyarakat memaknai sarung dalam kesehariannya. Di desa-desa, sarung masih menjadi pakaian utama untuk bertani, berdoa, menghadiri hajatan, dan bersantai di beranda. Ia tidak menjadi beban identitas.
Ia hidup sebagai bagian dari ritme kehidupan, bukan sekadar atribut. Dalam hal ini, sarung adalah penanda dari kontinuitas peradaban lokal yang tidak gaduh, tapi berakar. Dan justru dari akar itulah muncul daya tahan budaya yang sulit diruntuhkan oleh zaman.
Sayangnya, dalam pembangunan kultural berbasis industri dan digitalisasi, nilai-nilai semacam ini kerap terpinggirkan. Pusat kebudayaan dipusatkan di kota, sedangkan sarung—dan apa pun yang melekat padanya—dibuang ke pinggiran.
Tak heran, generasi muda pun makin jauh dari identitas kulturalnya. Mereka lebih mengenal “outfit of the day” ketimbang warisan tubuh leluhur. Mereka diajari menghafal nama-nama pahlawan, tapi tidak memahami mengapa kakeknya selalu bersarung ketika bertemu tamu.
Di sinilah perlunya literasi kebudayaan yang lebih radikal—yang tidak sekadar mengarsipkan simbol, tetapi mengaktifkan makna. Sarung bisa dijadikan pintu masuk untuk mengajarkan sejarah, spiritualitas, hingga politik lokal yang hidup dalam keseharian masyarakat. Ia bukan sekadar benda budaya, tapi narasi yang perlu dibacakan ulang. Apakah kita masih bisa merayakan sarung sebagai tanda pembebasan? Ataukah ia kini hanya tinggal kain dalam lemari, dikenakan saat kematian, dan dilupakan saat kehidupan?
Di tengah dunia yang makin seragam, sarung mengingatkan kita pada kemungkinan lain: bahwa identitas tidak harus “necis”, bahwa elegansi bisa hadir dari kesederhanaan, dan bahwa kekuasaan sejati lahir bukan dari baju mahal, melainkan dari tubuh yang tahu siapa dirinya, dari sejarah yang tidak malu dengan akarnya.
Sarung, pada akhirnya, adalah bentuk kejujuran. Dan dalam zaman yang kerap memuja kepalsuan, kejujuran adalah bentuk perlawanan dan eksistensi.